Jumat, 22 Agustus 2008

Konsumtivisme dan Kriminalitas

Sumbo Tinarbuko



Rekam jejak kehidupan Ryan, sang jagal pembunuh puluhan manusia tanpa dosa, terkuak sudah. Dalam gelar perkara yang dilakukan Polda Jawa Timur, memaparkan sejumlah harta benda Ryan yang diperoleh dengan menghilangkan nyawa pemiliknya. Puluhan perhiasan emas, dua sepeda motor, kulkas dan dispenser, serta uang jutaan rupiah yang tersimpan rapi dalam beberapa rekening bank, menjadi bukti kejahatannya.

Perilaku jahat yang dilakukan Ryan lebih didominasi oleh hasrat hidup enak tanpa harus bersusah payah bekerja, untuk mendapatkan sejumlah penghasilan. Ryan menjadi sangat konsumtif. Ryan terkooptasi menjadi konsumen loyal dengan selalu mengkonsumsi segala bentuk barang dan jasa yang merepresentasikan kehidupan modern. Ryan terjebak belitan gurita kapitalisme global. Ryan terpenjara gaya hidup modern: terlihat laiknya pria metroseksual, kaya, perlente, modis, dan wangi. Karena itu, untuk meluncaskan nafsu konsumtifnya, ia menjadi gelap mata. Akhirnya ia harus berkubang dalam kehidupan kriminal, yang menjauhkan dirinya dengan hati nuraninya yang paling dalam. Nuraninya yang selalu mengatakan tentang kebenaran.

Sejurus dengan story Ryan yang berhasil menjadi bintang media massa cetak dan elektronik di medio 2008 ini, hati kecil kita semakin was-was manakala membaca dan menyaksikan tonjolan berita kriminal dengan pelaku kawula muda. Berdasarkan pengakuan para tersangka, hasil laku jahatnya itu digunakan untuk membeli dan mengkonsumsi barang-barang produksi kerajaan kapitalisme. Hal itu mereka lakukan demi mendapatkan predikat sebagai anak muda yang trendi, modern, dan tidak ketinggalan jaman.

Harian Kedaulatan Rakyat pernah memberitakan kasus kriminalitas pelajar yang notabene masuk golongan kawula muda terpelajar. Sebagian besar siswa salah asuhan itu terlibat kasus pencurian dan penyalahgunaan narkoba. Mereka mencuri di sebuah toko handphone. Dari sana bisa ditebak ceritanya, pelajar mrosal tersebut mengambil tanpa ijin piranti komunikasi nirkabel (berikut asesorisnya) yang menjadi penanda simbol modernitas anak muda gaul, trendi dan tidak gagap teknologi.

Sebelumnya, pelajar sebuah SMP swasta ditangkap aparat kepolisian karena kedapatan sedang memalak kawan-kawan sekolahnya. Preman cilik ini setiap minggunya menarget beberapa kawannya untuk menyetorkan sejumlah uang. Hasilnya digunakan untuk beli rokok dan foya-foya.

Notulen senada berjuluk ‘’Takut Teman Nongkrong Hilang, Terpaksa Curi Motor’’. Berdasar pengakuan tersangka yang berstatus pelajar klas IA Listrik sebuah SMK di kota Solo, ia melakukan tindakan tidak terpuji mencuri sebuah sepeda motor rekan sekelasnya hanya karena takut kehilangan teman nongkrong di kawasan Stadion Manahan yang dilakoninya setiap malam Minggu.

Kasus serupa dilakukan seorang pelajar klas III sebuah SMA swasta tertangkap tangan ketika melakukan pengutilan t shirt seharga 128 ribu rupiah di sebuah pusat perbelanjaan. Dalam pengakuannya, ia mencuri karena ingin tampil trendi. Ia rela merendahkan harga dirinya demi memanjakan libido konsumtif agar tampil modis, trendi dan gaul seperti remaja seusianya.

Berbagai peristiwa kriminalitas yang dilakoni para remaja bujang seperti dilansir sejumlah surat kabar dan televisi, menjadi penanda semakin lemahnya peran dan fungsi orangtua dalam mendidik dan membimbing anak-anak buah kasih sayang mereka.

Orangtua cenderung permisif dalam pola didik dan pola asuh terhadap anaknya. Itu terjadi, karena mereka disibukkan untuk mencari nafkah duniawi demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pada titik ini, para orangtua cenderung berpandangan sempit. Dalam benaknya, selama kebutuhan finansial yang diperlukan anak-anaknya terpenuhi, maka tugas sebagai orangtua selesai. Selanjutnya urusan pendidikan dipasrahkan semuanya kepada lembaga pendidikan.

Tindakan orangtua yang sepenuhnya melimpahkan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah, sejatinya sedang menanam bom waktu. Kenapa? Karena sekolah jaman sekarang lebih mengedepankan pengajaran. Sekolah tidak akan bisa menggantikan peran pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh orangtua seutuhnya.

Sebaik apa pun sekolah tersebut, yang paling utama tetaplah pendidikan yang berasal dari keluarga. Karena sudah menjadi rahasia umum, sifat serta perilaku anak pada akhirnya merupakan citra cermin dari orang tuanya.

Pertanyaannya kemudian, kenapa konsumtivisme dan kriminalitas semakin meroket grafik statistiknya? Penyebabnya, ditengarai, lingkungan kekerabatan yang senantiasa mengukur kualitas dan status seseorang semata-mata dengan takaran uang. Kuatnya penetrasi tayangan kenikmatan modernitas di sejumlah stasiun televisi dan internet.

Faktor lainnya, akibat mudahnya akses tontonan budaya popular dalam kemasan budaya instan. Tontonan yang kurang memperhatikan aspek tuntunan ini dikendalikan oleh gurita kapitalisme. Dalam konteks ini, gurita kapitalisme dengan senyum manisnya mendedahkan dogma: ‘’Agar Anda memperoleh predikat manusia modern, maka batas-batas tabu, norma dan susila harus diterabas dengan sukacita. Karena semuanya itu bersifat kuno alias ketinggalan jaman’’.

Penyebaran dogma tersebut dilakukan secara instan dengan membeli airtime tayangan televisi dan kolom-kolom media massa cetak. Penyebaran lainnya diternakkan dan dikembangbiakkan lewat seperangkat peralatan elektronik (handphone, internet, komputer) menjadikan libido dan hasrat naluri kebinatangan para remaja yang rapuh kepribadiannya, meningkat tajam.

Akibat penyebaran dogma yang menyesatkan, dan seiring dengan mengendurnya nilai moralitas serta merosotnya nilai spiritualitas sebagian besar orang muda, membuka jalan bagi berkembangnya berbagai bentuk kebudayaan yang ingin keluar dan melepaskan diri dari konvensi normal. Hal itu terjadi karena mereka telah kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Mereka lebih percaya pada apa yang disebut dalam ilmu psikoanalisis sebagai citra cermin, ketimbang percaya pada citra wajah dan kepribadiannya sendiri. Mereka kehilangan orientasi rasa percaya diri. Mereka berasumsi, yang ada di luar dirinya dan banyak digunakan oleh masyarakat umum, mutunya terjamin, hukumnya halal, nilainya baik, kekuatannya dahsyat, menjadi trendi, lebih gaul, dan modern. Akibatnya mereka terseret budaya konsumtif. Parahnya, mereka menjadi gelap mata dengan menghalalkan segala cara seperti ulah jahat para remaja bujang salah asuhan tersebut. Lalu, apa kata dunia kalau anak muda selalu terperosok dalam kehidupan yang hina dan nista?

*)Sumbo Tinarbuko (
http://sumbotinarbuko.tk/) adalah Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta

Tidak ada komentar: