Minggu, 05 Oktober 2008

DiskomFest #3 DKV FSR ISI Yogyakarta: “Ring of Fire”





DISKOMFEST merupakan acara rutin dua tahunan yang diselenggarakan oleh mahasiswa Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Pada dasarnya acara ini merupakan pesta untuk merayakan kreativitas bagi para insan DKV. Pesta yang berupa Pameran karya, Seminar, Creative Sharing, dan entertainment lainnya. Pertama kali diselenggarakan pada September 2004 bertempat di Benteng Vredeburg Yogyakarta, mengusung tema Study Hard Play Hard. Kemudian disusul DISKOMFEST #2: Challenging Heroes di tempat yang sama dua tahun kemudian.

Dan tahun ini perhelatan tersebut kembali digelar. Mengusung tema Ring of Fire, yang merupakan simbol semangat tanpa batas bagi kawula DKV di tanah air dalam berkarya. Diselenggarakan di Jogja National Museum yang merupakan bekas gedung ASRI, STSRI “ASRI”, dan FSRD ISI Yogyakarta sebelum pindah ke kampus terpadu di Sewon.

DISKOMFEST #3 kali ini selain mengadakan Pameran, Seminar Tipografi dengan pembicara Bpk Danton Sihombing dan Gigih Budi Abadi, juga menghelat Award Majalah SMA untuk wilayah Jogja. Yang kemudian semua peserta award tersebut mendapatkan workshop digital magazine oleh Jogja Force, dan workshop komik oleh Beng Rahadian dan Ismail “Sukribo”.

DISKOMFEST merupakan pesta dari, oleh, dan untuk insan DKV di Indonesia. Untuk itu kami menunggu partisipasinya dari seluruh kawula DKV di Nusantara untuk turut serta menyemarakkan acara ini.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

RING OF FIRE

Setelah bumi yang kita rasakan semakin panas ini mengelilingi matahari kira-kira dua kali putaran, DISKOMFEST hadir kembali untuk merayakan pesta kegelisahan yang kami rasakan dua tahun terakhir. Kegelisahan yang kami rasakan dalam melewati bulan demi bulan, hari demi hari, jam demi jam kami sebagai insan komunikasi visual di Indonesia. Kegelisahan yang kami tumpahkan sebagian (sebagian tetap kami simpan dalam hati) dalam perhelatan DISKOMFEST yang kali ini sudah ketiga kalinya diselenggarakan.

Dalam perhelatan DISKOMFEST #3 kali ini mengusung tajuk RING OF FIRE (lingkaran api). Lingkaran di sini berarti sesuatu yang tanpa titik awal dan titik akhir, sesuatu yang tak pernah berhenti, selalu bergerak, dinamis dan tak berbatas. Sedangkan api melambangkan semangat yang selalu berkobar. Jadi RING OF FIRE kurang lebih berarti “Semangat yang berkobar tanpa henti”, tentu dalam hal ini adalah semangat insan kreatif DKV dalam berkarya, dan dalam membangun dunia per-DKV-an di tanah air.

Lingkaran api sendiri merupakan elemen yang sangat khas dari pertunjukan Sirkus. Biasa digunakan dalam atraksi dengan singa yang melompati lingkaran api. Dalam pandangan kami, Sirkus mempunyai persamaan dengan DKV. Seperti yang kita tahu, Sirkus, dalam satu tenda besar mempertunjukkan beragam jenis orang dengan beragam keahlian pula yang membuat kita terkagum-kagum. Pertunjukan Sirkus merupakan rangkaian penampilan orang-orang aneh yang memiliki ketrampilan aneh pula yang jarang dimiliki orang awam. Begitu juga dalam satu tenda DKV terdapat berbagai macam orang aneh dengan beragam keahlian pula.

Perkembangan jaman menuntut dunia DKV untuk terus berkembang mengikutinya yang selanjutnya juga menuntut kita untuk selalu waspada terhadap perkembangannya, karena jika kita hanya diam di tempat maka dunia DKV akan jauh meninggalkan kita. Waspada agar kita tidak menelan mentah semua perkembangan jaman, tapi paling tidak kita tetap mempunyai sikap tehadap perkembangan jaman, ibarat pepatah Jawa: ngeli tapi ora keli (mengikuti perkembangan arus tetapi tidak terbawa arus). Memiliki sikap berarti juga kita mampu menempatkan diri dengan benar sebagai insan DKV di tengah-tengah masyarakat dan industri. Dengan memiliki sikap pula kita mampu menghapus stigma bahwa DKV hanya merupakan sapi perah industri dan agen dehumanisasi bagi masyarakat karena sebagian kontribusinya dalam konsumerisme.

Lingkaran perkembangan jaman yang terus berputar dengan cepat juga menuntut kita untuk terus mempertahankan sikap kita tanpa harus meninggalkan perputaran tersebut. Ring of Fire di sini juga berarti “semangat tanpa henti dalam menyikapi pekembangan jaman”. DISKOMFEST kali ini mempunyai misi untuk memberikan setitik kontribusi dalam menumbuhkan sikap bagi masyarakat DKV di tanah air dan di Jogja pada khususnya dalam menghadapi terpaan perkembangan jaman. Dan juga sebagai tanggung jawab kami sebagai bagian dari masyarakat DKV di Indonesia untuk turut serta membangun dunia DKV di tanah air. Membekali lingkaran terkecil dari diri kita untuk kemudian menuju ke lingkaran yang lebih besar. Sembari menjaga lingkaran tersebut untuk tetap utuh dan tetap menyala.

Aditya Permana
Project Leader

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

DeKaVe Penanda Jiwa Zaman
Sumbo Tinarbuko

Ketika disodori tema: ‘’Ring of Fire’’ oleh Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, muncul pertanyaan besar dalam benak saya. Apakah selama ini keberadaan DeKaVe (Desain Komunikasi Visual) tidak mampu mewarnai jiwa zamannya? Atau bahkan belum ada produk DeKaVe yang sanggup mencerahkan peradaban manusia? Pertanyaan selanjutnya, produk DeKaVe yang bagaimanakah yang mampu mencerahkan peradaban? Peradaban yang bagaimanakah yang dapat dicerahkan oleh sebuah produk DeKaVe?

Terlepas dari beberapa bertanyaan yang bergelayut dalam pikiran saya di atas, sejatinya produk DeKaVe adalah produk kebudayaan massa. Keberadaan produk DeKaVe sangat lekat dengan hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Ia tak bisa lepas dari sejarah kehidupan umat manusia. Karena ia merupakan salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup.

Desain Komunikasi Visual alias DeKaVe dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan, bersifat rasional, dan pragmatis. Jagat DeKaVe senantiasa dinamis, penuh gerak, dan perubahan. Hal itu karena jiwa zaman, peradaban manusia, dan ilmu pengetahuan modern memungkin semuanya itu terjadi. Artinya, sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, produk DeKaVe juga berhadapan pada konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi massa.

Ketika produk DeKaVe merupakan bagian dari produk kebudayaan massa, maka tugas kita sekarang adalah bagaimana caranya agar produk DeKaVe bisa berfungsi sebagai penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern.

Ciri sebuah produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern: pertama, produk DeKaVe mampu tampil secara atraktif, komunikatif, dan persuasif. Kedua, produk DeKaVe harus dapat mencerdaskan masyarakat terkait dengan pesan verbal dan pesan visual yang ingin disampaikan. Ketiga, keberadaannya bisa diterima secara iklas oleh masyarakat luas. Keempat, mengikuti perkembangan hukum adat yang berlaku, menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal.

Keempat ciri produk DeKaVe yang saya rumuskan di atas sebenarnya bagi kawan-kawan yang bergerak di industri per-DeKaVe-an bukanlah sesuatu yang baru dan sulit untuk diejawantahkan dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat yang plural dan heterogen.

Tetapi dalam konteks ini, saya ingin menegaskan, dalam rangka mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban manusia modern, seperti yang diamanatkan Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, perlu kiranya kita memberi perhatian khusus pada butir keempat: ‘’menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal’’.

Mengapa demikian? Sebab dengan menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, untuk kemudian diangkat menjadi sumber inspirasi, sebagai sumber ide dan gagasan, serta sebagai perangkat lunak untuk mengkomunikasikan beragam pesan verbal dan pesan visual yang bersifat komerisal, sosial, atau pun moral kepada sasaran khalayak yang dibidik, maka berbagai produk DeKaVe yang dihasilkan oleh tangan-tangan kreatif yang senantiasa mengedepankan kearifan budaya lokal Yogyakarta akan menjadi penanda jiwa zaman yang cukup kuat atas keberadaan sebuah produk DeKaVe yang mampu memberikan aksentuasi perikehidupan masyarakat. Ujung-ujungnya diharapkan mampu mencerahkan pemikiran dan perasaan umat manusia yang hidup dan mengisi kehidupannya sesuai dengan talenta masing-masing.

Terkait dengan upaya mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia, alangkah baiknya jika berbagai media massa cetak dan elektronik yang tersebar di seluruh pelosok DIY dan Indonesia pada umumnya, mau berbaik hati dan sedikit mengedepankan jiwa sosial demi apresiasi dan pengembangan wacana DeKaVe yang mampu mencerahkan peradaban modern di tengah karut marut persepsi masyarakat yang demikian heterogen.

Dukungan dari para pengelola media massa dan elektronik dalam konteks ini, bersedia dengan sukarela menayangkan secara periodik liputan pameran produk DeKaVe, talkshow Grafis Komunikasi, Desain Komunikasi Visual, wawancara tokoh praktisi DeKaVe, interview dengan tokoh akademisi DeKaVe dan lembaga pendidikan DeKaVe, bedah konsep produk DeKaVe dari kreator DeKaVe. Ataupun memuat dan menayangkan tulisan opini yang terkait dengan produk DeKaVe dari sejumlah penulis (pengamat, praktisi, akademisi dan mahasiswa) yang memiliki minat mengembangkan disiplin ilmu tersebut.

Sebab perkembangan praksis, wacana, dan ilmu Desain Komunikasi Visual tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari parapihak sulit dilaksanakan. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka keberadaan DeKaVe sebagai salah satu kajian studi kebudayaan juga akan jalan di tempat, alias mandeg! Jika fenomena semacam itu tidak pernah saling bertegur sapa, selanjutnya dapat ditebak akibatnya: sulit mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia.

Terima Kasih. Mugi rahayua ingkang sami pinanggih. Sampai berjumpa pada perhelatan kreatif Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, 29 Oktober 2008 – 1 November 2008.

Sumbo Tinarbuko
Kurator
(http://sumbo.wordpress.com/)
Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Ring of Fire: Creative Fest.

DISKOMFEST #3 kini hadir di Jogja National Museum. Berbagai agenda disertakan didalamnya untuk mengaktualisasi perkembangan desain, periklanan, seni dan komunikasi visual lain dalam bentuk media baru. Pameran, seminar, workshop, creative sharing, dll, merupakan respon lanjut dari kegiatan yang sama sebelumnya.

Jogja National Museum dipilih sebagai tempat penyelenggaraan diskomfest dengan pertimbangan ketersedian ruang. Selain itu, dari aspek perasaan; ada semacam creative home. Lokasi ini memiliki citra kultural dari dulu hingga kini. Sementara itu, waktu penyelenggaraan dilangsungkan dalam tempo secukupnya.

Meski masih ‘embrio’, diskomfest berada di lingkup pergerakan kreativitas desain. Kegiatan ini melibatkan ‘diskomer’ dari berbagai Pihak, baik akademik dan stakeholder kreatif dari berbagai kota. Mereka yang terlibat dalam kegiatan ini ialah individu, perusahaan dan komunitas, yang menciptakan lapangan kerja baru, menyerap tenaga kerja, dan menciptakan pasarnya sendiri. Diantaranya menciptakan usaha periklanan, ilustrasi, animasi, video klip, merchandise, desain grafis, produk, seni, clothing, dan wacana desain. Oleh sebab itu, diskomfest lebih terasa menuju festival kreativitas.

Diskomfest sadar bahwa zaman terus bergerak. DISKOMFEST kali ini diselenggarakan di konteks ekonomi kreatif. Kreativitas digencarkan menjadi sumber perekonomian. Dalam hal ini, apapun, baik barang dan jasa yang bisa dipatenkan akan menjadi ekonomi kreatif. Konteks ini mendatangi desain, menjadi penampang bagi orientasi desain ke depan untuk membentuk sumber ekonomi berbasis desain.

Fenomena ekonomi kreatif ini terkait dengan sumber unggulan kota. Bisa didapatkan dari pergerakan pelaku dan komunitas desain – yang menciptakan ceruk pasarnya sendiri. Kemampuan simbolik, dan pangsa yang dihasilkan oleh pelaku dalam diskomfest bisa dijadikan ‘perabaan’ ekonomi kreatif berbasis desain. Tentu diperlukan peta produksi, konsumsi, gaya hidup, kebutuhan identitas desain ke depannya. Kreatifitas menjadi modal untuk dikontribusikan, dipasarkan dan dikomunikasikan.

Gagasan ekonomi kreatif ini berada di lanskap persaingan global, lebih memanfaatkan persaingan antar kota. Setiap kota memiliki susunan material sendiri, formasi kreatif, dan sumber-sumber modal berbeda. Sebuah festival, misalnya diskomfest menggambarkan fenomena tersebut. Itu mengapa festival cenderung membutuhkan konsep lokalitas untuk sandaran identitas. Untuk memandang sejauh mana bentuk-bentuk pergerakan-pergerakan tersebut bisa ditandakan, juga dikembangkan variasinya menurut value-value ekonomi kreatif.

Praktik kreatif ini bisa membentuk pekerja kreatif yang menciptakan nilai pada ekonomi tanda. Metode aktualisasi bisa melalui konsep lokalitas, youth culture, identitas, dsb. Irisan-irisan semacam ini dalam praktik desain akan memperlihatkan bidang kreativitas memiliki penampakan arkeologi ketrampilan yang bervariasi.
Diskomfest merupakan pergerakan desain yang melibatkan berbagai faktor. Pada peristiwa yang berlangsung secukupnya ini, diskomfest berusaha menghubungkan faktor: generasi, komunitas, profesional, perupa, mahasiswa untuk memperluas partisipasi dan membentuk “Ring of Fire” – lingkaran kreatif. Diskomfest sebagai sirkuit bagi kreatifitas.

Sutrisno
Ko kurator pameran DiskomFest
Alumnus DKV ISI YK

•••

1 komentar:

aNdieiRfaN mengatakan...

kemarin ga jadi liat DiskomFest#3, sakit......