Minggu, 30 November 2008

Adigang, Adigung, Adiguna

Sumbo Tinarbuko



Liputan Radar Jogja (30/11/2008) di halaman Metropolis berjudul ‘’Sibuk Pergi, Kapan Pikirkan Rakyat’’ cukup menggelitik. Di sana dituliskan, tingginya frekuensi para pejabat teras Pemprov DIY mengadakan perjalanan dinas ke luar daerah, menimbulkan beragam pertanyaan. Salah satunya terkait perhatian para pejabat itu memikirkan rakyat.

Hal senada juga terjadi pada perilaku anggota dewan yang dititahkan berkedudukan sebagai pejabat publik. Mereka ditengarai enggan memikirkan nasib rakyat yang seharusnya disejahterakan dan diayomi harkat dan martabatnya.

Faktanya, mereka justru dengan pongahnya sedang mempertontonkan pertunjukan teater dengan juluk ‘’Adigang, Adigung, Adiguna’’ di depan panggung kerumunan rakyat yang sedang mengalami kesulitan materi dan finansial. Perasaan dan hatinya terluka akibat kebijakan para pemimpin yang kurang berpihak pada pada wong cilik.

Kelompok orang terhormat itu sengaja membangun fragmentasi narasi dengan fokus utama egoisme golongan. Mereka didapuk untuk memerankan tokoh yang sengaja hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan tidak peduli dengan nasib orang yang diwakilinya.

Ceritanya dibangun dengan kehadiran para politisi yang berhasil menancapkan kukunya di kursi empuk DPR dan DPRD sambil melakukan berbagai manuver demi political survival yang bersifat individual ataupun gerakkan untuk melampiaskan ketidakpuasannya terhadap rezim kekuasaan yang sedang berkuasa.

Mereka menghayati perannya dengan serius. Di dalam batin dan pola pemikirannya telah didedahkan konstruksi profesional seorang politisi yang ‘’bertanggung jawab’’. Mereka yang ‘’beruntung’’ memerankan peran anggota dewan yang terhormat harus memiliki integritas dan sikap untuk kukuh pada pendirian. Di dalam skenario yang harus dimainkan, mereka diberi tugas untuk senantiasa bersikap keras tanpa kompromi pada pihak lain, apalagi itu diyakini sebagai seterunya. Misinya adalah mempertajam polarisasi dan membuat kemasan yang berbeda, agar terlihat unik, memiliki karakter unique selling preposition di mata para penontonnya. Semakin banyak masalah yang muncul akan semakin menarik diperdebatkan dan memiliki kandungan nilai tantangan yang cukup tinggi.

Menyimak cerita buruk yang diberi kop ‘’Adigang, Adigung, Adiguna’’ dalam kemasan tontonan teater yang diperankan oleh para anggota dewan yang terhormat dapat diasumsikan: ternyata, para anggota dewan yang terhormat itu adalah sekumpulan pakar (‘’pandai membuat sukar’’) politisi yang kinerjanya lebih mengutamakan bagaimana caranya membuat sukar untuk sebuah permasalahan (simak perdebatan RUU yang kontroversial) cukup sederhana dan tidak prinsipial bagi khalayak luas.

Manakala keadaan seperti itu senantiasa dibangun, dihidupkan, dilestarikan dan dibuatkan berita acaranya agar memiliki kandungan hukum dengan azas legalitas formal, maka nasib bangsa dan negara ini akan senantiasa diduakan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana bangsa dan negara ini akan dibangun agar segera keluar dari keterpurukan dengan baik sesuai zamannya jika pengelola dan pimpinan negara tidak menunjukkan integritasnya secara positif dan proaktif.

Realita yang muncul, ternyata mereka masih bergerak pada wilayah perut. Para anggota dewan senantiasa mengedepankan libido lapar dan haus kekuasaan. Dalam pikirannya senantiasa dipositioningkan berbagai upaya agar mereka mampu memuaskan rasa lapar dan dahaga kekuasaan. Modus operandinya, dengan memperebutkan jabatan yang diyakini akan menenangkan gejolak hasrat perut yang kelaparan.

Para anggota dewan akhirnya lebih banyak bekerja dengan mengatur siasat dan beradu strategi demi merebut kekuasaan. Hal itu semakin terlihat tabiatnya menjelang Pemilu 2009. Apalagi dengan label penguasa maka mereka dipastikan memiliki hak mengelola bangsa dan negara ini. Dengan predikat penguasa maka mereka mempunyai hak dan merasa paling mampu serta paling benar untuk mengatur bangsa dan negara ini.

Atas dasar itulah, para anggota dewan yang terhormat mengaplikasikan konsep kekuasaan adigang, adigung, adiguna dengan tata struktur yang rapi. Pengejawantahannya, mereka mengedepankan sikap arogan karena merasa paling baik, maka muncullah sikap egoisme, egosentris, egoelitisme, dan egogolongan. Ketika sikap hidup sebagai makhluk individual yang lebih ditonjolkan, maka tidak akan pernah ada jalan tengah untuk bisa mengakhiri konflik egoisme prinsip yang tidak berprinsip di dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal kita semua sebagai rakyat kecil mengharapkan keberadaan, pemikiran, dan pola tindak para wakil rakyat yang menjadi anggota dewan bisa menjadi panutan, teladan, semangat, inspirasi dan payung yang mampu memayu hayuning bawana alias memayungi khalayak luas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

*)Sumbo Tinarbuko (sumbo.wordpress.com), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta

Tidak ada komentar: