Minggu, 26 Oktober 2008

Menyoal Moralitas dan Kejujuran Iklan Politik

Sumbo Tinarbuko


Kemasan, packaging, wadah, alias, bungkus sejatinya difungsikan untuk melindungi barang. Kemasan sengaja dirancang mengutamakan aspek kepraktisan ergonomis agar mudah ditenteng sesuka hati. Nyaman dan aman bagi si pembawa barang. Terlindungi dari perubahan cuaca atau proses-proses lainnya yang mengakibatkan barang tersebut rusak.

Sisi lain dari pengertian kemasan ternyata dapat pula dikontekstualisasikan dalam gegap gempitanya parade partai politik peserta Pemilu 2009.

Dengan memanfaatkan ideologi kemasan, semua partai politik cancut taliwanda mempromosikan parpolnya agar mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat calon pemilih. Kemasan yang paling cespleng berbentuk iklan politik.

Periklanan politik tabiatnya hampir sama dengan periklanan komersial. Sepak terjangnya bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (baca: parpol) yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (baca: Pemilu) tanpa mengandalkan iklan (politik).

Demikian pentingnya peran iklan politik dalam ‘’bisnis parpol’’ sehingga salah satu parameter bonafiditas parpol terletak pada seberapa banyak dana yang digelontorkan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan politik merupakan jendela kamar dari sebuah parpol. Ia sanggup menghubungkan parpol dengan masyarakat. Khususnya calon pemilih.

Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa iklan politik tersebut sebaiknya disampaikan.

Berdasarkan terminologi iklan politik, maka pucuk pimpinan parpol, elit politik, pejabat maupun mantan pejabat publik, LSM, agamawan, saudagar, eksekutif, intelektual, dan kaum cerdik pandai berlomba-lomba mengemas dirinya sebagai representasi parpol lewat iklan politik.

Dengan modal milyaran rupiah dari kocek pribadi atau sponsor, mereka minta bantuan biro iklan dan konsultan komunikasi untuk tampil ‘’memesona’’ dalam kemasan iklan politik. Mereka pun menyewa kapling iklan media massa cetak dan elektronik guna menayangkan program pencitraan politik yang elegan. Mereka membungkus dirinya lewat bahasa yang santun, menawarkan gagasan mengatasi persoalan bangsa yang carut marut. Mereka secara egaliter mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu agar Indonesia menjadi lebih baik. Mereka mengajak masyarakat untuk tidak melupakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka mengajak masyarakat agar mencintai, membeli, dan mengonsumsi produk-produk anak negeri.

Bersifat Paritas

Sayangnya, iklan parpol yang gentayangan di media massa cetak dan elektronik lebih mengedepankan konsep hard sell. Mereka sangat menyukai konsep semacam ini. Karena dianggapnya mujarab mendongkrak popularitas seluruh elemen parpol. Kemudian muncullah kemasan iklan politik yang menawarkan janji surga. Iklan tersebut lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas. Alias sama sebangun. Setiap kali melihat kemasan iklan politik di berbagai media massa cetak dan elektronik, sang tokoh selalu dicitrakan berpendidikan tinggi, religius, santun, murah senyum, dan ramah. Sang tokoh laksana malaikat pembawa warta gembira penuh kedamaian dan kebijaksanaan. Sang tokoh bagaikan sinterklas yang membagi-bagikan hadiah. Sang tokoh seperti Superman yang senantiasa menolong si lemah dan si miskin. Sang tokoh menjelma pahlawan pembela kebenaran.

Dalam kemasan tayangan iklan politik, sang tokoh selalu terlihat merakyat. Blusukan ke pasar tradisional dan pemukiman kumuh di pinggiran kota. Menyapa wong cilik penuh kehangatan. Berbaur dengan masyarakat pedesaan dan warga miskin. Di sana digambarkan, sang tokoh bersama pengiringnya ikut merasakan denyut kehidupan yang sangat minimalis. Pada sekuen lain, sang tokoh berdiri di depan klas sebuah SD. Ia terlihat menjelaskan perihal arti pentingnya sebuah pendidikan. Katanya, ‘’hanya lewat pendidikan, bangsa ini akan maju dan berwibawa dipergaulan tingkat dunia’’. Tetapi, benarkah demikian adanya?

Pemunculan tokoh politik nasional lewat iklan parpol di media massa cetak dan elektronik, dinilai oleh parapihak banyak menyampaikan janji kosong. Sebuah janji surga yang sejujurnya sulit untuk diejawantahkan.

Dalam konteks ini, upaya tebar pesona parpol berikut elit politik lebih mengonsentrasikan kemasan luar dari pada isinya. Artinya, kemasan tebar pesona dalam bentuk iklan politik, justru semakin memperlebar tingkat kesenjangan antara kemasan dengan isinya. Antara tokoh politik, parpol, dengan masyarakat calon pemilih.

Semangat Narsisme

Selain lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas, ternyata iklan politik Pemilu 2009 juga mengandalkan semangat narsisme. Sebuah semangat yang mensyaratkan kecintaan pada diri sendiri. Untuk itu, agar kecintaan pada diri sendiri mendapatkan permaklumannya, banyak di antara mereka menebarkan jaring pesona kepada siapapun. Mereka itu adalah para politikus dan calon legislatif yang mengampanyekan dirinya lewat rumusan konsep narsisme.

Semangat narsisme yang didedahkan lewat senyuman para caleg, realitas visualnya telah menohok mata kita. Mereka sejatinya sedang ‘’mengadu nasib’’ menjadi sekelompok manusia terhormat. Mereka sedang mengupayakan dirinya menjadi anggota dewan yang dihormati. Jika ikhtiarnya terkabul, mereka akan mengemban tugas mewakili rakyat. Sebuah amanah yang harus dijalankan dengan baik dan benar, agar rakyat yang diwakilinya mendapatkan kemakmuran lahir batin. Terjamin harkat dan martabat kemanusiaanya di bumi Indonesia tercinta ini.

Untuk itu, beragam media iklan diberdayakan guna memuluskan strategi pencitraan diri. Tampilan visual foto diri yang masif dan kaku kemudian direproduksi ke dalam citraan iklan televisi, radio, internet, koran dan majalah. Bentangan kain spanduk, umbul-umbul, rontek, baliho dan billboard pun tak ketinggalkan ditancapkan di sepanjang ruas jalan raya demi memperluas polarisasi semangat narsisme agar dikenal khalayak luas.

Pada titik ini, para politikus yang nyaleg sedang menjalankan aktivitas ‘’tepe-tepe’’ alias tebar pesona. Mereka ditengarai menebarkan sampah visual politik dan mengarah pada perilaku kekerasan visual. Mereka cenderung merampas ruang publik. Sebuah area terbuka bagi warga masyarakat untuk reriungan bersama-sama. Modusnya, tim sukses para caleg menancapkan dan memasang sebanyak mungkin media luar ruang. Mengabaikan ergonomi pemasangan media luar ruang yang artistik, komunikatif dan persuasif. Akibatnya, mereka dinilai tidak mengindahkan dogma dekorasi grafis kota yang hakikatnya mengedepankan estetika kota ramah lingkungan.

Semangat narsisme yang sedang dikumandangkan para caleg ini, secara visual gampang ditengarai. Penandanya, jika setiap kali berkendaraan di sepanjang kota, mata kita dipaksa melihat tebaran senyuman caleg yang mengaku dirinya berpendidikan tinggi, berwibawa, santun, dan agamis. Mereka mendandani dirinya sedemikian rupa dan senantiasa menyapa pengguna jalan dengan slogan yang persuasif: ‘’berjuang untuk rakyat’’, ‘’hidup adalah perbuatan’’, ‘’iklas berjuang dan iklas beramal’’, ‘’nasionalis kerakyatan’’, ‘’rakyat berkuasa’’, ‘’satukan umat, makmurkan bangsa’’, ‘’bangkit negeriku, harapan itu masih ada’’, ‘’bersemangatlah mengisi hari-harimu dengan tetap berkarya nyata’’, ‘’membangun masyarakat aman, damai, adil, demokratis’’, ‘’bangkit bersama membangun negeri’’, dan lainnya.

Penanda narsisme lainnya yang sangat narsis, dapat terlihat di depan dan belakang nama orang yang mendadak nyaleg. Di sana, dituliskan dua atau tiga huruf singkatan gelar akademis. Mereka haqqulyakin, gelar akademis S1, magister ataupun doktor menjadi aksesoris diri yang diharapkan mampu mendongkak daya tarik aura fisiknya, di hadapan publik calon pemilih. Mereka menempuh jalan semacam itu, sebab gelar akademis sampai detik ini masih dipercayai mampu merepresentasikan kesuksesan pendidikan formal. Bahkan lewat gelar akademis, sebagian orang menganggap dirinya sebagai bangsawan modern.

Pertanyaannya, dengan menyantumkan deretan gelar akademik di depan ataupun belakang nama caleg, apakah itu menjadi indikator tingginya kadar intelektualitas yang bersangkutan? Adalah relevansi capaian gelar akademis dengan peluang dipilih sebagai anggota dewan?

Atas pertanyaan itu, banyak pihak meragukannya. Mereka beranggapan, caleg yang menerapkan strategi narsisme dengan memasang gerbong gelar akademis, dipandang belum memiliki jam terbang yang memadai dalam ranah politik. Pendeknya, caleg sim salabim ini, nilai rapot politiknya masih bertinta merah. Belum memiliki prestasi politik yang membanggakan masyarakat. Sebab menjadi seorang politikus atau kader partai harus sudah teruji ruang dan waktu. Selain itu, mereka yang akan nyaleg mesti berani nggetih. Artinya memiliki kemampuan yang brilian dalam memahami berbagai isu yang muncul di tataran akar rumput. Tangkas menyusun pemecahan masalah atas isu yang berkembang di daerah yang diwakilinya.

Jika semangat narsisme masih menyelimuti sanubari caleg, maka jagat percalegan ditengarai mengalami masa paceklik. Mengapa? Karena ladang Pemilu 2009 tidak mampu membuahkan panen raya anggota legislatif yang mumpuni. Dengan demikian, pelan namun pasti, kekhawatiran lembaga legislatif tidak serius memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyat bukanlah sebuah fatamorgana.

Pada akhirnya, rakyat pun hanya mampu bergumam, ‘’Kami membutuhkan wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang senantiasa mengedepankan komitmen dan loyalitas pada kepentingan rakyat. Bukan wakil rakyat atau pemimpin bangsa yang instan dan suka bersolek!’’

Moralitas dan Kejujuran

Atas dasar pengalaman komprehensif semacam itu, rakyat cenderung hati-hati. Rakyat semakin permana dalam menentukan siapa yang layak memimpin negeri dengan sebutan jamrud katulistiwa ini. Kehati-hatian semacam itu lebih didasari pada fakta sejarah. Selama ini, para pemimpin bangsa yang diberi kepercayaan rakyat untuk mengelola Republik tercinta ini, lebih dikenal lewat tampilan kemasannya saja. Karena senantiasa mendewakan kemasan visualnya saja, akibatnya, para pemimpin bangsa dan pejabat publik lebih banyak bekerja dengan mengatur siasat dan beradu strategi demi merebut kekuasaan. Dengan label penguasa, mereka dipastikan memiliki hak mengelola bangsa dan negara ini. Lewat predikat penguasa, mereka mempunyai hak dan merasa paling mampu serta paling benar untuk mengatur bangsa dan negara ini. Dengan sebutan penguasa, mereka dapat memproyeksikan dirinya beserta pengikutnya untuk senantiasa menikmati kesejahteraan lahir batin.

Dalam alam reformasi seperti sekarang ini, masyarakat secara terbuka tidak akan terpengaruh oleh janji tokoh politik yang manis di mulut, namun pahit dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mau bagian dari kehidupannya diganggu oleh janji gombal yang disuarakan partai politik yang senang berburu kekuasaan.

Untuk itulah, dengan mengedepankan moralitas, menjunjung tinggi kejujuran, dan berpolatindak pada kearifan lokal. Kita percaya, masih banyak partai politik, dan tokoh politik yang layak mendapatkan amanat rakyat menjadi pemimpin bangsa. Dengan menempuh jalan yang baik dan benar serta bermartabat, masih banyak negarawan pengayom masyarakat, yang rela mengabdikan diri, guna mewujudkan nurani keadilan dan rasa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lewat kerjasama dan komunikasi dialogis secara egaliter antar parapihak, diyakini mampu memunculkan dan memelihara kehidupan ini dengan nyaman, aman, tenteram, adil, dan sejahtera. Dengan demikian keadaan Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bukan hanya sekadar impian di siang bolong. Tetapi kasunyatan hakiki!

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/)
Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa, dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

•••

Tidak ada komentar: