Sabtu, 01 Agustus 2009

Sindrom Bingung

Sumbo Tinarbuko



Sedih rasanya setiap kali mendengar lagu Rayuan Pulau Kelapa di penghujung akhir acara TV. Lagu tersebut semakin menyayat hati manakala melihat Indonesia sebagai sebuah negara merdeka berdaulat terlihat bingung, limbung, dan canggung di tengah percaturan masyarakat dunia.

Kasus Ambalat, kekerasan kepada para TKW yang dilakukan majikannya di luar negeri. Pengeroyokan dan pembunuhan mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri, adalah sedikit contoh yang menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki taji kewibawaan di tengah percaturan pergaulan diplomasi tingkat dunia.

Di dalam negeri pun, sebagian besar rakyat Indonesia terancam hak hidup dan kehidupannya akibat pemerintah tidak sepenuhnya menciptakan perikehidupan yang nyaman, aman, dan tentram hidup di tanah Indonesia. Ditengarai rakyat semakin sulit menemukan realitas sanctuary: sebuah wilayah, tempat publik berlindung dalam suasana sejuk, nyaman, dan aman.

Atas semua realitas sosial yang memprihatinkan itu, rakyat Indonesia yang hidup di alam jamrud katulistiwa hanya mampu menggumamkan seloka berjuluk tanya kenapa. Kata ‘tanya kenapa’ mencuat sebab diposisikan sebagai representasi kebingungan komunal akibat ketidakstabilan dan ketidapastian makna sebuah kehidupan di jagat Indonesia.

Secara ekonomi, sosial, dan budaya rakyat selalu kebingungan merasakan kenaikan harga sembako. Ketika kenaikan harga sembago belum bisa dikendalikan pemerintah, rakyat dibuat bingung lagi dengan membumbungnya dana kesehatan dan biaya pendidikan yang senantiasa menjadi perkara klasik setiap tahun ajaran baru.

Saat harga kebutuhan pokok membumbung tinggi yang diikuti dengan dana kesehatan dan biaya pendidikan, rakyat pun semakin bingung untuk menafkahi dirinya sendiri, berikut anak istrinya yang menjadi tanggungan hidup sesuai janji perkawinannya dulu. Artinya pada sudut ini, rakyat semakin bingung untuk meraih sebuah kehidupan yang sejahtera dalam konteks paling minimal sekali pun.

Ketika ketidaksejahteraan alias kemiskinan, dan tingginya jumlah angka pengangguran yang selalu bergelayut di langit kehidupan rakyat Indonesia, maka arah angin ketidakpuasan pada pemerintah akan selalu berhembus keras.

Fenomena kebingungan yang dialami bangsa Indonesia semakin mencapai puncaknya ketika parapakar yang diharapkan mampu memberikan aksentuasi positif guna mengatasi permasalahan carut marut, ternyata realitas di lapangan menyebutkan, parapakar hanya pandai membuat sukar. Segala suatu seharusnya mudah dikerjakan, di tangan parapakar justru dibuat sedemikian rupa supaya terlihat sukar. Demikian pula ulah paracerdik pandai. Mereka lebih cerdik mencerdiki rakyat yang tidak cerdik dengan berbagai pendapat dan teori ilmiah yang tidak membumi, sulit diaplikasikan secara menyeluruh dan menjangkau benak masyarakat luas.

Parapolitisi, wakil rakyat, dan pejabat publik pun setali tiga uang. Mereka sangat cerdik mengembangkan pola-pola egoisme pribadi dan golongan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Warga terhormat yang dipercaya mengelola tatanegara senantiasa mengaplikasikan konsep kekuasaan adigang, adigung, adiguna dengan tatastruktur rapi. Pengejawantahannya, lebih mengedepankan sikap arogan karena mereka merasa paling baik dan selalu benar.

Ketika sikap hidup elit politik dan pejabat publik sebagai makhluk individual lebih ditonjolkan, maka tidak pernah ada jalan tengah untuk mengakhiri konflik egoisme prinsip yang tidak berprinsip. Ujung-ujungnya rakyat bingung karena merasa tidak terjamin kesejahteraan hidupnya, serta terwakili aspirasi dan harkat kepentingannya.

Akhir-akhir ini, kebingungan-kebingungan itu semakin merajalela ditengarai karena kita menjelma menjadi bangsa yang kurang memiliki rasa percaya diri terhadap potensi dan kekuatan dirinya sendiri. Bangsa ini semakin nyata menjadi bangsa yang bingung karena jiwa dan kepribadiannya sangat lemah akibat ketergantungan pada pihak asing yang senantiasa diposisikan sebagai dewa penyelamat yang konon mampu mengatasi segala permasalahan di bumi Indonesia ini.

Manakala bangsa Indonesia dilanda sindrom kebingungan, ironisnya kita justru lebih suka berpikir instan dan pragmatis. Rakyat lebih senang bersiasat jangka pendek dengan menisbikan jalinan sebuah proses. Padahal sebuah proses – apapun bentuk dan pengejawantahannya – sejatinya adalah pilihan wajib yang harus dilakukan oleh siapapun dalam mengisi hidup dan kehidupan ini. Pada titik seperti inilah, terlihat dengan gamblang, bangsa Indonesia yang sedang dirundung kebingungan ternyata gampang meninggalkan aspek moralitas, spiritualitas, adat istiadat, dan kearifan lokal yang sejujurnya menjadi penjaga gawang nurani untuk berbuat dan bertindak sesuai kepribadiannya sendiri secara mandiri dan merdeka.

Rakyat Indonesia cenderung terlihat malas mengolah segala potensi rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mampu mewarnai dunia. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang mudah bingung dan tersinggung karena tidak punya potensi dan jatidiri. Kita dihipnotis menjadi keledai dungu, dikendalikan negara asing yang menjajah secara ekonomi dan ideologi.

Kita menjadi bangsa yang lembek daya juangnya. Kita lebih suka menjadi bangsa konsumen dengan mengandalkan seluruh pemenuhan kebutuhan hidup melalui aktivitas impor. Kabar terakhir menyebutkan, kita mulai impor garam dan ikan laut dari luar negeri. Sementara Indonesia adalah negara maritim yang memiliki kekayaan laut yang sedemikian besar, tetapi kenapa untuk garam dan ikan laut kita mesti impor? Hayo tanya kenapa?

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Pegiat Studi Kebudayaan
dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 6 Juli 2009.