Kamis, 13 November 2008

Popularitas vs Elektabilitas

Sumbo Tinarbuko



Pengumuman calon tetap anggota dewan yang terhormat sudah dibiwarakan ke seluruh pelosok Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertanggung jawab atas perhelatan klasik lima tahunan ini, sudah memasang nama dan pas foto mereka di berbagai media massa.

Setelah KPU mengumandangkan nama dan foto diri calon legislatif, dapat dipastikan sejumlah halaman surat kabar dan layar televisi dipenuhi iklan politik. Para caleg pun diyakini akan memasang banner dan pernak-pernik media reklame luar ruang lainnya, di sepanjang jalan yang dianggap strategis. Tujuannya jelas: memperkenalkan dirinya kehadapan calon pemilih. Kalau rating popularitasnya sudah tinggi, harapannya jumlah perolehan suaranya menjulang.

Kenapa harus memperkenalkan diri? Apakah selama ini tidak dikenal? Tentu saja! Sampai dengan mereka nyaleg, para caleg yang terhormat tidak pernah dekat dengan rakyatnya. Jalan pintasnya, iklan politik kemudian dimitoskan sebagai cara instan untuk memperkenalkan diri pada rakyat.

Yang terjadi kemudian, praktik politik narsisme mewarnai kemasan iklan politik. Celakanya, konsep komunikasi visual yang ditawarkan kepada calon pemilih sangat paritas dan hardsell sekali. Kebanyakan iklan politik menonjolkan visualisasi kesuksesan para caleg dari sudut pandang status sosial ekonomi, pendidikan formal, dan moralitas yang tinggi sebagai penanda kualitas kesalehan. Tidak hanya berhenti sampai di situ, dalam iklan politik yang dibuatnya, para caleg seolah-olah memiliki perhatian dan empati besar pada masyarakat kecil.

Siasat semacam itu sengaja dipilih, karena dianggapnya mujarab. Dinilai sanggup mendongkrak popularitas dirinya dan seluruh elemen parpol yang mendukungnya. Terhadap keyakinan seperti itu, coba simaklah testimoni mereka, ‘’Kalo nggak mbuat iklan yang narsis jadinya nggak trendi. Kalo nggak narsis, kita juga sulit dikenal!’’.

Tampilan iklan politik sejenis itu, sudah menjadi rahasia umum. Diyakini mampu memperkenalkan dirinya di hadapan rakyat. Apalagi dalam Pemilu 2009 ini, para caleg dan politikus terbuai euphoria pemilihan langsung. Mereka merasakan dirinya bagaikan kaum selebritas yang ganteng, gagah, cantik, cerdas, santun, agamis, dan berbagai keunggulan lain. Dalam pikirannya, dengan memasang wajah mereka sebanyak mungkin, para pemilih akan tertarik menyoblos nomor urut dan nama mereka dalam Pemilu 2009 mendatang.

Kemudian oleh beberapa kalangan, semuanya itu dianggap wajar dan sangat manusiawi. Kok bisa? Ya, karena karakteristik iklan politik memang didedikasikan untuk memunculkan citra diri para caleg sesempurna mungkin. Secara teoretis, iklan politik diposisikan sebagai media penyampai pesan verbal visual dari para caleg kepada calon pemilih. Selanjutnya, khalayak calon pemilih secara subjektif akan menyaring dan menyeleksi informasi yang ada. Pola penyaringan dan penyeleksian informasi disesuaikan dengan sistem kognisi dan ideologinya masing-masing.

Meski dianggap wajar, sayangnya, iklan politik yang bermunculan belakangan ini, lebih mementingkan aspek hura-hura dalam merayakan pencalegkan para caleg. Mereka bermain-main dengan janji kosong. Sebuah janji surga yang terkesan merakyat. Namun sejujurnya sulit diejawantahkan.

Pada titik ini, para pengiklan dan pembuat iklan politik menisbikan unsur informasi sebagai layanan komunikasi politik yang paling krusial. Mereka dalam kiprahnya melupakan muatan pengetahuan komprehensif, terkait visi dan misi para caleg, atau partai politik yang memajukan dirinya menjadi wakil rakyat.

Kesalahkaprahan perencanaan dan perancangan iklan politik semacam ini terjadi, karena mereka lebih menonjolkan aspek popularitas sang kandidat, caleg, atau ketua partai politik. Mereka melupakan aspek elektablitas (dipilih) yang sebenarnya menjadi hal penting dalam perhelatan Pemilu 2009.

Sejarah mencatat, banyak politikus, caleg, atau ketua parpol mengejar popularitas lewat iklan politik, namun realitas lapangan menunjukkan kebalikannya. Mereka secara kasatmata populer di hadapan publik calon pemilih, tapi kenyataannya, aspek elektabilitasnya justru rendah. Dengan demikian, popularitas caleg yang didongkrak lewat guyuran iklan politik, faktanya tidak dengan serta merta dipilih rakyat. Sebab caleg atau calon pemimpin bangsa tidak cukup bermodalkan popularitas. Mereka harus memiliki pengalaman lapangan yang sudah teruji ruang dan waktu. Rakyat pun perlu diyakinkan dengan pengabdian tulus lewat sebuah berkarya nyata yang konkret.

Pendeknya kualitas ‘’merek’’ sang caleg jauh lebih penting dari pada sekadar gembar gembor promosi tong kosong nyaring bunyinya. Sebab kualitas ‘’merek’’ sang caleg yang ‘’kuat sinyalnya’’, dapat dibuktikan lewat segepok karya nyata yang bermanfaat bagi siapa pun. Keberadaannya sudah teruji oleh ruang dan waktu. Hasilnya lebih migunani tumramping liyan.

Hal ini menjadi penting, karena sejatinya, merek pribadi sang caleg dan kualitas diri calon pemimpin bangsa lebih ditentukan oleh keselarasan mengelola nalar rasa dan nalar pikir, yang didedikasikan secara tulus kepada bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta.

Semoga masyarakat dapat memilih pemimpin sejati, seorang pemimpin bangsa yang elektabilitas dan popularitas dalam satu rentang garis lurus. Pemimpin bangsa yang mengedepankan moralitas, kejujuran, dan setiap kebijakannya senantiasa berpihak pada rakyat yang diayomi. Bukan pemimpin bangsa yang menggadaikan harga dirinya dengan berburu momentum lima tahunan untuk sebuah kekuasaan.

*)Sumbo Tinarbuko (sumbo.wordpress.com), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

Tidak ada komentar: