Selasa, 23 Desember 2008

Perang Iklan Politik

Sumbo Tinarbuko



Genderang kampanye pemilu 2009 sedang ditabuh. Telinga rakyat pun sudah terbiasa dengan tetabuhan yang bertalu-talu. Tetabuhan tersebut dianalogkan sebagai sebentuk penyampaian pesan verbal dan visual kampanye pemilu.

Gaung dari tetabuhan itu ditandai dengan upaya para caleg dan kandidat presiden berlarian menarik massa. Caranya? Tentu saja dilakukan secara instan. Kenapa instan? Karena para caleg dan kandidat presiden tidak dikenal oleh rakyat, calon pemilih. Untuk itu, upaya instan yang dilakukan guna mengakomodasikan pencitraan dirinya, satu-satunya jalur hanya lewat iklan politik. Mereka berpendapat, berbagai media iklan diyakini mempunyai kekuatan superkuat. Iklan politik dengan taburan pesan verbal dan pesan visual yang aduhai, dianggapnya mampu merayu perasaan terdalam dari sebagian besar calon pemilih.

Selanjutnya, perang wacana iklan politik pun digelar di seluruh Indonesia. Aktivitas peperangan yang dikordinasikan tim sukses caleg dan kandidat presiden, selalu memakai media iklan (: media tercetak, media massa cetak dan elektronik). Berbagai amunisi berupa pesan verbal dan visual diledakkan menggunakankan iklan koran, televisi, dan radio. Belum puas dengan itu, mereka pun menembakkan amunisi lainnya lewat baliho, spanduk, umbul-umbul, dan poster, kepada calon pemilih.

Pertanyaannya, apa yang Anda lihat ketika menyaksikan perang wacana iklan politik? Banyak pihak mengatakan, ‘’Kita melihat angka yang dituliskan sangat besar. Kita melihat foto wajah caleg dan kandidat presiden sangat besar. Kita melihat janji politik ditorehkan di atribut kampanye dengan font size yang sangat besar. Kita melihat baliho, poster, spanduk dan bendera dengan ukuran yang sangat besar. Pokoknya, kita melihatnya atribut kampanye pemilu serba besar. Saking besarnya, justru sulit dilihat’’.

Pertanyaan berikutnya, apakah janji yang besar, foto yang besar, dan ukuran alat peraga yang besar, mencerminkan kerja keras untuk mewujudkan karya nyata yang besar, demi menyejahterakan rakyat Indonesia yang besar ini?

Fenomena sosial berbentuk perang wacana iklan politik ini menggambarkan, betapa politisi Indonesia biasa berpikir instan. Iklan politik yang mereka sebar lebih mengedepankan wajah. Raut muka caleg dan kandidat presiden dijadikan komoditas yang dijual layaknya seorang artis. Dengan andalan visualisasi peci, deretan gelar akademik, dan aktivitas menyantuni orang miskin, diyakini mampu mencitrakan sosok caleg dan kandidat presiden yang agamis, intelek, dan perhatian kepada rakyat. Padahal, semua itu hanya tanda yang serba permukaan. Iklan politik dengan memajang wajah, mengindikasikan si pengiklan tidak merakyat. Mereka memosisikan dirinya bagaikan sebuah produk consumer goods yang layak diperjualbelikan. Mereka malah bagaikan seorang peserta kontes idol. Mereka tidak mengutamakan ideologi. Tetapi hanya sekadar idologi.

Efek dari perang wacana ini, Iklan politik pun cenderung menebar janji-janji normatif. Mereka tidak menyebutkan apa saja yang sudah mereka kerjakan, melainkan hanya mengumbar janji surga. Lebih parah lagi, slogan dan janji yang disampaikan sulit direalisasikan, jika mereka terpilih. Selain itu, apa yang dijanjikannya akan sangat merugikan rakyat yang sudah terlanjur percaya. Hal itu terjadi, karena janji dan slogan yang dituliskannya tidak ada ukurannya, alias abstrak

Dampak turunannya, tim sukses para caleg dan kandidat presiden cenderung melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 19 Tahun 2008 yang melarang pemasangan alat peraga kampanye di tempat ibadah, rumah sakit, lembaga pendidikan, jalan protokol, dan jalan tol. Penempatannya pun harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan sesuai dengan peraturan pemerintah daerah. Faktanya, banyak alat peraga kampanye berbentuk spanduk, baliho, poster, umbul-umbul para caleg sudah menjadi sampah visual. Membuat tata ruang kota riuh rendah. Kalau dibiarkan terus, akan menjadi teror visual.

Korban dari perang wacana iklan politik sudah terpampang di depan mata. Kegagalan iklan politik Rizal Malarangeng sebagai kandidat presiden 2009 membuktikan bahwa popularitas tidak terlalu memengaruhi elektabilitas. Popularitas seseorang harus dikuatkan dengan jaringan masyarakat di tingkat akar rumput. Jejaring semacam itu akan terpilin dengan rapi, jika puluhan tahun sebelumnya sudah berkarya nyata di tengah masyarakat. Tanpa itu, para caleg atau kandidat presiden hanya akan jatuh bangkrut, sambil menikmati mimpi menjadi anggota DPR atau Presiden di siang bolong.

Jika seseorang terjun ke politik dan ingin dikenal publiknya, dia harus mau kerja keras. Hasil kerja kerasnya itulah yang akan mengangkat namanya kelak. Tentu saja kerja keras itu bukan dalam hitungan bulan atau setahun sebelum pemilihan umum. Mereka sudah harus mulai bekerja sejak sekarang untuk pemilu 10-15 tahun mendatang.

Harus diakui, cara promosi paling efektif adalah dari mulut ke mulut. Beriklan itu penting karena beriklan sama dengan berinvestasi. Beriklan itu tidak sama dengan cara kerja petani yang menanam padi lalu 3-4 bulan kemudian panen. Beriklan terutama iklan politik seperti menanam pohon jati. Prosesnya lama dan setiap saat perlu perawatan intensif.

Bagi pemilih, iklan politik, apa pun bentuknya, hanyalah upaya memperkenalkan diri kepada publik. Hal yang lebih penting adalah kerja nyata. Bukan tampang, citra, apalagi sekadar nama tenar. Citra pemimpin sejati hanya dapat dibuktikan lewat perilaku, pola pikir, dan kinerja nyata.


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

Minggu, 30 November 2008

Kekerasan Virtual

Sumbo Tinarbuko





Anda ingin menyaksikan dan mempelajari fenomena kekerasan virtual yang belakangan ini membahana? Atau Anda akan meniti karir sebagai orang bermasalah secara sosial budaya? Jawaban praktisnya dapat ditemukan dalam seluruh tayangan mata acara televisi.

Di ‘’layar idiot’’ ini, semua orang yang labil jiwanya, dengan serta merta akan mengadopsi kuliah kekerasan virtual itu, menjadi makanan sehari-hari dalam kehidupan. Hasil menimba ilmu kekerasan virtual di layar televisi dan media massa cetak lainnya, sangat dibutuhkan oleh manusia yang cekak kedewasaannya dalam rangka menunjukkan eksistensi negatifnya di tengah kehidupan masyarakat.

Seseorang yang sukses menempuh short course kekerasan virtual lewat ‘’layar idiot’’ adalah Sri Rumiyati (48). Yati, demikian panggilan sayangnya, tega membunuh suaminya karena sakit hati. Ia sering menerima perlakuan kasar dari sang korban. Supaya jejaknya sebagai pembunuh tidak terkuak, Yati memutilasi tubuh suaminya menjadi beberapa bagian.

Ketika tertangkap, Yati mengaku mendapatkan inspirasi memotong-motong jasad suaminya dari tayangan televisi dan berita koran. Dari media massa cetak dan elektronik tersebut, Yati mempelajari secara detail olah TKP dan rekonstruksi pembunuhan puluhan manusia tak berdosa yang dilakukan sang jagal maut: Ryan.

Dari fakta tersebut di atas dapat diasumsikan bahwa berita kriminal, kejahatan dan kerusuhan, yang ditayangkan berbagai stasiun televisi, ditulis dalam lembaran koran, tabloid, dan majalah, adalah realitas sosial yang telah dibabtis menjadi realitas media. Dalam konteks ini, realitas media yang digawangi media massa cetak dan elektronik, sejujurnya sangat patuh pada hukum simplified model. Sebuah model tayangan yang terpenggal secara sporadis dalam penyederhanaan yang hiperbolistik.

Kemudian, ketika sebuah realitas sosial telah diteguhkan dalam format realitas media, maka tayangan realitas sosial di ‘’layar idiot’’ ini mempunyai efek visual dan moral yang luar biasa dahsyat. Ia divisualkan begitu perkasa. Jantan dan heroik. Berdaya hipnotis tinggi. Ia mampu membangkitkan desakan emosi atau pun proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh setiap individu. Sifat simulasi media televisi telah mampu menyuntikkan makna yang seolah ada pada kehidupan nyata. Pesan-pesannya pun lebih hidup, dibandingkan dalam kehidupan sebenarnya. Meski realitanya hanyalah sebuah fantasi atau realitas semu semata.

Pada perbincangan ini, ternyata dosa kekerasan virtual tidak hanya didedahkan kalangan kuli flashdisc yang senantiasa mengedepankan pola jurnalistik komoditas. Sebuah perilaku buruk jurnalis komoditas yang menisbikan etika jurnalistik.

Selain itu, tayangan iklan, sinetron, dan film termasuk di dalamnya film kartun, ikut andil menjadi pendonor dosa kekerasan virtual.

Di dalam iklan misalnya, ditemukan kasus tayangan sebuah iklan yang diputar secara beruntun per 15 detik. Dalam tayangan tersebut, terdengar monotonisasi jingle iklan yang mengikuti slide show foto sebuah produk yang sedang digunakan sang model. Pada titik ini, masyarakat tidak menyadari (atau sengaja tidak mau tahu), bahwa ilustrasi visual, huruf dan tipografi, serta intonasi nada suara tertentu sedang mengekspresikan kekerasan virtual. Tayangan iklan televisi seperti itu telah membuka peluang terjadinya kekerasan virtual. Lebih jauh lagi, ditengarai mampu mengerdilkan kejiwaan masyarakat. Karena keberadaannya berpotensi mengacaubalaukan pikiran dan mental konsumen.

Hal serupa dapat kita tilik pada karya sinematografi, filmografi, animasitografi, dan kartunografi yang dibuat oknum pekerja kreatif yang berorientasi kejar tayang.

Untuk itu, dalam rangka komodifikasi mata acara televisi, mereka merancang program televisi lebih mengedepankan tontonan sesaat, tanpa mempertimbangkan aspek tuntunan. Akibatnya, karya semacam itu tidak mampu menyumbangkan nilai, norma, kreativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’. Padahal sebuah tontonan yang sekaligus mengawinkan tuntunan diyakini sangat bermanfaat bagi caracter building sebuah bangsa yang merdeka lahir dan batin.

Sementara itu, karena lebih mementingkan unsur tontonan sesaat, maka prinsip dikotomi dan oposisi binner menjadi andalan dalam menyusun program acara televisi. Seluruhnya dirancang secara parsial tanpa penghargaan atas proses panjang yang melatari fragmen-fragmen tersebut.

Akhirnya, dari sanalah sebagian besar masyarakat Indonesia mendapatkan pelajaran buruk terkait dengan budaya kekerasan. Mereka juga ‘’diajari’’ bagaimana caranya membalas dendam. Memelihara rasa dengki dan iri. Mengekspresikan kegalauan hatinya dengan sumpah serapah. Menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan dan simbol-simbol modernitas lainnya. Pendeknya, sambil dihibur, penonton Indonesia yang suka meniru, diintegrasikan dalam budaya instan nir proses. Dan cenderung konsumtif. Dampaknya, pelan namun pasti, masyarakat dengan canggih mampu mengaplikasikan contoh kekerasan virtual di televisi. Sebuah kekerasan virtual yang cenderung memaparkan cara menyelesaikan sebuah masalah secara cepat dan serampangan.

Pertanyaannya: ketika televisi mampu menyihir jutaan masyarakat Indonesia untuk menonton tayangan kekerasan virtual yang direprentasikan dalam sebentuk karya sinematografi berbentuk film, sinetron, film kartun pada siang dan malam hari, apakah ada bekas makna yang ditinggalkan dari tontonan tersebut?

*)Sumbo Tinarbuko (sumbo.wordpress.com), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

Adigang, Adigung, Adiguna

Sumbo Tinarbuko



Liputan Radar Jogja (30/11/2008) di halaman Metropolis berjudul ‘’Sibuk Pergi, Kapan Pikirkan Rakyat’’ cukup menggelitik. Di sana dituliskan, tingginya frekuensi para pejabat teras Pemprov DIY mengadakan perjalanan dinas ke luar daerah, menimbulkan beragam pertanyaan. Salah satunya terkait perhatian para pejabat itu memikirkan rakyat.

Hal senada juga terjadi pada perilaku anggota dewan yang dititahkan berkedudukan sebagai pejabat publik. Mereka ditengarai enggan memikirkan nasib rakyat yang seharusnya disejahterakan dan diayomi harkat dan martabatnya.

Faktanya, mereka justru dengan pongahnya sedang mempertontonkan pertunjukan teater dengan juluk ‘’Adigang, Adigung, Adiguna’’ di depan panggung kerumunan rakyat yang sedang mengalami kesulitan materi dan finansial. Perasaan dan hatinya terluka akibat kebijakan para pemimpin yang kurang berpihak pada pada wong cilik.

Kelompok orang terhormat itu sengaja membangun fragmentasi narasi dengan fokus utama egoisme golongan. Mereka didapuk untuk memerankan tokoh yang sengaja hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan tidak peduli dengan nasib orang yang diwakilinya.

Ceritanya dibangun dengan kehadiran para politisi yang berhasil menancapkan kukunya di kursi empuk DPR dan DPRD sambil melakukan berbagai manuver demi political survival yang bersifat individual ataupun gerakkan untuk melampiaskan ketidakpuasannya terhadap rezim kekuasaan yang sedang berkuasa.

Mereka menghayati perannya dengan serius. Di dalam batin dan pola pemikirannya telah didedahkan konstruksi profesional seorang politisi yang ‘’bertanggung jawab’’. Mereka yang ‘’beruntung’’ memerankan peran anggota dewan yang terhormat harus memiliki integritas dan sikap untuk kukuh pada pendirian. Di dalam skenario yang harus dimainkan, mereka diberi tugas untuk senantiasa bersikap keras tanpa kompromi pada pihak lain, apalagi itu diyakini sebagai seterunya. Misinya adalah mempertajam polarisasi dan membuat kemasan yang berbeda, agar terlihat unik, memiliki karakter unique selling preposition di mata para penontonnya. Semakin banyak masalah yang muncul akan semakin menarik diperdebatkan dan memiliki kandungan nilai tantangan yang cukup tinggi.

Menyimak cerita buruk yang diberi kop ‘’Adigang, Adigung, Adiguna’’ dalam kemasan tontonan teater yang diperankan oleh para anggota dewan yang terhormat dapat diasumsikan: ternyata, para anggota dewan yang terhormat itu adalah sekumpulan pakar (‘’pandai membuat sukar’’) politisi yang kinerjanya lebih mengutamakan bagaimana caranya membuat sukar untuk sebuah permasalahan (simak perdebatan RUU yang kontroversial) cukup sederhana dan tidak prinsipial bagi khalayak luas.

Manakala keadaan seperti itu senantiasa dibangun, dihidupkan, dilestarikan dan dibuatkan berita acaranya agar memiliki kandungan hukum dengan azas legalitas formal, maka nasib bangsa dan negara ini akan senantiasa diduakan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana bangsa dan negara ini akan dibangun agar segera keluar dari keterpurukan dengan baik sesuai zamannya jika pengelola dan pimpinan negara tidak menunjukkan integritasnya secara positif dan proaktif.

Realita yang muncul, ternyata mereka masih bergerak pada wilayah perut. Para anggota dewan senantiasa mengedepankan libido lapar dan haus kekuasaan. Dalam pikirannya senantiasa dipositioningkan berbagai upaya agar mereka mampu memuaskan rasa lapar dan dahaga kekuasaan. Modus operandinya, dengan memperebutkan jabatan yang diyakini akan menenangkan gejolak hasrat perut yang kelaparan.

Para anggota dewan akhirnya lebih banyak bekerja dengan mengatur siasat dan beradu strategi demi merebut kekuasaan. Hal itu semakin terlihat tabiatnya menjelang Pemilu 2009. Apalagi dengan label penguasa maka mereka dipastikan memiliki hak mengelola bangsa dan negara ini. Dengan predikat penguasa maka mereka mempunyai hak dan merasa paling mampu serta paling benar untuk mengatur bangsa dan negara ini.

Atas dasar itulah, para anggota dewan yang terhormat mengaplikasikan konsep kekuasaan adigang, adigung, adiguna dengan tata struktur yang rapi. Pengejawantahannya, mereka mengedepankan sikap arogan karena merasa paling baik, maka muncullah sikap egoisme, egosentris, egoelitisme, dan egogolongan. Ketika sikap hidup sebagai makhluk individual yang lebih ditonjolkan, maka tidak akan pernah ada jalan tengah untuk bisa mengakhiri konflik egoisme prinsip yang tidak berprinsip di dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal kita semua sebagai rakyat kecil mengharapkan keberadaan, pemikiran, dan pola tindak para wakil rakyat yang menjadi anggota dewan bisa menjadi panutan, teladan, semangat, inspirasi dan payung yang mampu memayu hayuning bawana alias memayungi khalayak luas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

*)Sumbo Tinarbuko (sumbo.wordpress.com), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta

Senin, 24 November 2008

Iklan Politik dan Pencitraan Politik

Beriklan besar-besaran dengan biaya mahal mampu mendongkrak popularitas. Namun, popularitas tidak terlalu memengaruhi elektabilitas. Bagi pemilih, hal yang lebih penting adalah kerja nyata, bukan tampang, citra, apalagi sekadar nama tenar. Iklan politik, apa pun bentuknya, hanyalah upaya memperkenalkan diri kepada publik.

Demikian rangkuman dari acara Bincang Kompas bertema Pencitraan Politik melalui Iklan Politik di Media Massa, Rabu (29/10/2008) di Kafe Delima, Hotel Santika Premiere, Semarang, Jawa Tengah.

Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta Sumbo Tinarbuko menilai, mereka yang beriklan politik lebih mengedepankan wajah. Wajah mereka menjadi komoditas yang dijual layaknya seorang artis. Lebih parah lagi, mereka tidak menyebutkan apa saja yang sudah mereka kerjakan, melainkan mengumbar janji surga.

"Iklan politik dengan memajang wajah mengindikasikan si pengiklan tidak merakyat. Mereka tidak mengutamakan ideologi. Mereka malah bak seorang peserta kontes idol. Bukan ideologi, hanya idologi," katanya.

Sumbo menegaskan, jika seseorang terjun ke politik dan ingin dikenal publiknya, dia harus mau kerja keras. Hasil kerja kerasnya itulah yang akan mengangkat namanya kelak. Tentu saja kerja keras itu bukan dalam hitungan bulan atau setahun sebelum pemilihan umum. Mereka sudah harus mulai bekerja sejak sekarang untuk pemilu 10 tahun mendatang.

"Cara promosi paling efektif adalah dari mulut ke mulut. Beriklan itu penting karena beriklan sama dengan berinvestasi. Beriklan itu tidak sama dengan cara kerja petani yang menanam padi lantas 3-4 bulan kemudian panen. Beriklan terutama iklan politik seperti menanam pohon jati. Lama dan perlu dirawat," ujar Sumbo.

Kamis, 13 November 2008

Popularitas vs Elektabilitas

Sumbo Tinarbuko



Pengumuman calon tetap anggota dewan yang terhormat sudah dibiwarakan ke seluruh pelosok Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertanggung jawab atas perhelatan klasik lima tahunan ini, sudah memasang nama dan pas foto mereka di berbagai media massa.

Setelah KPU mengumandangkan nama dan foto diri calon legislatif, dapat dipastikan sejumlah halaman surat kabar dan layar televisi dipenuhi iklan politik. Para caleg pun diyakini akan memasang banner dan pernak-pernik media reklame luar ruang lainnya, di sepanjang jalan yang dianggap strategis. Tujuannya jelas: memperkenalkan dirinya kehadapan calon pemilih. Kalau rating popularitasnya sudah tinggi, harapannya jumlah perolehan suaranya menjulang.

Kenapa harus memperkenalkan diri? Apakah selama ini tidak dikenal? Tentu saja! Sampai dengan mereka nyaleg, para caleg yang terhormat tidak pernah dekat dengan rakyatnya. Jalan pintasnya, iklan politik kemudian dimitoskan sebagai cara instan untuk memperkenalkan diri pada rakyat.

Yang terjadi kemudian, praktik politik narsisme mewarnai kemasan iklan politik. Celakanya, konsep komunikasi visual yang ditawarkan kepada calon pemilih sangat paritas dan hardsell sekali. Kebanyakan iklan politik menonjolkan visualisasi kesuksesan para caleg dari sudut pandang status sosial ekonomi, pendidikan formal, dan moralitas yang tinggi sebagai penanda kualitas kesalehan. Tidak hanya berhenti sampai di situ, dalam iklan politik yang dibuatnya, para caleg seolah-olah memiliki perhatian dan empati besar pada masyarakat kecil.

Siasat semacam itu sengaja dipilih, karena dianggapnya mujarab. Dinilai sanggup mendongkrak popularitas dirinya dan seluruh elemen parpol yang mendukungnya. Terhadap keyakinan seperti itu, coba simaklah testimoni mereka, ‘’Kalo nggak mbuat iklan yang narsis jadinya nggak trendi. Kalo nggak narsis, kita juga sulit dikenal!’’.

Tampilan iklan politik sejenis itu, sudah menjadi rahasia umum. Diyakini mampu memperkenalkan dirinya di hadapan rakyat. Apalagi dalam Pemilu 2009 ini, para caleg dan politikus terbuai euphoria pemilihan langsung. Mereka merasakan dirinya bagaikan kaum selebritas yang ganteng, gagah, cantik, cerdas, santun, agamis, dan berbagai keunggulan lain. Dalam pikirannya, dengan memasang wajah mereka sebanyak mungkin, para pemilih akan tertarik menyoblos nomor urut dan nama mereka dalam Pemilu 2009 mendatang.

Kemudian oleh beberapa kalangan, semuanya itu dianggap wajar dan sangat manusiawi. Kok bisa? Ya, karena karakteristik iklan politik memang didedikasikan untuk memunculkan citra diri para caleg sesempurna mungkin. Secara teoretis, iklan politik diposisikan sebagai media penyampai pesan verbal visual dari para caleg kepada calon pemilih. Selanjutnya, khalayak calon pemilih secara subjektif akan menyaring dan menyeleksi informasi yang ada. Pola penyaringan dan penyeleksian informasi disesuaikan dengan sistem kognisi dan ideologinya masing-masing.

Meski dianggap wajar, sayangnya, iklan politik yang bermunculan belakangan ini, lebih mementingkan aspek hura-hura dalam merayakan pencalegkan para caleg. Mereka bermain-main dengan janji kosong. Sebuah janji surga yang terkesan merakyat. Namun sejujurnya sulit diejawantahkan.

Pada titik ini, para pengiklan dan pembuat iklan politik menisbikan unsur informasi sebagai layanan komunikasi politik yang paling krusial. Mereka dalam kiprahnya melupakan muatan pengetahuan komprehensif, terkait visi dan misi para caleg, atau partai politik yang memajukan dirinya menjadi wakil rakyat.

Kesalahkaprahan perencanaan dan perancangan iklan politik semacam ini terjadi, karena mereka lebih menonjolkan aspek popularitas sang kandidat, caleg, atau ketua partai politik. Mereka melupakan aspek elektablitas (dipilih) yang sebenarnya menjadi hal penting dalam perhelatan Pemilu 2009.

Sejarah mencatat, banyak politikus, caleg, atau ketua parpol mengejar popularitas lewat iklan politik, namun realitas lapangan menunjukkan kebalikannya. Mereka secara kasatmata populer di hadapan publik calon pemilih, tapi kenyataannya, aspek elektabilitasnya justru rendah. Dengan demikian, popularitas caleg yang didongkrak lewat guyuran iklan politik, faktanya tidak dengan serta merta dipilih rakyat. Sebab caleg atau calon pemimpin bangsa tidak cukup bermodalkan popularitas. Mereka harus memiliki pengalaman lapangan yang sudah teruji ruang dan waktu. Rakyat pun perlu diyakinkan dengan pengabdian tulus lewat sebuah berkarya nyata yang konkret.

Pendeknya kualitas ‘’merek’’ sang caleg jauh lebih penting dari pada sekadar gembar gembor promosi tong kosong nyaring bunyinya. Sebab kualitas ‘’merek’’ sang caleg yang ‘’kuat sinyalnya’’, dapat dibuktikan lewat segepok karya nyata yang bermanfaat bagi siapa pun. Keberadaannya sudah teruji oleh ruang dan waktu. Hasilnya lebih migunani tumramping liyan.

Hal ini menjadi penting, karena sejatinya, merek pribadi sang caleg dan kualitas diri calon pemimpin bangsa lebih ditentukan oleh keselarasan mengelola nalar rasa dan nalar pikir, yang didedikasikan secara tulus kepada bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta.

Semoga masyarakat dapat memilih pemimpin sejati, seorang pemimpin bangsa yang elektabilitas dan popularitas dalam satu rentang garis lurus. Pemimpin bangsa yang mengedepankan moralitas, kejujuran, dan setiap kebijakannya senantiasa berpihak pada rakyat yang diayomi. Bukan pemimpin bangsa yang menggadaikan harga dirinya dengan berburu momentum lima tahunan untuk sebuah kekuasaan.

*)Sumbo Tinarbuko (sumbo.wordpress.com), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

Minggu, 26 Oktober 2008

Menyoal Moralitas dan Kejujuran Iklan Politik

Sumbo Tinarbuko


Kemasan, packaging, wadah, alias, bungkus sejatinya difungsikan untuk melindungi barang. Kemasan sengaja dirancang mengutamakan aspek kepraktisan ergonomis agar mudah ditenteng sesuka hati. Nyaman dan aman bagi si pembawa barang. Terlindungi dari perubahan cuaca atau proses-proses lainnya yang mengakibatkan barang tersebut rusak.

Sisi lain dari pengertian kemasan ternyata dapat pula dikontekstualisasikan dalam gegap gempitanya parade partai politik peserta Pemilu 2009.

Dengan memanfaatkan ideologi kemasan, semua partai politik cancut taliwanda mempromosikan parpolnya agar mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat calon pemilih. Kemasan yang paling cespleng berbentuk iklan politik.

Periklanan politik tabiatnya hampir sama dengan periklanan komersial. Sepak terjangnya bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (baca: parpol) yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (baca: Pemilu) tanpa mengandalkan iklan (politik).

Demikian pentingnya peran iklan politik dalam ‘’bisnis parpol’’ sehingga salah satu parameter bonafiditas parpol terletak pada seberapa banyak dana yang digelontorkan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan politik merupakan jendela kamar dari sebuah parpol. Ia sanggup menghubungkan parpol dengan masyarakat. Khususnya calon pemilih.

Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa iklan politik tersebut sebaiknya disampaikan.

Berdasarkan terminologi iklan politik, maka pucuk pimpinan parpol, elit politik, pejabat maupun mantan pejabat publik, LSM, agamawan, saudagar, eksekutif, intelektual, dan kaum cerdik pandai berlomba-lomba mengemas dirinya sebagai representasi parpol lewat iklan politik.

Dengan modal milyaran rupiah dari kocek pribadi atau sponsor, mereka minta bantuan biro iklan dan konsultan komunikasi untuk tampil ‘’memesona’’ dalam kemasan iklan politik. Mereka pun menyewa kapling iklan media massa cetak dan elektronik guna menayangkan program pencitraan politik yang elegan. Mereka membungkus dirinya lewat bahasa yang santun, menawarkan gagasan mengatasi persoalan bangsa yang carut marut. Mereka secara egaliter mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu agar Indonesia menjadi lebih baik. Mereka mengajak masyarakat untuk tidak melupakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka mengajak masyarakat agar mencintai, membeli, dan mengonsumsi produk-produk anak negeri.

Bersifat Paritas

Sayangnya, iklan parpol yang gentayangan di media massa cetak dan elektronik lebih mengedepankan konsep hard sell. Mereka sangat menyukai konsep semacam ini. Karena dianggapnya mujarab mendongkrak popularitas seluruh elemen parpol. Kemudian muncullah kemasan iklan politik yang menawarkan janji surga. Iklan tersebut lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas. Alias sama sebangun. Setiap kali melihat kemasan iklan politik di berbagai media massa cetak dan elektronik, sang tokoh selalu dicitrakan berpendidikan tinggi, religius, santun, murah senyum, dan ramah. Sang tokoh laksana malaikat pembawa warta gembira penuh kedamaian dan kebijaksanaan. Sang tokoh bagaikan sinterklas yang membagi-bagikan hadiah. Sang tokoh seperti Superman yang senantiasa menolong si lemah dan si miskin. Sang tokoh menjelma pahlawan pembela kebenaran.

Dalam kemasan tayangan iklan politik, sang tokoh selalu terlihat merakyat. Blusukan ke pasar tradisional dan pemukiman kumuh di pinggiran kota. Menyapa wong cilik penuh kehangatan. Berbaur dengan masyarakat pedesaan dan warga miskin. Di sana digambarkan, sang tokoh bersama pengiringnya ikut merasakan denyut kehidupan yang sangat minimalis. Pada sekuen lain, sang tokoh berdiri di depan klas sebuah SD. Ia terlihat menjelaskan perihal arti pentingnya sebuah pendidikan. Katanya, ‘’hanya lewat pendidikan, bangsa ini akan maju dan berwibawa dipergaulan tingkat dunia’’. Tetapi, benarkah demikian adanya?

Pemunculan tokoh politik nasional lewat iklan parpol di media massa cetak dan elektronik, dinilai oleh parapihak banyak menyampaikan janji kosong. Sebuah janji surga yang sejujurnya sulit untuk diejawantahkan.

Dalam konteks ini, upaya tebar pesona parpol berikut elit politik lebih mengonsentrasikan kemasan luar dari pada isinya. Artinya, kemasan tebar pesona dalam bentuk iklan politik, justru semakin memperlebar tingkat kesenjangan antara kemasan dengan isinya. Antara tokoh politik, parpol, dengan masyarakat calon pemilih.

Semangat Narsisme

Selain lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas, ternyata iklan politik Pemilu 2009 juga mengandalkan semangat narsisme. Sebuah semangat yang mensyaratkan kecintaan pada diri sendiri. Untuk itu, agar kecintaan pada diri sendiri mendapatkan permaklumannya, banyak di antara mereka menebarkan jaring pesona kepada siapapun. Mereka itu adalah para politikus dan calon legislatif yang mengampanyekan dirinya lewat rumusan konsep narsisme.

Semangat narsisme yang didedahkan lewat senyuman para caleg, realitas visualnya telah menohok mata kita. Mereka sejatinya sedang ‘’mengadu nasib’’ menjadi sekelompok manusia terhormat. Mereka sedang mengupayakan dirinya menjadi anggota dewan yang dihormati. Jika ikhtiarnya terkabul, mereka akan mengemban tugas mewakili rakyat. Sebuah amanah yang harus dijalankan dengan baik dan benar, agar rakyat yang diwakilinya mendapatkan kemakmuran lahir batin. Terjamin harkat dan martabat kemanusiaanya di bumi Indonesia tercinta ini.

Untuk itu, beragam media iklan diberdayakan guna memuluskan strategi pencitraan diri. Tampilan visual foto diri yang masif dan kaku kemudian direproduksi ke dalam citraan iklan televisi, radio, internet, koran dan majalah. Bentangan kain spanduk, umbul-umbul, rontek, baliho dan billboard pun tak ketinggalkan ditancapkan di sepanjang ruas jalan raya demi memperluas polarisasi semangat narsisme agar dikenal khalayak luas.

Pada titik ini, para politikus yang nyaleg sedang menjalankan aktivitas ‘’tepe-tepe’’ alias tebar pesona. Mereka ditengarai menebarkan sampah visual politik dan mengarah pada perilaku kekerasan visual. Mereka cenderung merampas ruang publik. Sebuah area terbuka bagi warga masyarakat untuk reriungan bersama-sama. Modusnya, tim sukses para caleg menancapkan dan memasang sebanyak mungkin media luar ruang. Mengabaikan ergonomi pemasangan media luar ruang yang artistik, komunikatif dan persuasif. Akibatnya, mereka dinilai tidak mengindahkan dogma dekorasi grafis kota yang hakikatnya mengedepankan estetika kota ramah lingkungan.

Semangat narsisme yang sedang dikumandangkan para caleg ini, secara visual gampang ditengarai. Penandanya, jika setiap kali berkendaraan di sepanjang kota, mata kita dipaksa melihat tebaran senyuman caleg yang mengaku dirinya berpendidikan tinggi, berwibawa, santun, dan agamis. Mereka mendandani dirinya sedemikian rupa dan senantiasa menyapa pengguna jalan dengan slogan yang persuasif: ‘’berjuang untuk rakyat’’, ‘’hidup adalah perbuatan’’, ‘’iklas berjuang dan iklas beramal’’, ‘’nasionalis kerakyatan’’, ‘’rakyat berkuasa’’, ‘’satukan umat, makmurkan bangsa’’, ‘’bangkit negeriku, harapan itu masih ada’’, ‘’bersemangatlah mengisi hari-harimu dengan tetap berkarya nyata’’, ‘’membangun masyarakat aman, damai, adil, demokratis’’, ‘’bangkit bersama membangun negeri’’, dan lainnya.

Penanda narsisme lainnya yang sangat narsis, dapat terlihat di depan dan belakang nama orang yang mendadak nyaleg. Di sana, dituliskan dua atau tiga huruf singkatan gelar akademis. Mereka haqqulyakin, gelar akademis S1, magister ataupun doktor menjadi aksesoris diri yang diharapkan mampu mendongkak daya tarik aura fisiknya, di hadapan publik calon pemilih. Mereka menempuh jalan semacam itu, sebab gelar akademis sampai detik ini masih dipercayai mampu merepresentasikan kesuksesan pendidikan formal. Bahkan lewat gelar akademis, sebagian orang menganggap dirinya sebagai bangsawan modern.

Pertanyaannya, dengan menyantumkan deretan gelar akademik di depan ataupun belakang nama caleg, apakah itu menjadi indikator tingginya kadar intelektualitas yang bersangkutan? Adalah relevansi capaian gelar akademis dengan peluang dipilih sebagai anggota dewan?

Atas pertanyaan itu, banyak pihak meragukannya. Mereka beranggapan, caleg yang menerapkan strategi narsisme dengan memasang gerbong gelar akademis, dipandang belum memiliki jam terbang yang memadai dalam ranah politik. Pendeknya, caleg sim salabim ini, nilai rapot politiknya masih bertinta merah. Belum memiliki prestasi politik yang membanggakan masyarakat. Sebab menjadi seorang politikus atau kader partai harus sudah teruji ruang dan waktu. Selain itu, mereka yang akan nyaleg mesti berani nggetih. Artinya memiliki kemampuan yang brilian dalam memahami berbagai isu yang muncul di tataran akar rumput. Tangkas menyusun pemecahan masalah atas isu yang berkembang di daerah yang diwakilinya.

Jika semangat narsisme masih menyelimuti sanubari caleg, maka jagat percalegan ditengarai mengalami masa paceklik. Mengapa? Karena ladang Pemilu 2009 tidak mampu membuahkan panen raya anggota legislatif yang mumpuni. Dengan demikian, pelan namun pasti, kekhawatiran lembaga legislatif tidak serius memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyat bukanlah sebuah fatamorgana.

Pada akhirnya, rakyat pun hanya mampu bergumam, ‘’Kami membutuhkan wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang senantiasa mengedepankan komitmen dan loyalitas pada kepentingan rakyat. Bukan wakil rakyat atau pemimpin bangsa yang instan dan suka bersolek!’’

Moralitas dan Kejujuran

Atas dasar pengalaman komprehensif semacam itu, rakyat cenderung hati-hati. Rakyat semakin permana dalam menentukan siapa yang layak memimpin negeri dengan sebutan jamrud katulistiwa ini. Kehati-hatian semacam itu lebih didasari pada fakta sejarah. Selama ini, para pemimpin bangsa yang diberi kepercayaan rakyat untuk mengelola Republik tercinta ini, lebih dikenal lewat tampilan kemasannya saja. Karena senantiasa mendewakan kemasan visualnya saja, akibatnya, para pemimpin bangsa dan pejabat publik lebih banyak bekerja dengan mengatur siasat dan beradu strategi demi merebut kekuasaan. Dengan label penguasa, mereka dipastikan memiliki hak mengelola bangsa dan negara ini. Lewat predikat penguasa, mereka mempunyai hak dan merasa paling mampu serta paling benar untuk mengatur bangsa dan negara ini. Dengan sebutan penguasa, mereka dapat memproyeksikan dirinya beserta pengikutnya untuk senantiasa menikmati kesejahteraan lahir batin.

Dalam alam reformasi seperti sekarang ini, masyarakat secara terbuka tidak akan terpengaruh oleh janji tokoh politik yang manis di mulut, namun pahit dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mau bagian dari kehidupannya diganggu oleh janji gombal yang disuarakan partai politik yang senang berburu kekuasaan.

Untuk itulah, dengan mengedepankan moralitas, menjunjung tinggi kejujuran, dan berpolatindak pada kearifan lokal. Kita percaya, masih banyak partai politik, dan tokoh politik yang layak mendapatkan amanat rakyat menjadi pemimpin bangsa. Dengan menempuh jalan yang baik dan benar serta bermartabat, masih banyak negarawan pengayom masyarakat, yang rela mengabdikan diri, guna mewujudkan nurani keadilan dan rasa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lewat kerjasama dan komunikasi dialogis secara egaliter antar parapihak, diyakini mampu memunculkan dan memelihara kehidupan ini dengan nyaman, aman, tenteram, adil, dan sejahtera. Dengan demikian keadaan Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bukan hanya sekadar impian di siang bolong. Tetapi kasunyatan hakiki!

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/)
Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa, dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

•••

Minggu, 05 Oktober 2008

Kapan Kembali Ke Jogja?

Sumbo Tinarbuko


Judul tertera di atas meminjam tagline kampanye promosi saudagar kaos kreatif PT. Aseli Dagadu Djokdja. Slogan berbentuk ajakan santun itu, didasari dari kearifan lokal dan sifat ramah warga Yogyakarta saat mengantarkan sahabat atau kerabatnya berpamitan pulang meninggalkan Yogyakarta. ‘’Kapan kembali lagi? Saya tunggu kedatangannya, lho! Hati-hati di jalan ya...’’, ujarnya sembari melambaikan tangan.

Sapaan hangat Kapan Kembali ke Jogja (KKJ), semangatnya dapat dimanfaatkan untuk menggugah adrenalin kangen seseorang. Keberadaannya mampu menggoyang kerinduan seseorang atau sekelompak orang, agar setia mengunjungi Yogyakarta. Harus diakui, Yogyakarta bagi alumnusnya (orang yang pernah tinggal di Yogyakarta), menyembulkan getaran romantisme tiada tara. Apalagi saat liburan Lebaran seperti sekarang ini, romantisme Malioboro dan pasar Beringharjo selalu mengusik sanubari para alumnus Yogyakarta untuk mengunjunginya. Bagi mereka, rasanya kurang afdol, jika mudik ke Yogyakarta tidak menyusuri Malioboro dan pasar Beringharjo.

Masalahnya kenapa Yogyakarta begitu ngangeni? Kenapa pula orang-orang yang pernah bermukim atau berkunjung ke Yogyakarta ingin kembali lagi ke sini?

Survey memaparkan, kota yang dibangun Dinasti Mataram ini, selain nyaman, secara geografis daerahnya kaya akan representasi objek wisata. Magnet pariwisata tersebut menyebarkan auranya di sudut ruang dan waktu kota Yogyakarta. Di antaranya objek wisata religiusitas keagamaan, ziarah kubur, pendidikan, konferensi, sejarah, belanja, dan kuliner tradisional. Di samping itu: wisata alam, pantai, serta wisata minat khusus, tidak pernah sepi dikunjungi pelancong dari berbagai pelosok dunia.

Tawaran mengunjungi objek wisata yang dikemas dalam sapaan KKJ ini layak dikedepankan. Hal itu menjadi penting, mengingat sektor pariwisata menjadi salah satu andalan objek pendapatan finansial pemerintah daerah. Di dalamnya juga termaktub industri kreatif yang menjadi soko guru industri pariwisata.

Senyampang mengedepankan sapaan romantis KKJ, tidak ada salahnya dilakukan evaluasi diri terkait kondisi fisik penyajian objek wisata tersebut. Bagaimana keberadaan visual objek wisata tersebut? Kumuh, kotor penuh coretan grafiti liar? Ala kadarnya? Atau bersih, unik, dan ngangeni? Bagaimana pula dengan pola pelayanan dan citra kenyamanan yang didedikasikan kepada para wisatawan?

Terkait dengan sapaan romantis KKJ, hal yang paling mendesak dilaksanakan adalah mempersiapkan, menata, dan mendidik SDM pelaku pariwisata, pejabat publik, dan masyarakat luas. Semuanya perlu dilakukan agar mereka memiliki kesadaran akan pentingnya dunia pariwisata. Langkah konkretnya dengan mengedepankan aspek handarbeni dan nguri-uri aset objek wisata yang ada sesuai jaman yang melingkupinya.

Hal lain agar sapaan romantis KKJ dapat segera diejawantahkan. Salah satunya dengan memberikan jaminan kepada wisatawan untuk mendapatkan banyak kemudahan. Antara lain, kemudahan dalam hal sirkulasi keluar-masuk objek wisata. Rasa aman, nyaman, serta dijamin dapat menemukan suasana rekreatif khas Yogyakarta.

Untuk itu, secara profesional tidak ada salahnya melakukan pemetaan ulang atas objek wisata tersebut. Rute pertama, misalnya, membujurkan objek wisata pendidikan dan konferensi, wisata kuliner sajian beragam jenis makanan khas Yogyakarta dan sekitarnya. Selanjutnya, wisata belanja di sepanjang jalan Solo, Malioboro, pasar Beringharjo, pasar Ngasem, dan pasar klithikan Kuncen.

Berikutnya boleh juga dirangkai dengan wisata heritage. Terdiri dari bangunan peninggalan arsitek Portugis dan Belanda. Di antaranya: Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman, lengkap dengan Tamansari dan Alun-alunnya. Ndalem pangeran di sekitar Jeron Beteng. Museum Sonobuyo, museum kereta kuda, dan arsitektur Masjid Agung yang unik dan indah. Selain itu juga bangunan heritage peninggalan Belanda seperti: Gedung Agung, Societet, Beteng Vredenburg, Kantor Pos, Bank Indonesia, Bank BNI, Ngejaman.

Serta wisata senirupa, seni pertunjukan tradisional dan kontempoter dilengkapi museum, galeri, ruang pamer, gedung pertunjukkan dengan dukungan kreativitas seniman yang berjibun jumlahnya.

Rute dua, wisata sejarah, dan wisata religius. Semuanya itu bisa didapatkan di daerah Kotagede dan sekitarnya. Di sana terdapat berbagai bangunan kuno dan makam leluhur peninggalan kerajaan Mataram pertama. Cenderamata perak dan kuningan. Pasar, makanan, kesenian, dan kendaraan tradisional tanpa mesin. Dapat pula ditambahkan kebun binatang Gembiraloka dengan koleksi lengkap berbagai binatang dan tumbuhan langka.

Konsepsi pemetaan visual objek wisata seperti ini menjadi sangat berharga bagi para wisatawan. Hal itu tentunya akan memudahkan para pelancong untuk mengunjungi berbagai objek wisata, sesampainya mereka turun dari kereta api, pesawat terbang, bus pariwisata, atau kendaraan pribadi.

Selain melakukan penataan rute perjalanan wisata yang nyaman. Perlu dirancang moda transportasi bermotor ataupun kendaraan tidak bermesin untuk mengangkut wisatawan mengelilingi objek wisata Yogyakarta. Menyediakan lahan parkir yang tertata rapi. Membunuh premanisme dan kriminalitas. Membasmi juru parkir nakal yang melipatgandakan bea parkir kendaraan roda dua ataupun mobil. Menata PKL sesuai dengan peruntukan trotoar dan tidak terlambat membersihkan sampah yang ditinggalkan para pelancong.

Menumbuhkan hutan dan taman kota yang asri. Menempatkan beragam bentuk street furniture di ruang publik sebagai wahana melepas lelah. Memasang patung-patung artistik sebagai representasi kota pariwisata berbasis budaya. Semuanya dapat menimbulkan kesan kota yang berbudaya, indah, bersih, nyaman, dan ngangeni.

Romantisme semacam itu sangat didambakan wisatawan. Mereka mendapatkan pengalaman dan kenangan khusus ketika melancong ke Yogyakarta. Para alumni Yogyakarta pun tanpa sungkan-sungkan menjawab sapaan romantis KKJ, ‘’Pada liburan yang akan datang, kami pasti kembali lagi ke Yogyakarta’’.

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

DiskomFest #3 DKV FSR ISI Yogyakarta: “Ring of Fire”





DISKOMFEST merupakan acara rutin dua tahunan yang diselenggarakan oleh mahasiswa Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Pada dasarnya acara ini merupakan pesta untuk merayakan kreativitas bagi para insan DKV. Pesta yang berupa Pameran karya, Seminar, Creative Sharing, dan entertainment lainnya. Pertama kali diselenggarakan pada September 2004 bertempat di Benteng Vredeburg Yogyakarta, mengusung tema Study Hard Play Hard. Kemudian disusul DISKOMFEST #2: Challenging Heroes di tempat yang sama dua tahun kemudian.

Dan tahun ini perhelatan tersebut kembali digelar. Mengusung tema Ring of Fire, yang merupakan simbol semangat tanpa batas bagi kawula DKV di tanah air dalam berkarya. Diselenggarakan di Jogja National Museum yang merupakan bekas gedung ASRI, STSRI “ASRI”, dan FSRD ISI Yogyakarta sebelum pindah ke kampus terpadu di Sewon.

DISKOMFEST #3 kali ini selain mengadakan Pameran, Seminar Tipografi dengan pembicara Bpk Danton Sihombing dan Gigih Budi Abadi, juga menghelat Award Majalah SMA untuk wilayah Jogja. Yang kemudian semua peserta award tersebut mendapatkan workshop digital magazine oleh Jogja Force, dan workshop komik oleh Beng Rahadian dan Ismail “Sukribo”.

DISKOMFEST merupakan pesta dari, oleh, dan untuk insan DKV di Indonesia. Untuk itu kami menunggu partisipasinya dari seluruh kawula DKV di Nusantara untuk turut serta menyemarakkan acara ini.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

RING OF FIRE

Setelah bumi yang kita rasakan semakin panas ini mengelilingi matahari kira-kira dua kali putaran, DISKOMFEST hadir kembali untuk merayakan pesta kegelisahan yang kami rasakan dua tahun terakhir. Kegelisahan yang kami rasakan dalam melewati bulan demi bulan, hari demi hari, jam demi jam kami sebagai insan komunikasi visual di Indonesia. Kegelisahan yang kami tumpahkan sebagian (sebagian tetap kami simpan dalam hati) dalam perhelatan DISKOMFEST yang kali ini sudah ketiga kalinya diselenggarakan.

Dalam perhelatan DISKOMFEST #3 kali ini mengusung tajuk RING OF FIRE (lingkaran api). Lingkaran di sini berarti sesuatu yang tanpa titik awal dan titik akhir, sesuatu yang tak pernah berhenti, selalu bergerak, dinamis dan tak berbatas. Sedangkan api melambangkan semangat yang selalu berkobar. Jadi RING OF FIRE kurang lebih berarti “Semangat yang berkobar tanpa henti”, tentu dalam hal ini adalah semangat insan kreatif DKV dalam berkarya, dan dalam membangun dunia per-DKV-an di tanah air.

Lingkaran api sendiri merupakan elemen yang sangat khas dari pertunjukan Sirkus. Biasa digunakan dalam atraksi dengan singa yang melompati lingkaran api. Dalam pandangan kami, Sirkus mempunyai persamaan dengan DKV. Seperti yang kita tahu, Sirkus, dalam satu tenda besar mempertunjukkan beragam jenis orang dengan beragam keahlian pula yang membuat kita terkagum-kagum. Pertunjukan Sirkus merupakan rangkaian penampilan orang-orang aneh yang memiliki ketrampilan aneh pula yang jarang dimiliki orang awam. Begitu juga dalam satu tenda DKV terdapat berbagai macam orang aneh dengan beragam keahlian pula.

Perkembangan jaman menuntut dunia DKV untuk terus berkembang mengikutinya yang selanjutnya juga menuntut kita untuk selalu waspada terhadap perkembangannya, karena jika kita hanya diam di tempat maka dunia DKV akan jauh meninggalkan kita. Waspada agar kita tidak menelan mentah semua perkembangan jaman, tapi paling tidak kita tetap mempunyai sikap tehadap perkembangan jaman, ibarat pepatah Jawa: ngeli tapi ora keli (mengikuti perkembangan arus tetapi tidak terbawa arus). Memiliki sikap berarti juga kita mampu menempatkan diri dengan benar sebagai insan DKV di tengah-tengah masyarakat dan industri. Dengan memiliki sikap pula kita mampu menghapus stigma bahwa DKV hanya merupakan sapi perah industri dan agen dehumanisasi bagi masyarakat karena sebagian kontribusinya dalam konsumerisme.

Lingkaran perkembangan jaman yang terus berputar dengan cepat juga menuntut kita untuk terus mempertahankan sikap kita tanpa harus meninggalkan perputaran tersebut. Ring of Fire di sini juga berarti “semangat tanpa henti dalam menyikapi pekembangan jaman”. DISKOMFEST kali ini mempunyai misi untuk memberikan setitik kontribusi dalam menumbuhkan sikap bagi masyarakat DKV di tanah air dan di Jogja pada khususnya dalam menghadapi terpaan perkembangan jaman. Dan juga sebagai tanggung jawab kami sebagai bagian dari masyarakat DKV di Indonesia untuk turut serta membangun dunia DKV di tanah air. Membekali lingkaran terkecil dari diri kita untuk kemudian menuju ke lingkaran yang lebih besar. Sembari menjaga lingkaran tersebut untuk tetap utuh dan tetap menyala.

Aditya Permana
Project Leader

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

DeKaVe Penanda Jiwa Zaman
Sumbo Tinarbuko

Ketika disodori tema: ‘’Ring of Fire’’ oleh Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, muncul pertanyaan besar dalam benak saya. Apakah selama ini keberadaan DeKaVe (Desain Komunikasi Visual) tidak mampu mewarnai jiwa zamannya? Atau bahkan belum ada produk DeKaVe yang sanggup mencerahkan peradaban manusia? Pertanyaan selanjutnya, produk DeKaVe yang bagaimanakah yang mampu mencerahkan peradaban? Peradaban yang bagaimanakah yang dapat dicerahkan oleh sebuah produk DeKaVe?

Terlepas dari beberapa bertanyaan yang bergelayut dalam pikiran saya di atas, sejatinya produk DeKaVe adalah produk kebudayaan massa. Keberadaan produk DeKaVe sangat lekat dengan hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Ia tak bisa lepas dari sejarah kehidupan umat manusia. Karena ia merupakan salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup.

Desain Komunikasi Visual alias DeKaVe dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan, bersifat rasional, dan pragmatis. Jagat DeKaVe senantiasa dinamis, penuh gerak, dan perubahan. Hal itu karena jiwa zaman, peradaban manusia, dan ilmu pengetahuan modern memungkin semuanya itu terjadi. Artinya, sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, produk DeKaVe juga berhadapan pada konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi massa.

Ketika produk DeKaVe merupakan bagian dari produk kebudayaan massa, maka tugas kita sekarang adalah bagaimana caranya agar produk DeKaVe bisa berfungsi sebagai penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern.

Ciri sebuah produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern: pertama, produk DeKaVe mampu tampil secara atraktif, komunikatif, dan persuasif. Kedua, produk DeKaVe harus dapat mencerdaskan masyarakat terkait dengan pesan verbal dan pesan visual yang ingin disampaikan. Ketiga, keberadaannya bisa diterima secara iklas oleh masyarakat luas. Keempat, mengikuti perkembangan hukum adat yang berlaku, menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal.

Keempat ciri produk DeKaVe yang saya rumuskan di atas sebenarnya bagi kawan-kawan yang bergerak di industri per-DeKaVe-an bukanlah sesuatu yang baru dan sulit untuk diejawantahkan dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat yang plural dan heterogen.

Tetapi dalam konteks ini, saya ingin menegaskan, dalam rangka mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban manusia modern, seperti yang diamanatkan Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, perlu kiranya kita memberi perhatian khusus pada butir keempat: ‘’menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal’’.

Mengapa demikian? Sebab dengan menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, untuk kemudian diangkat menjadi sumber inspirasi, sebagai sumber ide dan gagasan, serta sebagai perangkat lunak untuk mengkomunikasikan beragam pesan verbal dan pesan visual yang bersifat komerisal, sosial, atau pun moral kepada sasaran khalayak yang dibidik, maka berbagai produk DeKaVe yang dihasilkan oleh tangan-tangan kreatif yang senantiasa mengedepankan kearifan budaya lokal Yogyakarta akan menjadi penanda jiwa zaman yang cukup kuat atas keberadaan sebuah produk DeKaVe yang mampu memberikan aksentuasi perikehidupan masyarakat. Ujung-ujungnya diharapkan mampu mencerahkan pemikiran dan perasaan umat manusia yang hidup dan mengisi kehidupannya sesuai dengan talenta masing-masing.

Terkait dengan upaya mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia, alangkah baiknya jika berbagai media massa cetak dan elektronik yang tersebar di seluruh pelosok DIY dan Indonesia pada umumnya, mau berbaik hati dan sedikit mengedepankan jiwa sosial demi apresiasi dan pengembangan wacana DeKaVe yang mampu mencerahkan peradaban modern di tengah karut marut persepsi masyarakat yang demikian heterogen.

Dukungan dari para pengelola media massa dan elektronik dalam konteks ini, bersedia dengan sukarela menayangkan secara periodik liputan pameran produk DeKaVe, talkshow Grafis Komunikasi, Desain Komunikasi Visual, wawancara tokoh praktisi DeKaVe, interview dengan tokoh akademisi DeKaVe dan lembaga pendidikan DeKaVe, bedah konsep produk DeKaVe dari kreator DeKaVe. Ataupun memuat dan menayangkan tulisan opini yang terkait dengan produk DeKaVe dari sejumlah penulis (pengamat, praktisi, akademisi dan mahasiswa) yang memiliki minat mengembangkan disiplin ilmu tersebut.

Sebab perkembangan praksis, wacana, dan ilmu Desain Komunikasi Visual tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari parapihak sulit dilaksanakan. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka keberadaan DeKaVe sebagai salah satu kajian studi kebudayaan juga akan jalan di tempat, alias mandeg! Jika fenomena semacam itu tidak pernah saling bertegur sapa, selanjutnya dapat ditebak akibatnya: sulit mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia.

Terima Kasih. Mugi rahayua ingkang sami pinanggih. Sampai berjumpa pada perhelatan kreatif Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, 29 Oktober 2008 – 1 November 2008.

Sumbo Tinarbuko
Kurator
(http://sumbo.wordpress.com/)
Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Ring of Fire: Creative Fest.

DISKOMFEST #3 kini hadir di Jogja National Museum. Berbagai agenda disertakan didalamnya untuk mengaktualisasi perkembangan desain, periklanan, seni dan komunikasi visual lain dalam bentuk media baru. Pameran, seminar, workshop, creative sharing, dll, merupakan respon lanjut dari kegiatan yang sama sebelumnya.

Jogja National Museum dipilih sebagai tempat penyelenggaraan diskomfest dengan pertimbangan ketersedian ruang. Selain itu, dari aspek perasaan; ada semacam creative home. Lokasi ini memiliki citra kultural dari dulu hingga kini. Sementara itu, waktu penyelenggaraan dilangsungkan dalam tempo secukupnya.

Meski masih ‘embrio’, diskomfest berada di lingkup pergerakan kreativitas desain. Kegiatan ini melibatkan ‘diskomer’ dari berbagai Pihak, baik akademik dan stakeholder kreatif dari berbagai kota. Mereka yang terlibat dalam kegiatan ini ialah individu, perusahaan dan komunitas, yang menciptakan lapangan kerja baru, menyerap tenaga kerja, dan menciptakan pasarnya sendiri. Diantaranya menciptakan usaha periklanan, ilustrasi, animasi, video klip, merchandise, desain grafis, produk, seni, clothing, dan wacana desain. Oleh sebab itu, diskomfest lebih terasa menuju festival kreativitas.

Diskomfest sadar bahwa zaman terus bergerak. DISKOMFEST kali ini diselenggarakan di konteks ekonomi kreatif. Kreativitas digencarkan menjadi sumber perekonomian. Dalam hal ini, apapun, baik barang dan jasa yang bisa dipatenkan akan menjadi ekonomi kreatif. Konteks ini mendatangi desain, menjadi penampang bagi orientasi desain ke depan untuk membentuk sumber ekonomi berbasis desain.

Fenomena ekonomi kreatif ini terkait dengan sumber unggulan kota. Bisa didapatkan dari pergerakan pelaku dan komunitas desain – yang menciptakan ceruk pasarnya sendiri. Kemampuan simbolik, dan pangsa yang dihasilkan oleh pelaku dalam diskomfest bisa dijadikan ‘perabaan’ ekonomi kreatif berbasis desain. Tentu diperlukan peta produksi, konsumsi, gaya hidup, kebutuhan identitas desain ke depannya. Kreatifitas menjadi modal untuk dikontribusikan, dipasarkan dan dikomunikasikan.

Gagasan ekonomi kreatif ini berada di lanskap persaingan global, lebih memanfaatkan persaingan antar kota. Setiap kota memiliki susunan material sendiri, formasi kreatif, dan sumber-sumber modal berbeda. Sebuah festival, misalnya diskomfest menggambarkan fenomena tersebut. Itu mengapa festival cenderung membutuhkan konsep lokalitas untuk sandaran identitas. Untuk memandang sejauh mana bentuk-bentuk pergerakan-pergerakan tersebut bisa ditandakan, juga dikembangkan variasinya menurut value-value ekonomi kreatif.

Praktik kreatif ini bisa membentuk pekerja kreatif yang menciptakan nilai pada ekonomi tanda. Metode aktualisasi bisa melalui konsep lokalitas, youth culture, identitas, dsb. Irisan-irisan semacam ini dalam praktik desain akan memperlihatkan bidang kreativitas memiliki penampakan arkeologi ketrampilan yang bervariasi.
Diskomfest merupakan pergerakan desain yang melibatkan berbagai faktor. Pada peristiwa yang berlangsung secukupnya ini, diskomfest berusaha menghubungkan faktor: generasi, komunitas, profesional, perupa, mahasiswa untuk memperluas partisipasi dan membentuk “Ring of Fire” – lingkaran kreatif. Diskomfest sebagai sirkuit bagi kreatifitas.

Sutrisno
Ko kurator pameran DiskomFest
Alumnus DKV ISI YK

•••

Rabu, 24 September 2008

Hiduplah Bersahaja

Oleh Sumbo Tinarbuko


Mencermati grafis komunikasi iklan perbankan, salah satu klausulnya menyebutkan perihal layanan prima kepemilikan kartu kredit. Di dalam iklan tersebut disebutkan berbagai fasilitas kemudahan berikut beragam keuntungan yang akan didapatkan manakala masyarakat luas berkenan memiliki dan menggunakan kartu kredit. Dalam konteks ini, kartu kredit diposisikan sebagai sinterklas yang mampu menolong para pemiliknya untuk membayar segala macam produk barang dan jasa yang dibelinya.

Berkat kepiawaian sales marketing bank swasta ataupun BUMN menarik minat masyarakat luas untuk menjadi nasabahnya, maka di dalam dompet manusia modern selalu dijumpai kartu kredit alias uang plastik. Produsen kartu kredit mendedahkan dogma bahwa dengan menggunakan kartu kredit, semuanya beres. Praktis dan aman penggunaannya. Dalam konteks ini, pengguna kartu kredit mengemas dirinya dalam lingkaran kehidupan yang dikendalikan oleh aktivitas hutang. Semakin banyak kartu kredit yang dimilikinya, semakin bebas membelanjakan uangnya. Semakin banyak hutang yang dimiliki, maka mereka dinobatkan sebagai warga masyarakat modern. Mereka juga mendapatkan sertifikat sebagai anggota masyarakat yang paling terhormat di jagat raya ini.

Atas nama kemasan gaya hidup modern, jaringan kapitalisme global selalu merayu pembeli dan calon pembeli agar senantiasa setia dibabtis menjadi konsumen loyal. Lewat rayuannya yang dahsyat, para pemilik kartu kredit dikondisikan sedemikian rupa untuk selalu berbelanja, agar para konsumen loyal ini mendapatkan diskon dan reward point atas objek barang dan jasa yang dibelinya. Di dalam benak konsumen loyal ditiupkan untaian kata mutiara: ‘’Demi sebuah rasa aman, berbelanjalah dengan menggunakan kartu kredit. Demi sebuah kenyamanan hidup di abad modern, berbelanjalah dengan cara berhutang. Sebab hidup dalam naungan hutang adalah representasi manusia modern’’

Berdasarkan inspirasi kata mutiara tersebut di atas, manusia modern akhirnya memegang prinsip hidup sebagai berikut: ‘’Hidupku untuk hutang dan hutangku untuk hidup’’. Dengan demikian, manusia modern harus bekerja keras mengumpulkan uang sebanyak-banyak, agar dapat melunasi hutang-hutangnya, untuk kemudian hutang kembali agar bisa membeli berbagai produk barang dan jasa yang dikemas secara modern. Prinsip gali lubang tutup lubang menjadi panglima sikap manusia modern. Demikian seterusnya sehingga lingkaran setan konsumtivisme saling sambung menyambung tanpa terlihat pangkal ujungnya.

Prinsip gali lubang tutup lubang untuk memuaskan hasrat hidup boros yang dikondisikan pejabat publik, wakil rakyat, dan gaya hidup rumah tangga modern, dalam perkembangannya memendam bom waktu. Setiap saat mudah meledak. Ledakan itu sudah menggantung di pelupuk mata. Hal itu terlihat ketika generasi muda cenderung menunjukkan tabiat malas mengolah segala potensi rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mampu mewarnai dunia. Dampaknya, Indonesia menjadi bangsa yang lembek daya juangnya. Bangsa yang mudah dikibuli negara asing. Kita menjadi bangsa yang mudah bingung dan tersinggung karena tidak punya potensi dan jatidiri.

Generasi muda yang terjebak tabiat boros ini cenderung tidak pernah mau berpikir pentingnya sebuah proses alamiah dalam kehidupan demi menjaga upaya pendewasaan diri. Mereka menjadi sekelompok generasi instan yang tahunya serba beres, enak, bebas tanpa kendali, menyenangkan, dan tampak modern. Mereka menjadi generasi cuek, santai, abai akan masa depan, dan lingkungan hidupnya.

Tabiat boros harus segera dihentikan, minimalnya dikurangi. Ketika dalam hidup dan kehidupan kita lebih mengedepankan tabiat boros dan mengumbar energi negatif untuk kesenangan sesaat, maka wacana ketidakseimbangan itu sejujurnya sedang membakar tubuh mungil kita. Artinya, tubuh kita seolah-olah merasa lapar, haus dan dahaga yang setiap saat harus dipenuhi dengan mengonsumsi berbagai produk yang hampir semua pengadaannya dengan jalan mengeksploitasi alam raya secara semena-mena dan subversif.

Kita harus ingat, hidup ini hanya mampir ngombe alias sesaat. Untuk itu agar terjalin keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, seyogianya mulai mengedepankan pola hidup bersahaja, hemat, prasaja, eling, lan waspada. Sebab dengan menjalani hidup secara bersahaja, sejatinya akan menghindarkan orang-orang yang kita sayangi melakukan tindak pidana korupsi.

Selain mengedepankan pola hidup bersahaja, seyogianya perlu juga selalu memupuk rasa solidaritas kepada sesama umat manusia dalam untaian kasih sayang tanpa pamrih. Dan lebih penting lagi, dalam bulan yang menuh rahmat ini, tidak ada salahnya senantiasa berserah diri kepada sejatinya hidup yakni Allah yang Maha Esa.

*)Sumbo Tinarbuko, Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen FSR ISI Yogyakarta.

Sikap Saling Menghormati dan Selalu Berbuat Baik

Oleh Sumbo Tinarbuko


Sebuah perbuatan yang mencerminkan rasa menghargai terhadap seseorang atau sekelompok orang bisa dikategorikan sebagai dalil menghormati. Pelajaran untuk saling menghormati secara horizontal selalu didengungkan para pemuka agama, pemangku adat, orang tua, guru, dan siapapun yang memiliki nurani menghargai keberadaan harkat dan martabat kemanusiaan seorang manusia.

Sayang, naluri saling menghormati secara tulus, ditengarai mulai dilupakan hamba Tuhan. Hal itu nampak jelas ketika sebuah kebaikan yang berlandaskan azas saling menghormati akan muncul dengan sendirinya apabila kita mampu menghadirkan sebuah pamrih yang dikendalikan remote control politik ekonomi dengan kalkulasi untung rugi. Contoh konkrit dapat disaksikan pada berbagai reality show tayangan televisi yang menghadirkan sebuah kebaikan dalam kemasan politik dagang.

Pertanyaannya, kenapa kita enggan saling menghormati? Kenapa kita sulit berbuat baik tanpa pamrih demi memuliakan sebuah kebaikan yang hakiki? Kenapa kita tidak mau menerima keberagaman orang lain tanpa mencurigainya? Kenapa kita sukar menghormati perbedaan pendapat dengan orang lain? Dan kenapa pula kita seakan menjadi ‘mati’ justru ketika kita masih mampu menghirup napas kehidupan dengan bebas?

Permasalahan besar seperti itu agaknya menjadi kecenderungan negatif yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia. Anehnya lagi, belakangan ini, kita condong menjadi masyarakat yang seragam dalam hal selera dan pemikiran. Kita cenderung emosional, mudah tersinggung, senang menyimpan dendam, dan gampang naik darah ketika menghadapi sebuah permasalahan yang terkadang tidak prinsipial.

Realitas Semu

Terhadap permasalahan tersebut di atas, kita seolah disihir dan dituntun untuk mengadopsi gaya hidup, gesture tubuh, cara berpikir, gaya berbicara, dan pernak pernik moralitas sosial budaya ala industri televisi. Kita didaulat menghargai kehidupan instan dengan memutus rantai proses kehidupan. Padahal dengan mengikuti proses kehidupan, pada titik ini dimulailah sebuah proses pendewasaan diri manusia.

Akibatnya, kita lebih memercayai kehidupan realitas semu yang seragam. Sebuah realitas maya yang fiktif belaka. Sebentuk tatanan perikehidupan semu yang tidak menanamkan budi pekerti dalam payung kearifan lokal. Sebuah habitus semu yang tidak menempatkan sikap hormat menghormati sebagai pilar utama hidup bermasyarakat.

Pendeknya, sikap hidup saling menghargai seperti dipolakan dalam kehidupan realitas semu di industri televisi, sejatinya senantiasa bermuara pada kehendak daulat uang. Dalam konteks ini, untuk dihormati, cara yang gampang ditempuh lewat perburuan harta benda. Kekayaan duniawi diberhalakan demi sebuah kehormatan yang merepresentasikan dirinya manusia modern. Pada bagian ini, kehormatan seseorang senantiasa ditakar dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Artinya, uang menjadi penanda kasta sosial seseorang di tengah gejolak jaman yang semakin anomali ini. Dampak turunannya, manusia menjadi semakin egois di dalam mempertahankan hidupnya. Segala jalan ditempuh demi mendapatkan segenggam kehormatan. Hasrat manusia untuk mendapatkan sanjungan, puja puji, dan dihormati secara artifisial kemudian diyakini menjadi sebuah way of life.

Celakanya, sikap hidup semacam itu mendapatkan peneguhannya dan secara kasatmata tercermin pada masyarakat Indonesia yang lebih menyukai kemasan kehidupan glamour. Setiap saat menggelar pesta dengan berbagai tajuk untuk merayakan momentum kesuksesan dan kebahagian individu atau kelompok. Dihadiri kalangan selebritis, pejabat publik, dan kalangan jetset. Disuguhi hidangan minuman dan makanan mewah olahan koki terkenal. Perhelatan bersifat hura-hura konsumtif itu dihibur pertunjukan musik dari grup band papan atas, penyanyi kondang, dan penari yang menggoyangkan tarian modern.

Perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia seperti tersebut di atas semakin menegaskan keterpurukan kita sebagai masyarakat yang miskin imajinasi. Masyarakat yang cenderung menisbikan keselarasan nalar rasa dan nalar pikir.

Hati nurani kita nyaris tertutup awan hitam yang bersifat artifisial. Sehingga semangat untuk saling menghormati dan senantiasa menyebarkan aura kebaikan menjadi tenggelam akibat disibukkan oleh pemikiran-pemikiran pragmatis, egoistis, dan individualistis.

Pertanyaan berikutnya, kenapa kita sulit untuk saling menghormati dan selalu berbuat baik tanpa diembel-embeli berbagai kepentingan yang bersifat duniawi? Kenapa pula kita belum mampu melakonkan sebuah kebaikan dalam jagat kehidupan yang manusiawi tanpa harus disorot kamera?

Mewartakan Kasih Sayang

Lewat ajakan saling menghormati, selalu berbuat baik dan menerima apa adanya kebhinekaan ambisi dan gejolak hasrat manusia, akan menunjukkan kualitas kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Artinya, ketika kualitas kemanusiaan manusia dari waktu ke waktu semakin terasah kepekaannya, hal itu diyakini mampu mendengarkan pesan suci yang menyembul lembut dari hati nurani. Sebuah pesan suci yang menuntun nalar rasa dan nalar pikir kita untuk senantiasa mewartakan kasih dan mengamalkan rasa sayang kepada seluruh manusia. Di bulan suci yang penuh rahmat seperti sekarang ini saatnya kita merelakan hati untuk selalu berbuat baik, saling menghormati dengan memilih hidup bersahaja dalam dimensi horizontal maupun vertikal.

*) Sumbo Tinarbuko, Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta.

Senin, 01 September 2008

DeKaVe Penanda Jiwa Zaman



Sumbo Tinarbuko



Ketika disodori tema: ‘’Ring of Fire’’ oleh Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, muncul pertanyaan besar dalam benak saya. Apakah selama ini keberadaan DeKaVe (Desain Komunikasi Visual) tidak mampu mewarnai jiwa zamannya? Atau bahkan belum ada produk DeKaVe yang sanggup mencerahkan peradaban manusia? Pertanyaan selanjutnya, produk DeKaVe yang bagaimanakah yang mampu mencerahkan peradaban? Peradaban yang bagaimanakah yang dapat dicerahkan oleh sebuah produk DeKaVe?

Terlepas dari beberapa bertanyaan yang bergelayut dalam pikiran saya di atas, sejatinya produk DeKaVe adalah produk kebudayaan massa. Keberadaan produk DeKaVe sangat lekat dengan hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Ia tak bisa lepas dari sejarah kehidupan umat manusia. Karena ia merupakan salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup.

Desain Komunikasi Visual alias DeKaVe dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan, bersifat rasional, dan pragmatis. Jagat DeKaVe senantiasa dinamis, penuh gerak, dan perubahan. Hal itu karena jiwa zaman, peradaban manusia, dan ilmu pengetahuan modern memungkin semuanya itu terjadi. Artinya, sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, produk DeKaVe juga berhadapan pada konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi massa.

Ketika produk DeKaVe merupakan bagian dari produk kebudayaan massa, maka tugas kita sekarang adalah bagaimana caranya agar produk DeKaVe bisa berfungsi sebagai penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern.

Ciri sebuah produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern: pertama, produk DeKaVe mampu tampil secara atraktif, komunikatif, dan persuasif. Kedua, produk DeKaVe harus dapat mencerdaskan masyarakat terkait dengan pesan verbal dan pesan visual yang ingin disampaikan. Ketiga, keberadaannya bisa diterima secara iklas oleh masyarakat luas. Keempat, mengikuti perkembangan hukum adat yang berlaku, menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal.

Keempat ciri produk DeKaVe yang saya rumuskan di atas sebenarnya bagi kawan-kawan yang bergerak di industri per-DeKaVe-an bukanlah sesuatu yang baru dan sulit untuk diejawantahkan dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat yang plural dan heterogen.

Tetapi dalam konteks ini, saya ingin menegaskan, dalam rangka mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban manusia modern, seperti yang diamanatkan Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, perlu kiranya kita memberi perhatian khusus pada butir keempat: ‘’menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal’’.

Mengapa demikian? Sebab dengan menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, untuk kemudian diangkat menjadi sumber inspirasi, sebagai sumber ide dan gagasan, serta sebagai perangkat lunak untuk mengkomunikasikan beragam pesan verbal dan pesan visual yang bersifat komerisal, sosial, atau pun moral kepada sasaran khalayak yang dibidik, maka berbagai produk DeKaVe yang dihasilkan oleh tangan-tangan kreatif yang senantiasa mengedepankan kearifan budaya lokal Yogyakarta akan menjadi penanda jiwa zaman yang cukup kuat atas keberadaan sebuah produk DeKaVe yang mampu memberikan aksentuasi perikehidupan masyarakat. Ujung-ujungnya diharapkan mampu mencerahkan pemikiran dan perasaan umat manusia yang hidup dan mengisi kehidupannya sesuai dengan talenta masing-masing.

Terkait dengan upaya mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia, alangkah baiknya jika berbagai media massa cetak dan elektronik yang tersebar di seluruh pelosok DIY dan Indonesia pada umumnya, mau berbaik hati dan sedikit mengedepankan jiwa sosial demi apresiasi dan pengembangan wacana DeKaVe yang mampu mencerahkan peradaban modern di tengah karut marut persepsi masyarakat yang demikian heterogen.

Dukungan dari para pengelola media massa dan elektronik dalam konteks ini, bersedia dengan sukarela menayangkan secara periodik liputan pameran produk DeKaVe, talkshow Grafis Komunikasi, Desain Komunikasi Visual, wawancara tokoh praktisi DeKaVe, interview dengan tokoh akademisi DeKaVe dan lembaga pendidikan DeKaVe, bedah konsep produk DeKaVe dari kreator DeKaVe. Ataupun memuat dan menayangkan tulisan opini yang terkait dengan produk DeKaVe dari sejumlah penulis (pengamat, praktisi, akademisi dan mahasiswa) yang memiliki minat mengembangkan disiplin ilmu tersebut.

Sebab perkembangan praksis, wacana, dan ilmu Desain Komunikasi Visual tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari parapihak sulit dilaksanakan. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka keberadaan DeKaVe sebagai salah satu kajian studi kebudayaan juga akan jalan di tempat, alias mandeg! Jika fenomena semacam itu tidak pernah saling bertegur sapa, selanjutnya dapat ditebak akibatnya: sulit mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia.

Terima Kasih. Mugi rahayua ingkang sami pinanggih. Sampai berjumpa pada perhelatan kreatif Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, 29 Oktober 2008 – 1 November 2008.


*) Sumbo Tinarbuko (
http://sumbo.wordpress.com/), Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta








Saling Menghormati



Sumbo Tinarbuko


Sebuah perbuatan yang mencerminkan rasa menghargai terhadap seseorang atau sekelompok orang bisa dikategorikan sebagai dalil menghormati. Pelajaran untuk saling menghormati secara horizontal selalu didengungkan para pemuka agama, pemangku adat, orang tua, lembaga pendidikan, dan siapapun yang memiliki nurani menghargai keberadaan harkat dan martabat seorang manusia.

Sayang, naluri saling menghormati secara tulus, ditengarai mulai dilupakan hamba Tuhan. Hal ini tampak di pelupuk mata ketika anak manusia dikondisikan lebih menghargai realitas semu yang didedahkan tayangan televisi. Mereka disihir mengadopsi gaya hidup, gesture tubuh, cara berpikir, gaya berbicara, dan pernak pernik moralitas sosial budaya ala industri televisi. Mereka didaulat menghargai kehidupan instan dengan memutus rantai proses kehidupan. Padahal dengan mengikuti proses kehidupan, pada titik itulah dimulai sebuah proses pendewasaan diri manusia.

Masalahnya, apa kata dunia saat anak manusia lebih memercayai kehidupan realitas semu yang seragam. Sebuah realitas maya yang fiktif belaka. Sebentuk tatanan perikehidupan semu yang tidak menanamkan budi pekerti dalam payung kearifan lokal. Sebuah habitus semu yang tidak menempatkan sikap hormat menghormati sebagai pilar utama hidup bermasyarakat. Ketika hal itu tidak segera diantisipasi efek dominonya, dikhawatirkan akan tumbuh subur budaya kekerasan, hedonisme, konsumtivisme, mistik, balas dendam, saling permusuhan, dan tidak takut perintah Tuhan. Kelak fenomena seperti itu akan membentuk jatidiri anak manusia generasi penerus bangsa.

Pendeknya, sikap hidup saling menghargai seperti dipolakan dalam kehidupan realitas semu di industri televisi, sejatinya senantiasa bermuara pada kehendak daulat uang. Hasrat manusia untuk mendapatkan sanjungan, puja puji , dan dihormati secara artifisial kemudian diyakini menjadi sebuah way of life.

Agar kontekstual untuk dihormati, cara yang gampang lewat perburuan harta benda. Kekayaan duniawi diberhalakan demi sebuah kehormatan yang merepresentasikan dirinya manusia modern. Pada bagian ini, kehormatan seseorang senantiasa ditakar dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Artinya, uang menjadi penanda kasta sosial seseorang di tengah gejolak jaman yang semakin anomali ini.

Akibatnya, manusia menjadi semakin egois di dalam mempertahankan hidupnya. Segala jalan ditempuh demi mendapatkan segenggam kehormatan. Salah satu upaya yang sedang diminati para pemburu gelar kehormatan, dengan memajukan dirinya dalam perhelatan akbar Pemilu 2009.

Sebagai langkah awal mereka mengadu nasib dengan menjadi calon anggota legislatif. Kalkulasi logikanya, jika mereka terpilih menjadi anggota dewan, secara otomatis mendapatkan tiket menjadi pejabat publik, kepala daerah, menteri, bahkan presiden. Mereka dipastikan menjadi orang terhormat karena sebuah jabatan yang diamanatkan kepada dirinya. Pertanyaannya, setelah menjadi orang terhormat, akankah mereka menghormati dan menghargai warga masyarakat yang dipimpinnya?

Pertanyaan semacam itu selalu tergiang di telinga warga masyarakat yang dituntut untuk menghargai dan menghormati pejabat pemerintah. Secara protokoler, rakyat diminta dengan hormat untuk menghormati segala kebijakan publik yang diputuskan sepihak oleh pemerintah. Sebaliknya, atas semuanya itu, rakyat hanya diposisikan objek penderita. Rakyat tidak dihormati hak-haknya. Bahkan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti kenaikan BBM dan gas elpiji, dengan entengnya rakyat ditinggalkan oleh para pemimpinnya.

Kebijaksanaan publik yang tidak bijaksana saat bulan Ramadhan menjelang misalnya, dinilai tidak menghormati hak konsumsi masyarakat. Dampaknya segera memantik membumbungnya harga kebutuhan pokok. Atas semuanya ini, menyebabkan rakyat gelisah. Rakyat semakin terpojok untuk meraih kehidupan sejahtera dalam konteks paling minimal sekali pun.

Berdasarkan fakta kelam yang mencuat dalam ranah akar rumput, sudah saatnya para pemimpin bangsa, pejabat publik, anggota dewan, dan kaum cerdik pandai melakukan gerakan konkret yang terencana dan terpuji. Sudah waktunya rakyat diberdayakan lahirnya dan dirangkul batinnya secara tulus. Sudah masanya rakyat harus dihormati dan dihargai harkat martabat kemanusiaannya lewat kebijakan publik yang berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

Dengan saling menghormati secara horizontal antar sesama manusia , dan antara pemerintah dengan rakyatnya, maka keberagaman itu menjadi mozaik yang sangat dinamis, indah dan syahdu di kalbu. Dengan saling menghormati secara horizontal antara pemerintah dengan rakyatnya, maka hak dan kewajiban masing-masing akan membuahkan hasil propsional yang menyejahterakan kedua belah pihak. Selanjutnya impian rakyat jelata untuk hidup damai, sejahtera, aman dan nyaman bukan sekadar sebuah fatamorgana.

Lewat ajakan saling menghormati dan menerima apa adanya kebhinekaan ambisi dan gejolak hasrat manusia, akan menunjukkan kualitas kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Artinya, ketika kualitas kemanusiaan manusia dari waktu ke waktu semakin terasah kepekaannya, hal itu diyakini mampu mendengarkan pesan suci yang menyembul lembut dari hati nurani. Sebuah pesan suci yang menuntun nalar rasa dan nalar pikir kita untuk senantiasa mewartakan kasih dan mengamalkan rasa sayang kepada seluruh manusia. Namun, semuanya itu baru mendapatkan permaklumannya, ketika kita rela hati memilih hidup bersahaja, baik dalam dimensi horizontal maupun vertikal.

*) Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta.







Tabiat Boros dan Hidup Bersahaja

Sumbo Tinarbuko



Di dalam dompet manusia modern selalu dijumpai kartu kredit alias uang plastik. Produsen kartu kredit mendedahkan dogma bahwa dengan menggunakan kartu kredit, semuanya beres. Praktis dan aman penggunaannya. Dalam konteks ini, pengguna kartu kredit mengemas dirinya dalam lingkaran kehidupan yang dikendalikan oleh aktivitas hutang. Semakin banyak kartu kredit yang dimilikinya, semakin bebas membelanjakan uangnya. Semakin banyak hutang yang dimiliki, maka mereka dinobatkan sebagai warga masyarakat modern. Mereka juga mendapatkan sertifikat sebagai anggota masyarakat yang paling terhormat di jagat raya ini.


Atas nama kemasan gaya hidup modern, jaringan kapitalisme global selalu merayu pembeli dan calon pembeli agar senantiasa setia dibabtis menjadi konsumen loyal. Lewat rayuannya yang dahsyat, para pemilik kartu kredit dikondisikan sedemikian rupa untuk selalu berbelanja, agar para konsumen loyal ini mendapatkan diskon dan reward point atas objek barang dan jasa yang dibelinya. Di dalam benak konsumen loyal ditiupkan untaian kata mutiara: ‘’Demi sebuah rasa aman, berbelanjalah dengan menggunakan kartu kredit. Demi sebuah kenyamanan hidup di abad modern, berbelanjalah dengan cara berhutang. Sebab hidup dalam naungan hutang adalah representasi manusia modern’’

Berdasarkan inspirasi kata mutiara tersebut di atas, manusia modern akhirnya memegang prinsip hidup sebagai berikut: ‘’Hidupku untuk hutang dan hutangku untuk hidup’’. Dengan demikian, manusia modern harus bekerja keras mengumpulkan uang sebanyak-banyak, agar dapat melunasi hutang-hutangnya, untuk kemudian hutang kembali agar bisa membeli berbagai produk barang dan jasa yang dikemas secara modern. Prinsip gali lubang tutup lubang menjadi panglima sikap manusia modern. Demikian seterusnya sehingga lingkaran setan konsumtivisme saling sambung menyambung tanpa terlihat pangkal ujungnya.

Di dalam potret rumah tangga modern, tabiat boros menampakkan wajah buruknya sebagai sebuah sublimasi bagi orangtua yang tidak mampu mendampingi anak-anaknya secara maksimal. Pasangan orangtua yang bekerja di luar rumah lebih dari 6 jam sehari cenderung mewujudkan naluri kasih sayang pada buah hatinya dengan sikap permisif memenuhi seluruh permintaan anak-anaknya. Memberikan uang jajan dalam jumlah berlebih. Membelikan barang-barang konsumtif yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh sang anak.

Akibatnya, anak-anak dengan mudah membelanjakan uang hasil ‘’sogokkan’’ orang tuanya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Mereka sangat paham dan hafal akan berbagai merek yang dikategorikan berkelas dunia lengkap dengan fitur-fitur keunggulannya. Mereka sangat memuja harta duniawi. Mereka pemuja konsumerisme dan hedonisme.

Lewat kartu kredit yang difasilitasi orangtuanya, akhirnya mereka menjadi sangat boros dalam membelanjakan uangnya untuk urusan konsumtif. Mereka penjadi konsumen potensial untuk produk industri hiburan, fashion, elektronika, otomotif, kuliner junkfood, rokok. Bahkan narkotika dan psikotropika.

Sifat boros yang dikondisikan pejabat publik, wakil rakyat, dan orangtua yang super sibuk dalam perkembangannya memendam bom waktu. Setiap saat mudah meledak. Ledakan itu sudah menggantung di pelupuk mata. Hal itu terlihat ketika generasi muda cenderung menunjukkan tabiat malas mengolah segala potensi rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mampu mewarnai dunia. Dampaknya, Indonesia menjadi bangsa yang lembek daya juangnya. Bangsa yang mudah dikibuli negara asing. Kita menjadi bangsa yang mudah bingung dan tersinggung karena tidak punya potensi dan jatidiri.

Generasi muda yang terjebak tabiat boros ini cenderung tidak pernah mau berpikir pentingnya sebuah proses alamiah dalam kehidupan demi menjaga upaya pendewasaan diri. Mereka menjadi sekelompok generasi instan yang tahunya serba beres, enak, bebas tanpa kendali, menyenangkan, dan tampak modern. Mereka menjadi generasi cuek, santai, abai akan masa depan, dan lingkungan hidupnya.

Pada titik ini, generasi boros sejatinya, setengah hati, jiwa dan pikirannya sudah dipasrahkan secara damai kepada produsen kapitalisme global. Mengapa demikian? Para penjajah ekonomi yang mengenakan jubah modernisme menyihir generasi boros dengan pola penyeragaman selera, citarasa, cita-cita, dan gaya hidup. Dikendalikan remote control kapitalisme global. Dihipnotis menjadi keledai dungu. Dikendalikan negara asing yang menjajah secara ekonomi, kebudayaan, dan ideologi.

Ironisnya, atas kenyataan miris semacam itu, mereka justru merasa tidak terjajah. Mereka sangat puas dengan instalasi merek impor yang melekat erat dalam badan sanubarinya. Mereka sangat bangga ketika dilantik menjadi konsumen loyal. Mereka tersanjung saat mendapat julukan konsumen setia.

Tabiat boros harus segera dihentikan, minimalnya dikurangi. Ketika dalam hidup dan kehidupan kita lebih mengedepankan tabiat boros dan mengumbar energi negatif untuk kesenangan sesaat, maka wacana ketidakseimbangan itu sejujurnya sedang membakar tubuh mungil kita. Artinya, tubuh kita seolah-olah merasa lapar, haus dan dahaga yang setiap saat harus dipenuhi dengan mengonsumsi berbagai produk yang hampir semua pengadaannya dengan jalan mengeksploitasi alam raya secara semena-mena dan subversif.

Kita harus ingat, hidup ini hanya mampir ngombe alias sesaat. Untuk itu agar terjalin keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, seyogianya mulai mengedepankan pola hidup bersahaja, hemat, prasaja, eling, lan waspada. Sebab dengan menjalani hidup secara bersahaja, sejatinya akan menghindarkan orang-orang yang kita sayangi melakukan tindak pidana korupsi.

Selain mengedepankan pola hidup bersahaja, seyogianya perlu juga selalu memupuk rasa solidaritas kepada sesama umat manusia dalam untaian kasih sayang tanpa pamrih. Dan lebih penting lagi, senantiasa berserah diri kepada sejatinya hidup yakni Allah yang Maha Esa.

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan ISI Yogyakarta.


Kawula Muda dan Batik Tradisional

Sumbo Tinarbuko



Sebagai anggitan bangsa Indonesia yang dikenal sejak dulu, batik merupakan produk perkawinan antara seni dan teknologi dari nenek moyang kita yang sangat tinggi nilainya.

Saat itu, pakaian batik dapat dijadikan penentu kedudukan seseorang dalam konteks sosial kemasyarakatan. Hal itu terjadi, karena dengan melihat corak batik yang dikenakan, orang dapat mengetahui kedudukan si pemakainya.

Bentuk dan motif batik yang dibuat oleh para leluhur merupakan penanda yang menyimbolkan perikehidupan manusia. Fakta sejarah mencatat, batik terjalin erat dengan aktivitas budaya bangsa Indonesia. Patung Ganesha dari Blitar (1239 M) misalnya, sudah mengenakan kain kawung. Patung Prajnaparamita dari Singasari yang terkenal keindahannya itu pun divisualkan menggunakan kain jlamprang.

Beberapa abad kemudian dalam kehidupan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta atau Kasepuhan Cirebon, kain batik senantiasa dikenakan dalam berbagai kesempatan. Menurut Mujiyono (l992), pihak keraton mengeluarkan peraturan perihal pemakaian delapan motif batik yang menjadi larangan. Di antaranya kawung, parang, parang rusak, cemukiran, sawat, udan liris, semen, dan alas-alasan. Motif kain batik tersebut tidak boleh sembarangan dipakai.

Di luar tembok keraton, masyarakat pun menjunjung tinggi tata cara pemakaian kain batik dengan motif-motif tertentu. Untuk pengantin misalnya, sebaiknya menggunakan motif sidomukti (mengandung makna bahwa pemakainya akan berkesudahan dengan hidup bahagia dan serba kecukupan) atau sidoluhur (berarti akan mendapatkan kewibawaan tinggi). Bagi orang tua yang pertama kalinya menyelenggarakan pernikahan putrinya disarankan untuk mengenakan kain truntum.

Tahun 1950-1960 menurut sejarah perbatikan, terdapat puluhan perusahaan batik. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan. Untuk mengantisipasinya diciptakanlah teknik batik printing. Setelah teknik ini ditemukan justru menjadi kanibal bagi perkembangan batik tulis maupun batik cap. Sehingga banyak perusahaan batik tradisional mengalami kebangkrutan.

Fenomena itu diperparah lagi dengan kebanggaan terhadap batik tampaknya mulai luntur. Dalam keseharian misalnya, seseorang cenderung menggunakan bahan-bahan nonbatik sebagai pilihan busananya. Kalaupun menggunakan busana batik lebih memilih daster, rok, dan kemeja yang dibuat dari batik printing. Dampaknya, motif batik tradisional beralih fungsi menjadi bedcover, gorden, interior ruangan, topeng, dan barang-barang cenderamata lainnya.

Kecenderungan tersebut menyebabkan berkurangnya minat kawula muda untuk mengonsumsi produksi batik tradisional. Kilahnya, barang-barang tersebut sudah ketinggalan zaman, tidak trendy, dan gaul. Akibatnya, batik hanya digunakan dalam kesempatan khusus, seperti ke resepsi pernikahan atau jamuan resmi lainnya.
Untuk merangsang kebanggaan terhadap batik, sebagai identitas budaya bangsa perlu diupayakan secara terpadu. Tetapi hal ini tidak berarti cukup diselesaikan dengan memanfaatkan produk tekstil bermotif batik atau lebih populer dengan sebutan batik printing. Pilihan orang terhadap batik printing, tanpa disadari akan mematikan keberadaan batik tradisional. Padahal justru jenis batik tradisional inilah yang patut dilestarikan dan mendapatkan tempat terhormat dalam kehidupan social kemasyarakatan. Pelestarian batik tradisional diupayakan untuk mewariskan nilai-nilai simbolis kepada kawula muda. Khususnya kawula muda pembatik.

Ketidaktahuan kawula muda terhadap makna simbolik motif batik menyebabkan mereka tidak menyukai dan menghargai batik tradisional. Artinya, mereka tidak peduli perkembangan batik tradisional. Pada gilirannya menimbulkan sikap masa bodoh terhadap warisan budaya yang adiluhung tersebut.

Dengan mengetahui makna simbolis dari sebuah batik tradisional dan mengetahui peristiwa yang melatari terciptanya suatu motif batik, diharapkan apresiasi kawula muda terhadap batik tradisional akan lebih tinggi.

Langkah awal dalam upaya sosialisasi masalah batik tradisional tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pelajaran tentang motif batik sebagai muatan lokal di berbagai jenjang pendidikan formal. Adalah sangat ironis manakala kawula muda Indonesia ingin mempelajari motif batik tradisional harus belajar kepada pakar batik berkebangsaan Amerika, Jepang, Belanda, Inggris, Malaysia, atau bangsa asing lainnya.

Agar dapat mewariskan hal tersebut secara utuh diharapkan campur tangan para pakar, peneliti dan kolektor batik dalam mengumpulkan dan menyosialisasikan motif-motif batik tradisional kepada para kawula muda. Demikian pula para perupa, fotografer, cerpenis, novelis, jurnalis, media massa cetak dan elektronik diharapkan kepekaan kreatifnya untuk senantiasa menjadikan batik sebagai elemen penting dalam proses kreatifnya.


*) Sumbo Tinarbuko (
http://sumbo.wordpress.com/), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.



Jumat, 22 Agustus 2008

Konsumtivisme dan Kriminalitas

Sumbo Tinarbuko



Rekam jejak kehidupan Ryan, sang jagal pembunuh puluhan manusia tanpa dosa, terkuak sudah. Dalam gelar perkara yang dilakukan Polda Jawa Timur, memaparkan sejumlah harta benda Ryan yang diperoleh dengan menghilangkan nyawa pemiliknya. Puluhan perhiasan emas, dua sepeda motor, kulkas dan dispenser, serta uang jutaan rupiah yang tersimpan rapi dalam beberapa rekening bank, menjadi bukti kejahatannya.

Perilaku jahat yang dilakukan Ryan lebih didominasi oleh hasrat hidup enak tanpa harus bersusah payah bekerja, untuk mendapatkan sejumlah penghasilan. Ryan menjadi sangat konsumtif. Ryan terkooptasi menjadi konsumen loyal dengan selalu mengkonsumsi segala bentuk barang dan jasa yang merepresentasikan kehidupan modern. Ryan terjebak belitan gurita kapitalisme global. Ryan terpenjara gaya hidup modern: terlihat laiknya pria metroseksual, kaya, perlente, modis, dan wangi. Karena itu, untuk meluncaskan nafsu konsumtifnya, ia menjadi gelap mata. Akhirnya ia harus berkubang dalam kehidupan kriminal, yang menjauhkan dirinya dengan hati nuraninya yang paling dalam. Nuraninya yang selalu mengatakan tentang kebenaran.

Sejurus dengan story Ryan yang berhasil menjadi bintang media massa cetak dan elektronik di medio 2008 ini, hati kecil kita semakin was-was manakala membaca dan menyaksikan tonjolan berita kriminal dengan pelaku kawula muda. Berdasarkan pengakuan para tersangka, hasil laku jahatnya itu digunakan untuk membeli dan mengkonsumsi barang-barang produksi kerajaan kapitalisme. Hal itu mereka lakukan demi mendapatkan predikat sebagai anak muda yang trendi, modern, dan tidak ketinggalan jaman.

Harian Kedaulatan Rakyat pernah memberitakan kasus kriminalitas pelajar yang notabene masuk golongan kawula muda terpelajar. Sebagian besar siswa salah asuhan itu terlibat kasus pencurian dan penyalahgunaan narkoba. Mereka mencuri di sebuah toko handphone. Dari sana bisa ditebak ceritanya, pelajar mrosal tersebut mengambil tanpa ijin piranti komunikasi nirkabel (berikut asesorisnya) yang menjadi penanda simbol modernitas anak muda gaul, trendi dan tidak gagap teknologi.

Sebelumnya, pelajar sebuah SMP swasta ditangkap aparat kepolisian karena kedapatan sedang memalak kawan-kawan sekolahnya. Preman cilik ini setiap minggunya menarget beberapa kawannya untuk menyetorkan sejumlah uang. Hasilnya digunakan untuk beli rokok dan foya-foya.

Notulen senada berjuluk ‘’Takut Teman Nongkrong Hilang, Terpaksa Curi Motor’’. Berdasar pengakuan tersangka yang berstatus pelajar klas IA Listrik sebuah SMK di kota Solo, ia melakukan tindakan tidak terpuji mencuri sebuah sepeda motor rekan sekelasnya hanya karena takut kehilangan teman nongkrong di kawasan Stadion Manahan yang dilakoninya setiap malam Minggu.

Kasus serupa dilakukan seorang pelajar klas III sebuah SMA swasta tertangkap tangan ketika melakukan pengutilan t shirt seharga 128 ribu rupiah di sebuah pusat perbelanjaan. Dalam pengakuannya, ia mencuri karena ingin tampil trendi. Ia rela merendahkan harga dirinya demi memanjakan libido konsumtif agar tampil modis, trendi dan gaul seperti remaja seusianya.

Berbagai peristiwa kriminalitas yang dilakoni para remaja bujang seperti dilansir sejumlah surat kabar dan televisi, menjadi penanda semakin lemahnya peran dan fungsi orangtua dalam mendidik dan membimbing anak-anak buah kasih sayang mereka.

Orangtua cenderung permisif dalam pola didik dan pola asuh terhadap anaknya. Itu terjadi, karena mereka disibukkan untuk mencari nafkah duniawi demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pada titik ini, para orangtua cenderung berpandangan sempit. Dalam benaknya, selama kebutuhan finansial yang diperlukan anak-anaknya terpenuhi, maka tugas sebagai orangtua selesai. Selanjutnya urusan pendidikan dipasrahkan semuanya kepada lembaga pendidikan.

Tindakan orangtua yang sepenuhnya melimpahkan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah, sejatinya sedang menanam bom waktu. Kenapa? Karena sekolah jaman sekarang lebih mengedepankan pengajaran. Sekolah tidak akan bisa menggantikan peran pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh orangtua seutuhnya.

Sebaik apa pun sekolah tersebut, yang paling utama tetaplah pendidikan yang berasal dari keluarga. Karena sudah menjadi rahasia umum, sifat serta perilaku anak pada akhirnya merupakan citra cermin dari orang tuanya.

Pertanyaannya kemudian, kenapa konsumtivisme dan kriminalitas semakin meroket grafik statistiknya? Penyebabnya, ditengarai, lingkungan kekerabatan yang senantiasa mengukur kualitas dan status seseorang semata-mata dengan takaran uang. Kuatnya penetrasi tayangan kenikmatan modernitas di sejumlah stasiun televisi dan internet.

Faktor lainnya, akibat mudahnya akses tontonan budaya popular dalam kemasan budaya instan. Tontonan yang kurang memperhatikan aspek tuntunan ini dikendalikan oleh gurita kapitalisme. Dalam konteks ini, gurita kapitalisme dengan senyum manisnya mendedahkan dogma: ‘’Agar Anda memperoleh predikat manusia modern, maka batas-batas tabu, norma dan susila harus diterabas dengan sukacita. Karena semuanya itu bersifat kuno alias ketinggalan jaman’’.

Penyebaran dogma tersebut dilakukan secara instan dengan membeli airtime tayangan televisi dan kolom-kolom media massa cetak. Penyebaran lainnya diternakkan dan dikembangbiakkan lewat seperangkat peralatan elektronik (handphone, internet, komputer) menjadikan libido dan hasrat naluri kebinatangan para remaja yang rapuh kepribadiannya, meningkat tajam.

Akibat penyebaran dogma yang menyesatkan, dan seiring dengan mengendurnya nilai moralitas serta merosotnya nilai spiritualitas sebagian besar orang muda, membuka jalan bagi berkembangnya berbagai bentuk kebudayaan yang ingin keluar dan melepaskan diri dari konvensi normal. Hal itu terjadi karena mereka telah kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Mereka lebih percaya pada apa yang disebut dalam ilmu psikoanalisis sebagai citra cermin, ketimbang percaya pada citra wajah dan kepribadiannya sendiri. Mereka kehilangan orientasi rasa percaya diri. Mereka berasumsi, yang ada di luar dirinya dan banyak digunakan oleh masyarakat umum, mutunya terjamin, hukumnya halal, nilainya baik, kekuatannya dahsyat, menjadi trendi, lebih gaul, dan modern. Akibatnya mereka terseret budaya konsumtif. Parahnya, mereka menjadi gelap mata dengan menghalalkan segala cara seperti ulah jahat para remaja bujang salah asuhan tersebut. Lalu, apa kata dunia kalau anak muda selalu terperosok dalam kehidupan yang hina dan nista?

*)Sumbo Tinarbuko (
http://sumbotinarbuko.tk/) adalah Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta

Selasa, 29 Juli 2008

Kemasan Iklan Politik


Sumbo Tinarbuko


Kemasan, packaging, wadah, alias, bungkus sejatinya difungsikan untuk melindungi barang. Kemasan sengaja dirancang mengutamakan aspek kepraktisan ergonomis agar mudah ditenteng sesuka hati. Nyaman dan aman bagi si pembawa barang. Terlindungi dari perubahan cuaca atau proses-proses lainnya yang mengakibatkan barang tersebut rusak.


Sisi lain dari pengertian kemasan ternyata dapat pula dikontekstualisasikan dalam gegap gempitanya parade ketigapuluh empat partai politik peserta Pemilu 2009.


Dengan memanfaatkan ideologi kemasan, ketigapuluh empat parpol tersebut cancut taliwanda mempromosikan parpolnya agar mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat calon pemilih. Kemasan yang paling cespleng berbentuk periklanan politik.


Periklanan politik tabiatnya hampir sama dengan periklanan komersial. Sepak terjangnya bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (baca: parpol) yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (baca: Pemilu) tanpa mengandalkan iklan (politik).


Demikian pentingnya peran iklan politik dalam ‘’bisnis parpol’’ sehingga salah satu parameter bonafiditas parpol terletak pada seberapa banyak dana yang digelontorkan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan politik merupakan jendela kamar dari sebuah parpol. Ia sanggup menghubungkan parpol dengan masyarakat. Khususnya calon pemilih.


Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa iklan politik tersebut sebaiknya disampaikan.


Berdasarkan terminologi iklan politik, maka pucuk pimpinan parpol, elit politik, pejabat maupun mantan pejabat publik, LSM, agamawan, saudagar, eksekutif, intelektual, dan kaum cerdik pandai berlomba-lomba mengemas dirinya sebagai representasi parpol lewat iklan politik.


Dengan modal milyaran rupiah dari kocek pribadi atau sponsor, mereka minta bantuan biro iklan dan konsultan komunikasi untuk tampil ‘’mempesona’’ dalam kemasan iklan politik. Mereka pun menyewa kapling iklan media massa cetak dan elektronik guna menayangkan program pencitraan politik yang elegan. Mereka membungkus dirinya lewat bahasa yang santun, menawarkan gagasan mengatasi persoalan bangsa yang carut marut. Mereka secara egaliter mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu agar Indonesia menjadi lebih baik. Mereka mengajak masyarakat untuk tidak melupakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka mengajak masyarakat agar mencintai, membeli, dan mengonsumsi produk-produk anak negeri.


Sayangnya, iklan parpol yang gentayangan di media massa cetak dan elektronik lebih mengedepankan konsep hard sell. Mereka sangat menyukai konsep semacam ini. Karena dianggapnya mujarab mendongkrak popularitas seluruh elemen parpol. Kemudian muncullah kemasan iklan politik yang menawarkan janji surga. Iklan tersebut lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas. Alias sama sebangun. Setiap kali melihat kemasan iklan politik di berbagai media massa cetak dan elektronik, sang tokoh selalu dicitrakan berpendidikan tinggi, religius, santun, murah senyum, dan ramah. Sang tokoh laksana malaikat pembawa warta gembira penuh kedamaian dan kebijaksanaan. Sang tokoh bagaikan sinterklas yang membagi-bagikan hadiah. Sang tokoh seperti Superman yang senantiasa menolong si lemah dan si miskin. Sang tokoh menjelma pahlawan pembela kebenaran.


Dalam kemasan tayangan iklan politik, sang tokoh selalu terlihat merakyat. Blusukan ke pasar tradisional dan pemukiman kumuh di pinggiran kota. Menyapa wong cilik penuh kehangatan. Berbaur dengan masyarakat pedesaan dan warga miskin. Di sana digambarkan, sang tokoh bersama pengiringnya ikut merasakan denyut kehidupan yang sangat minimalis. Pada sekuen lain, sang tokoh berdiri di depan klas sebuah SD. Ia terlihat menjelaskan perihal arti pentingnya sebuah pendidikan. Katanya, ‘’hanya lewat pendidikan, bangsa ini akan maju dan berwibawa dipergaulan tingkat dunia’’. Tetapi, benarkah demikian adanya?


Pemunculan tokoh politik nasional lewat iklan parpol di media massa cetak dan elektronik, dinilai oleh parapihak banyak menyampaikan janji kosong. Sebuah janji surga yang sejujurnya sulit untuk diejawantahkan.


Dalam konteks ini, upaya tebar pesona parpol berikut elit politik lebih mengonsentrasikan kemasan luar dari pada isinya. Artinya, kemasan tebar pesona dalam bentuk iklan politik, justru semakin memperlebar tingkat kesenjangan antara kemasan dengan isinya. Antara tokoh politik, parpol, dengan masyarakat calon pemilih.


Atas dasar pengalaman komprehensif semacam itu, rakyat cenderung hati-hati. Rakyat semakin permana dalam menentukan siapa yang layak memimpin negeri dengan sebutan jamrud katulistiwa ini. Kehati-hatian semacam itu lebih didasari pada fakta sejarah. Selama ini, para pemimpin bangsa yang diberi kepercayaan rakyat untuk mengelola Republik tercinta ini, lebih dikenal lewat tampilan kemasannya saja. Karena senantiasa mendewakan kemasan visualnya saja, akibatnya, para pemimpin bangsa dan pejabat publik lebih banyak bekerja dengan mengatur siasat dan beradu strategi demi merebut kekuasaan. Dengan label penguasa, mereka dipastikan memiliki hak mengelola bangsa dan negara ini. Lewat predikat penguasa, mereka mempunyai hak dan merasa paling mampu serta paling benar untuk mengatur bangsa dan negara ini. Dengan sebutan penguasa, mereka dapat memproyeksikan dirinya beserta pengikutnya untuk senantiasa menikmati kesejahteraan lahir batin.


Dalam alam reformasi seperti sekarang ini, masyarakat secara terbuka tidak akan terpengaruh oleh janji tokoh politik yang manis di mulut, namun pahit dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mau bagian dari kehidupannya diganggu oleh janji gombal yang disuarakan partai politik yang senang berburu kekuasaan.


Untuk itulah, dengan mengedepankan moralitas. Menjunjung tinggi kejujuran. Dan berpolatindak pada kearifan lokal. Kita percaya, masih banyak partai politik, dan tokoh politik yang layak mendapatkan amanat rakyat menjadi pemimpin bangsa. Dengan menempuh jalan yang baik dan benar serta bermartabat, masih banyak negarawan pengayom masyarakat, yang rela mengabdikan diri, guna mewujudkan nurani keadilan dan rasa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.


Lewat kerjasama dan komunikasi dialogis secara egaliter antar parapihak, diyakini mampu memunculkan dan memelihara kehidupan ini dengan nyaman, aman, tenteram, adil, dan sejahtera. Dengan demikian keadaan Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bukan hanya sekadar impian di siang bolong. Tetapi kasunyatan yang hakiki!


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbotinarbuko.tk/), adalah Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.