Senin, 01 September 2008

Kawula Muda dan Batik Tradisional

Sumbo Tinarbuko



Sebagai anggitan bangsa Indonesia yang dikenal sejak dulu, batik merupakan produk perkawinan antara seni dan teknologi dari nenek moyang kita yang sangat tinggi nilainya.

Saat itu, pakaian batik dapat dijadikan penentu kedudukan seseorang dalam konteks sosial kemasyarakatan. Hal itu terjadi, karena dengan melihat corak batik yang dikenakan, orang dapat mengetahui kedudukan si pemakainya.

Bentuk dan motif batik yang dibuat oleh para leluhur merupakan penanda yang menyimbolkan perikehidupan manusia. Fakta sejarah mencatat, batik terjalin erat dengan aktivitas budaya bangsa Indonesia. Patung Ganesha dari Blitar (1239 M) misalnya, sudah mengenakan kain kawung. Patung Prajnaparamita dari Singasari yang terkenal keindahannya itu pun divisualkan menggunakan kain jlamprang.

Beberapa abad kemudian dalam kehidupan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta atau Kasepuhan Cirebon, kain batik senantiasa dikenakan dalam berbagai kesempatan. Menurut Mujiyono (l992), pihak keraton mengeluarkan peraturan perihal pemakaian delapan motif batik yang menjadi larangan. Di antaranya kawung, parang, parang rusak, cemukiran, sawat, udan liris, semen, dan alas-alasan. Motif kain batik tersebut tidak boleh sembarangan dipakai.

Di luar tembok keraton, masyarakat pun menjunjung tinggi tata cara pemakaian kain batik dengan motif-motif tertentu. Untuk pengantin misalnya, sebaiknya menggunakan motif sidomukti (mengandung makna bahwa pemakainya akan berkesudahan dengan hidup bahagia dan serba kecukupan) atau sidoluhur (berarti akan mendapatkan kewibawaan tinggi). Bagi orang tua yang pertama kalinya menyelenggarakan pernikahan putrinya disarankan untuk mengenakan kain truntum.

Tahun 1950-1960 menurut sejarah perbatikan, terdapat puluhan perusahaan batik. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan. Untuk mengantisipasinya diciptakanlah teknik batik printing. Setelah teknik ini ditemukan justru menjadi kanibal bagi perkembangan batik tulis maupun batik cap. Sehingga banyak perusahaan batik tradisional mengalami kebangkrutan.

Fenomena itu diperparah lagi dengan kebanggaan terhadap batik tampaknya mulai luntur. Dalam keseharian misalnya, seseorang cenderung menggunakan bahan-bahan nonbatik sebagai pilihan busananya. Kalaupun menggunakan busana batik lebih memilih daster, rok, dan kemeja yang dibuat dari batik printing. Dampaknya, motif batik tradisional beralih fungsi menjadi bedcover, gorden, interior ruangan, topeng, dan barang-barang cenderamata lainnya.

Kecenderungan tersebut menyebabkan berkurangnya minat kawula muda untuk mengonsumsi produksi batik tradisional. Kilahnya, barang-barang tersebut sudah ketinggalan zaman, tidak trendy, dan gaul. Akibatnya, batik hanya digunakan dalam kesempatan khusus, seperti ke resepsi pernikahan atau jamuan resmi lainnya.
Untuk merangsang kebanggaan terhadap batik, sebagai identitas budaya bangsa perlu diupayakan secara terpadu. Tetapi hal ini tidak berarti cukup diselesaikan dengan memanfaatkan produk tekstil bermotif batik atau lebih populer dengan sebutan batik printing. Pilihan orang terhadap batik printing, tanpa disadari akan mematikan keberadaan batik tradisional. Padahal justru jenis batik tradisional inilah yang patut dilestarikan dan mendapatkan tempat terhormat dalam kehidupan social kemasyarakatan. Pelestarian batik tradisional diupayakan untuk mewariskan nilai-nilai simbolis kepada kawula muda. Khususnya kawula muda pembatik.

Ketidaktahuan kawula muda terhadap makna simbolik motif batik menyebabkan mereka tidak menyukai dan menghargai batik tradisional. Artinya, mereka tidak peduli perkembangan batik tradisional. Pada gilirannya menimbulkan sikap masa bodoh terhadap warisan budaya yang adiluhung tersebut.

Dengan mengetahui makna simbolis dari sebuah batik tradisional dan mengetahui peristiwa yang melatari terciptanya suatu motif batik, diharapkan apresiasi kawula muda terhadap batik tradisional akan lebih tinggi.

Langkah awal dalam upaya sosialisasi masalah batik tradisional tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pelajaran tentang motif batik sebagai muatan lokal di berbagai jenjang pendidikan formal. Adalah sangat ironis manakala kawula muda Indonesia ingin mempelajari motif batik tradisional harus belajar kepada pakar batik berkebangsaan Amerika, Jepang, Belanda, Inggris, Malaysia, atau bangsa asing lainnya.

Agar dapat mewariskan hal tersebut secara utuh diharapkan campur tangan para pakar, peneliti dan kolektor batik dalam mengumpulkan dan menyosialisasikan motif-motif batik tradisional kepada para kawula muda. Demikian pula para perupa, fotografer, cerpenis, novelis, jurnalis, media massa cetak dan elektronik diharapkan kepekaan kreatifnya untuk senantiasa menjadikan batik sebagai elemen penting dalam proses kreatifnya.


*) Sumbo Tinarbuko (
http://sumbo.wordpress.com/), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.



Tidak ada komentar: