Selasa, 13 Januari 2009

Korporasi Pendidikan

Sumbo Tinarbuko




Ontran-ontran Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) merebak di mana-mana. Beberapa kota besar di Indonesia yang memiliki lembaga pendidikan tinggi formal, mengggelar aksi demonstrasi menentang UU BHP. Para mahasiswa dan aktivis pendidikan berunjuk rasa guna
mengekspresikan kekecewaannya pada pemerintah dan DPR RI yang mengesahkan UU BHP tersebut.

Kenapa DPR RI dengan sangat arogannya mengetok palu dan mengesahkan UU BHP untuk segera diundangkan? Ada banyak hal yang tidak transparan dalam konteks ini. Dugaan yang terlihat di depan mata, DPR RI ingin segera menikmati uang lelah atas jerih payahnya merancang UU BHP bersama pemerintah. Ujungnya, DPR dinilai telah mengkhianati rakyat dengan meloloskan UU BHP, yang jelas-jelas mengarah pada komodifikasi dan komersialisasi pendidikan.

Selain itu, UU BHP dinilai waktunya tidak tepat dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Kenapa? Sebab dengan diundangkannya UU BHP, setidaknya ada tiga malapetaka yangakan muncul. Pertama, diduga akan terjadi pengotakan status sosial ekonomi antara mahasiswa yang masuk lewat jalur ekstensi dan nonreguler, dengan jalur regular. Selain itu ada ketakutan terhadap sikap dosen yang pilih kasih ketika mengajar akibat dari sistem penggajian yang berbeda.

Kedua, point ini lebih menakutkan, karena institusi pendidikan akan berlomba-lomba mencari uang guna membiayai kegiatan akademik. Sumber keuangan yang gampang didapatkan tentu berasal dari mahasiswa atau calon mahasiswa. Hal itu dilakukan oleh penyelenggara pendidikan, karena lembaga tersebut diminta untuk mandiri. Dengan demikian, RUU BHP dikondisikan menjadi payung hukum bagi praktik liberalisasi pendidikan. Kondisi semacam ini jelas bertentangan dengan UUD 1945. Karena di dalam UU BHP disebutkan masyarakat ikut menanggung biaya pendidikan. Padahal, pendidikan seharusnya ditanggung pemerintah. Artinya, dengan lahirnya UU BHP yang disahkan DPR RI 17 Desember 2008 lalu, merupakan bentuk pengingkaran pemerintah terhadap kewajiban untuk mencerdaskan rakyat.

Ketiga, masyarakat kehilangan harapan akan pendidikan murah dan mudah diakses setelah disahkannya perundang-undangan tersebut.

Mereka yang kontra atas keberadaan UU BHP menilai undang-undang tersebut lebih menitik beratkan pada komersialisasi pendidikan. Mereka berasumsi, UU BHP melegalkan komodifikasi pendidikan. Di dalam UU BHP, semuanya selalu ditakar dengan uang, demi menghasilkan laba keuntungan. Dengan demikian, aspek idealisme dari jagat pendidikan diubah orientasi menjadi institusi pendidikan laiknya sebuah perusahaan korporasi. Sebuah kongsi dagang yang menjual jasa pendidikan demi mencapai keuntungan finansial, seperti yang didoktrinkan jaringan kapitalisme global.

Sementara itu, pihak yang setengah pro dan separo kontra meragukan kemampuan pemerintah menutup biaya investasi dan beasiswa di berbagai perguruan tinggi.

Pengamat pendidikan Darmaningtyas kepada pers mengatakan, pemerintah memilih jalan privatisasi pendidikan. Hal itu terlihat dari tata kelola, pengurusan kekayaan, dan pendanaan di bidang pendidikan yang tertuang dalam UU BHP. Semuanya itu menjadi titik pangkal pembentukan korporasi pendidikan.

Bagi lembaga pendidikan tinggi formal yang pro dengan UU BHP seakan mendapatkan permaklumannya dengan menerapkan biaya pendidikan tinggi yang mahal. Mereka mengatakan , ’’Ana rega, ana rupa (ada harga, ada barang)’’. Sayangnya, meski kemudian tercipta adagium pendidikan mahal, tetapi mutu pendidikan di Indonesia justru dinilai oleh parapihak tidak mendapatkan ranking.

Pada titik lain, dosen dalam konteks UU BHP tidak berfungsi lagi sebagai pembimbing, pembombong, dan pamomong, tapi diturunkan derajatnya menjadi tenaga kependidikan. Artinya, penamaan semacam itu, sama sebangun dengan buruh pabrik. Posisi tawarnya sangat rentan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tenaga kependidikan akan diputus kontraknya jika terjadi musibah kasus like and dislike, akibat beda pandangan dengan pejabat struktural akademik: mulai dari Ketua Prodi, Jurusan, Dekan berikut Pembantu Dekan I, II, III, atau Rektor.

Perlakuan yang sama juga diterapkan bagi mahasiswa. Calon intelektual muda itu pun diposisikan sebagai peserta didik yang menjadi objek korporasi pendidikan. Mereka yang tercatat sebagai peserta didik, harus rela merogoh koceknya sampai dasar saku celana, agar mampu membeli produk jasa pendidikan dari sebuah korporasi pendidikan yang dimasukinya.

Hasilnya? Peserta didik jadi robot korporasi pendidikan. Hal itu terjadi, akibat pendidikan di era UU BHP diposisikan sebagai komoditas. Bukan lagi transfer ilmu dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini muncul bayangan, nantinya, institusi pendidikan hanya berfungsi semacam ban berjalan dari sebuah pabrik pendidikan yang memproduksi tukang-tukang yang ahli di bidangnya. Tetapi bukan cendekiawan dalam arti sesungguhnya.

Apalagi ada kecenderungan dari peserta didik yang menyikapi pendidikan formal hanya sekadar ekskalator sosial. Sebuah medium yang mampu menjembatani dirinya, agar dapat meraih status sosial dengan terhormat dan gemilang. Mereka lebih menyukai kemasan-kemasan pikiran yang seragam sehingga nalar kreatif pun tenggelam oleh terpaan badai gaya hidup konsumtivisme, hedonisme, dan materialistis.

Hal itu terjadi, karena pendidikan tidak lagi terkait dengan berbagai upaya pengembangan intelektualitas, kebijaksanaan, dan moralitas. Padahal sejatinya, pendidikan adalah investasi sekaligus manifestasi dari upaya peningkatan kepribadian, akhlak, budi pekerti, dan budaya dalam arti luas.

Ketika lembaga pendidikan disulap menjadi korporasi pendidikan. Ketika korporasi pendidikan ditargetkan mengejar keuntungan finansial. Maka seketika itu juga, kegiatan belajar mengajar tidak dipandang lagi sebagai sebuah proses. Dengan demikian, aktivitas belajar mengajar pun tidak dilihat lagi sebagai sebuah runtutan upaya mengembangkan diri, melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Selanjutnya, sikap hidup untuk belajar dalam arti yang sebenarnya akan semakin luntur di dalam sanubari masyarakat. Sedih rasanya!


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta