Selasa, 23 Desember 2008

Perang Iklan Politik

Sumbo Tinarbuko



Genderang kampanye pemilu 2009 sedang ditabuh. Telinga rakyat pun sudah terbiasa dengan tetabuhan yang bertalu-talu. Tetabuhan tersebut dianalogkan sebagai sebentuk penyampaian pesan verbal dan visual kampanye pemilu.

Gaung dari tetabuhan itu ditandai dengan upaya para caleg dan kandidat presiden berlarian menarik massa. Caranya? Tentu saja dilakukan secara instan. Kenapa instan? Karena para caleg dan kandidat presiden tidak dikenal oleh rakyat, calon pemilih. Untuk itu, upaya instan yang dilakukan guna mengakomodasikan pencitraan dirinya, satu-satunya jalur hanya lewat iklan politik. Mereka berpendapat, berbagai media iklan diyakini mempunyai kekuatan superkuat. Iklan politik dengan taburan pesan verbal dan pesan visual yang aduhai, dianggapnya mampu merayu perasaan terdalam dari sebagian besar calon pemilih.

Selanjutnya, perang wacana iklan politik pun digelar di seluruh Indonesia. Aktivitas peperangan yang dikordinasikan tim sukses caleg dan kandidat presiden, selalu memakai media iklan (: media tercetak, media massa cetak dan elektronik). Berbagai amunisi berupa pesan verbal dan visual diledakkan menggunakankan iklan koran, televisi, dan radio. Belum puas dengan itu, mereka pun menembakkan amunisi lainnya lewat baliho, spanduk, umbul-umbul, dan poster, kepada calon pemilih.

Pertanyaannya, apa yang Anda lihat ketika menyaksikan perang wacana iklan politik? Banyak pihak mengatakan, ‘’Kita melihat angka yang dituliskan sangat besar. Kita melihat foto wajah caleg dan kandidat presiden sangat besar. Kita melihat janji politik ditorehkan di atribut kampanye dengan font size yang sangat besar. Kita melihat baliho, poster, spanduk dan bendera dengan ukuran yang sangat besar. Pokoknya, kita melihatnya atribut kampanye pemilu serba besar. Saking besarnya, justru sulit dilihat’’.

Pertanyaan berikutnya, apakah janji yang besar, foto yang besar, dan ukuran alat peraga yang besar, mencerminkan kerja keras untuk mewujudkan karya nyata yang besar, demi menyejahterakan rakyat Indonesia yang besar ini?

Fenomena sosial berbentuk perang wacana iklan politik ini menggambarkan, betapa politisi Indonesia biasa berpikir instan. Iklan politik yang mereka sebar lebih mengedepankan wajah. Raut muka caleg dan kandidat presiden dijadikan komoditas yang dijual layaknya seorang artis. Dengan andalan visualisasi peci, deretan gelar akademik, dan aktivitas menyantuni orang miskin, diyakini mampu mencitrakan sosok caleg dan kandidat presiden yang agamis, intelek, dan perhatian kepada rakyat. Padahal, semua itu hanya tanda yang serba permukaan. Iklan politik dengan memajang wajah, mengindikasikan si pengiklan tidak merakyat. Mereka memosisikan dirinya bagaikan sebuah produk consumer goods yang layak diperjualbelikan. Mereka malah bagaikan seorang peserta kontes idol. Mereka tidak mengutamakan ideologi. Tetapi hanya sekadar idologi.

Efek dari perang wacana ini, Iklan politik pun cenderung menebar janji-janji normatif. Mereka tidak menyebutkan apa saja yang sudah mereka kerjakan, melainkan hanya mengumbar janji surga. Lebih parah lagi, slogan dan janji yang disampaikan sulit direalisasikan, jika mereka terpilih. Selain itu, apa yang dijanjikannya akan sangat merugikan rakyat yang sudah terlanjur percaya. Hal itu terjadi, karena janji dan slogan yang dituliskannya tidak ada ukurannya, alias abstrak

Dampak turunannya, tim sukses para caleg dan kandidat presiden cenderung melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 19 Tahun 2008 yang melarang pemasangan alat peraga kampanye di tempat ibadah, rumah sakit, lembaga pendidikan, jalan protokol, dan jalan tol. Penempatannya pun harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan sesuai dengan peraturan pemerintah daerah. Faktanya, banyak alat peraga kampanye berbentuk spanduk, baliho, poster, umbul-umbul para caleg sudah menjadi sampah visual. Membuat tata ruang kota riuh rendah. Kalau dibiarkan terus, akan menjadi teror visual.

Korban dari perang wacana iklan politik sudah terpampang di depan mata. Kegagalan iklan politik Rizal Malarangeng sebagai kandidat presiden 2009 membuktikan bahwa popularitas tidak terlalu memengaruhi elektabilitas. Popularitas seseorang harus dikuatkan dengan jaringan masyarakat di tingkat akar rumput. Jejaring semacam itu akan terpilin dengan rapi, jika puluhan tahun sebelumnya sudah berkarya nyata di tengah masyarakat. Tanpa itu, para caleg atau kandidat presiden hanya akan jatuh bangkrut, sambil menikmati mimpi menjadi anggota DPR atau Presiden di siang bolong.

Jika seseorang terjun ke politik dan ingin dikenal publiknya, dia harus mau kerja keras. Hasil kerja kerasnya itulah yang akan mengangkat namanya kelak. Tentu saja kerja keras itu bukan dalam hitungan bulan atau setahun sebelum pemilihan umum. Mereka sudah harus mulai bekerja sejak sekarang untuk pemilu 10-15 tahun mendatang.

Harus diakui, cara promosi paling efektif adalah dari mulut ke mulut. Beriklan itu penting karena beriklan sama dengan berinvestasi. Beriklan itu tidak sama dengan cara kerja petani yang menanam padi lalu 3-4 bulan kemudian panen. Beriklan terutama iklan politik seperti menanam pohon jati. Prosesnya lama dan setiap saat perlu perawatan intensif.

Bagi pemilih, iklan politik, apa pun bentuknya, hanyalah upaya memperkenalkan diri kepada publik. Hal yang lebih penting adalah kerja nyata. Bukan tampang, citra, apalagi sekadar nama tenar. Citra pemimpin sejati hanya dapat dibuktikan lewat perilaku, pola pikir, dan kinerja nyata.


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.