Minggu, 26 Oktober 2008

Menyoal Moralitas dan Kejujuran Iklan Politik

Sumbo Tinarbuko


Kemasan, packaging, wadah, alias, bungkus sejatinya difungsikan untuk melindungi barang. Kemasan sengaja dirancang mengutamakan aspek kepraktisan ergonomis agar mudah ditenteng sesuka hati. Nyaman dan aman bagi si pembawa barang. Terlindungi dari perubahan cuaca atau proses-proses lainnya yang mengakibatkan barang tersebut rusak.

Sisi lain dari pengertian kemasan ternyata dapat pula dikontekstualisasikan dalam gegap gempitanya parade partai politik peserta Pemilu 2009.

Dengan memanfaatkan ideologi kemasan, semua partai politik cancut taliwanda mempromosikan parpolnya agar mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat calon pemilih. Kemasan yang paling cespleng berbentuk iklan politik.

Periklanan politik tabiatnya hampir sama dengan periklanan komersial. Sepak terjangnya bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (baca: parpol) yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (baca: Pemilu) tanpa mengandalkan iklan (politik).

Demikian pentingnya peran iklan politik dalam ‘’bisnis parpol’’ sehingga salah satu parameter bonafiditas parpol terletak pada seberapa banyak dana yang digelontorkan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan politik merupakan jendela kamar dari sebuah parpol. Ia sanggup menghubungkan parpol dengan masyarakat. Khususnya calon pemilih.

Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa iklan politik tersebut sebaiknya disampaikan.

Berdasarkan terminologi iklan politik, maka pucuk pimpinan parpol, elit politik, pejabat maupun mantan pejabat publik, LSM, agamawan, saudagar, eksekutif, intelektual, dan kaum cerdik pandai berlomba-lomba mengemas dirinya sebagai representasi parpol lewat iklan politik.

Dengan modal milyaran rupiah dari kocek pribadi atau sponsor, mereka minta bantuan biro iklan dan konsultan komunikasi untuk tampil ‘’memesona’’ dalam kemasan iklan politik. Mereka pun menyewa kapling iklan media massa cetak dan elektronik guna menayangkan program pencitraan politik yang elegan. Mereka membungkus dirinya lewat bahasa yang santun, menawarkan gagasan mengatasi persoalan bangsa yang carut marut. Mereka secara egaliter mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu agar Indonesia menjadi lebih baik. Mereka mengajak masyarakat untuk tidak melupakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka mengajak masyarakat agar mencintai, membeli, dan mengonsumsi produk-produk anak negeri.

Bersifat Paritas

Sayangnya, iklan parpol yang gentayangan di media massa cetak dan elektronik lebih mengedepankan konsep hard sell. Mereka sangat menyukai konsep semacam ini. Karena dianggapnya mujarab mendongkrak popularitas seluruh elemen parpol. Kemudian muncullah kemasan iklan politik yang menawarkan janji surga. Iklan tersebut lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas. Alias sama sebangun. Setiap kali melihat kemasan iklan politik di berbagai media massa cetak dan elektronik, sang tokoh selalu dicitrakan berpendidikan tinggi, religius, santun, murah senyum, dan ramah. Sang tokoh laksana malaikat pembawa warta gembira penuh kedamaian dan kebijaksanaan. Sang tokoh bagaikan sinterklas yang membagi-bagikan hadiah. Sang tokoh seperti Superman yang senantiasa menolong si lemah dan si miskin. Sang tokoh menjelma pahlawan pembela kebenaran.

Dalam kemasan tayangan iklan politik, sang tokoh selalu terlihat merakyat. Blusukan ke pasar tradisional dan pemukiman kumuh di pinggiran kota. Menyapa wong cilik penuh kehangatan. Berbaur dengan masyarakat pedesaan dan warga miskin. Di sana digambarkan, sang tokoh bersama pengiringnya ikut merasakan denyut kehidupan yang sangat minimalis. Pada sekuen lain, sang tokoh berdiri di depan klas sebuah SD. Ia terlihat menjelaskan perihal arti pentingnya sebuah pendidikan. Katanya, ‘’hanya lewat pendidikan, bangsa ini akan maju dan berwibawa dipergaulan tingkat dunia’’. Tetapi, benarkah demikian adanya?

Pemunculan tokoh politik nasional lewat iklan parpol di media massa cetak dan elektronik, dinilai oleh parapihak banyak menyampaikan janji kosong. Sebuah janji surga yang sejujurnya sulit untuk diejawantahkan.

Dalam konteks ini, upaya tebar pesona parpol berikut elit politik lebih mengonsentrasikan kemasan luar dari pada isinya. Artinya, kemasan tebar pesona dalam bentuk iklan politik, justru semakin memperlebar tingkat kesenjangan antara kemasan dengan isinya. Antara tokoh politik, parpol, dengan masyarakat calon pemilih.

Semangat Narsisme

Selain lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas, ternyata iklan politik Pemilu 2009 juga mengandalkan semangat narsisme. Sebuah semangat yang mensyaratkan kecintaan pada diri sendiri. Untuk itu, agar kecintaan pada diri sendiri mendapatkan permaklumannya, banyak di antara mereka menebarkan jaring pesona kepada siapapun. Mereka itu adalah para politikus dan calon legislatif yang mengampanyekan dirinya lewat rumusan konsep narsisme.

Semangat narsisme yang didedahkan lewat senyuman para caleg, realitas visualnya telah menohok mata kita. Mereka sejatinya sedang ‘’mengadu nasib’’ menjadi sekelompok manusia terhormat. Mereka sedang mengupayakan dirinya menjadi anggota dewan yang dihormati. Jika ikhtiarnya terkabul, mereka akan mengemban tugas mewakili rakyat. Sebuah amanah yang harus dijalankan dengan baik dan benar, agar rakyat yang diwakilinya mendapatkan kemakmuran lahir batin. Terjamin harkat dan martabat kemanusiaanya di bumi Indonesia tercinta ini.

Untuk itu, beragam media iklan diberdayakan guna memuluskan strategi pencitraan diri. Tampilan visual foto diri yang masif dan kaku kemudian direproduksi ke dalam citraan iklan televisi, radio, internet, koran dan majalah. Bentangan kain spanduk, umbul-umbul, rontek, baliho dan billboard pun tak ketinggalkan ditancapkan di sepanjang ruas jalan raya demi memperluas polarisasi semangat narsisme agar dikenal khalayak luas.

Pada titik ini, para politikus yang nyaleg sedang menjalankan aktivitas ‘’tepe-tepe’’ alias tebar pesona. Mereka ditengarai menebarkan sampah visual politik dan mengarah pada perilaku kekerasan visual. Mereka cenderung merampas ruang publik. Sebuah area terbuka bagi warga masyarakat untuk reriungan bersama-sama. Modusnya, tim sukses para caleg menancapkan dan memasang sebanyak mungkin media luar ruang. Mengabaikan ergonomi pemasangan media luar ruang yang artistik, komunikatif dan persuasif. Akibatnya, mereka dinilai tidak mengindahkan dogma dekorasi grafis kota yang hakikatnya mengedepankan estetika kota ramah lingkungan.

Semangat narsisme yang sedang dikumandangkan para caleg ini, secara visual gampang ditengarai. Penandanya, jika setiap kali berkendaraan di sepanjang kota, mata kita dipaksa melihat tebaran senyuman caleg yang mengaku dirinya berpendidikan tinggi, berwibawa, santun, dan agamis. Mereka mendandani dirinya sedemikian rupa dan senantiasa menyapa pengguna jalan dengan slogan yang persuasif: ‘’berjuang untuk rakyat’’, ‘’hidup adalah perbuatan’’, ‘’iklas berjuang dan iklas beramal’’, ‘’nasionalis kerakyatan’’, ‘’rakyat berkuasa’’, ‘’satukan umat, makmurkan bangsa’’, ‘’bangkit negeriku, harapan itu masih ada’’, ‘’bersemangatlah mengisi hari-harimu dengan tetap berkarya nyata’’, ‘’membangun masyarakat aman, damai, adil, demokratis’’, ‘’bangkit bersama membangun negeri’’, dan lainnya.

Penanda narsisme lainnya yang sangat narsis, dapat terlihat di depan dan belakang nama orang yang mendadak nyaleg. Di sana, dituliskan dua atau tiga huruf singkatan gelar akademis. Mereka haqqulyakin, gelar akademis S1, magister ataupun doktor menjadi aksesoris diri yang diharapkan mampu mendongkak daya tarik aura fisiknya, di hadapan publik calon pemilih. Mereka menempuh jalan semacam itu, sebab gelar akademis sampai detik ini masih dipercayai mampu merepresentasikan kesuksesan pendidikan formal. Bahkan lewat gelar akademis, sebagian orang menganggap dirinya sebagai bangsawan modern.

Pertanyaannya, dengan menyantumkan deretan gelar akademik di depan ataupun belakang nama caleg, apakah itu menjadi indikator tingginya kadar intelektualitas yang bersangkutan? Adalah relevansi capaian gelar akademis dengan peluang dipilih sebagai anggota dewan?

Atas pertanyaan itu, banyak pihak meragukannya. Mereka beranggapan, caleg yang menerapkan strategi narsisme dengan memasang gerbong gelar akademis, dipandang belum memiliki jam terbang yang memadai dalam ranah politik. Pendeknya, caleg sim salabim ini, nilai rapot politiknya masih bertinta merah. Belum memiliki prestasi politik yang membanggakan masyarakat. Sebab menjadi seorang politikus atau kader partai harus sudah teruji ruang dan waktu. Selain itu, mereka yang akan nyaleg mesti berani nggetih. Artinya memiliki kemampuan yang brilian dalam memahami berbagai isu yang muncul di tataran akar rumput. Tangkas menyusun pemecahan masalah atas isu yang berkembang di daerah yang diwakilinya.

Jika semangat narsisme masih menyelimuti sanubari caleg, maka jagat percalegan ditengarai mengalami masa paceklik. Mengapa? Karena ladang Pemilu 2009 tidak mampu membuahkan panen raya anggota legislatif yang mumpuni. Dengan demikian, pelan namun pasti, kekhawatiran lembaga legislatif tidak serius memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyat bukanlah sebuah fatamorgana.

Pada akhirnya, rakyat pun hanya mampu bergumam, ‘’Kami membutuhkan wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang senantiasa mengedepankan komitmen dan loyalitas pada kepentingan rakyat. Bukan wakil rakyat atau pemimpin bangsa yang instan dan suka bersolek!’’

Moralitas dan Kejujuran

Atas dasar pengalaman komprehensif semacam itu, rakyat cenderung hati-hati. Rakyat semakin permana dalam menentukan siapa yang layak memimpin negeri dengan sebutan jamrud katulistiwa ini. Kehati-hatian semacam itu lebih didasari pada fakta sejarah. Selama ini, para pemimpin bangsa yang diberi kepercayaan rakyat untuk mengelola Republik tercinta ini, lebih dikenal lewat tampilan kemasannya saja. Karena senantiasa mendewakan kemasan visualnya saja, akibatnya, para pemimpin bangsa dan pejabat publik lebih banyak bekerja dengan mengatur siasat dan beradu strategi demi merebut kekuasaan. Dengan label penguasa, mereka dipastikan memiliki hak mengelola bangsa dan negara ini. Lewat predikat penguasa, mereka mempunyai hak dan merasa paling mampu serta paling benar untuk mengatur bangsa dan negara ini. Dengan sebutan penguasa, mereka dapat memproyeksikan dirinya beserta pengikutnya untuk senantiasa menikmati kesejahteraan lahir batin.

Dalam alam reformasi seperti sekarang ini, masyarakat secara terbuka tidak akan terpengaruh oleh janji tokoh politik yang manis di mulut, namun pahit dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mau bagian dari kehidupannya diganggu oleh janji gombal yang disuarakan partai politik yang senang berburu kekuasaan.

Untuk itulah, dengan mengedepankan moralitas, menjunjung tinggi kejujuran, dan berpolatindak pada kearifan lokal. Kita percaya, masih banyak partai politik, dan tokoh politik yang layak mendapatkan amanat rakyat menjadi pemimpin bangsa. Dengan menempuh jalan yang baik dan benar serta bermartabat, masih banyak negarawan pengayom masyarakat, yang rela mengabdikan diri, guna mewujudkan nurani keadilan dan rasa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lewat kerjasama dan komunikasi dialogis secara egaliter antar parapihak, diyakini mampu memunculkan dan memelihara kehidupan ini dengan nyaman, aman, tenteram, adil, dan sejahtera. Dengan demikian keadaan Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bukan hanya sekadar impian di siang bolong. Tetapi kasunyatan hakiki!

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/)
Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa, dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

•••

Minggu, 05 Oktober 2008

Kapan Kembali Ke Jogja?

Sumbo Tinarbuko


Judul tertera di atas meminjam tagline kampanye promosi saudagar kaos kreatif PT. Aseli Dagadu Djokdja. Slogan berbentuk ajakan santun itu, didasari dari kearifan lokal dan sifat ramah warga Yogyakarta saat mengantarkan sahabat atau kerabatnya berpamitan pulang meninggalkan Yogyakarta. ‘’Kapan kembali lagi? Saya tunggu kedatangannya, lho! Hati-hati di jalan ya...’’, ujarnya sembari melambaikan tangan.

Sapaan hangat Kapan Kembali ke Jogja (KKJ), semangatnya dapat dimanfaatkan untuk menggugah adrenalin kangen seseorang. Keberadaannya mampu menggoyang kerinduan seseorang atau sekelompak orang, agar setia mengunjungi Yogyakarta. Harus diakui, Yogyakarta bagi alumnusnya (orang yang pernah tinggal di Yogyakarta), menyembulkan getaran romantisme tiada tara. Apalagi saat liburan Lebaran seperti sekarang ini, romantisme Malioboro dan pasar Beringharjo selalu mengusik sanubari para alumnus Yogyakarta untuk mengunjunginya. Bagi mereka, rasanya kurang afdol, jika mudik ke Yogyakarta tidak menyusuri Malioboro dan pasar Beringharjo.

Masalahnya kenapa Yogyakarta begitu ngangeni? Kenapa pula orang-orang yang pernah bermukim atau berkunjung ke Yogyakarta ingin kembali lagi ke sini?

Survey memaparkan, kota yang dibangun Dinasti Mataram ini, selain nyaman, secara geografis daerahnya kaya akan representasi objek wisata. Magnet pariwisata tersebut menyebarkan auranya di sudut ruang dan waktu kota Yogyakarta. Di antaranya objek wisata religiusitas keagamaan, ziarah kubur, pendidikan, konferensi, sejarah, belanja, dan kuliner tradisional. Di samping itu: wisata alam, pantai, serta wisata minat khusus, tidak pernah sepi dikunjungi pelancong dari berbagai pelosok dunia.

Tawaran mengunjungi objek wisata yang dikemas dalam sapaan KKJ ini layak dikedepankan. Hal itu menjadi penting, mengingat sektor pariwisata menjadi salah satu andalan objek pendapatan finansial pemerintah daerah. Di dalamnya juga termaktub industri kreatif yang menjadi soko guru industri pariwisata.

Senyampang mengedepankan sapaan romantis KKJ, tidak ada salahnya dilakukan evaluasi diri terkait kondisi fisik penyajian objek wisata tersebut. Bagaimana keberadaan visual objek wisata tersebut? Kumuh, kotor penuh coretan grafiti liar? Ala kadarnya? Atau bersih, unik, dan ngangeni? Bagaimana pula dengan pola pelayanan dan citra kenyamanan yang didedikasikan kepada para wisatawan?

Terkait dengan sapaan romantis KKJ, hal yang paling mendesak dilaksanakan adalah mempersiapkan, menata, dan mendidik SDM pelaku pariwisata, pejabat publik, dan masyarakat luas. Semuanya perlu dilakukan agar mereka memiliki kesadaran akan pentingnya dunia pariwisata. Langkah konkretnya dengan mengedepankan aspek handarbeni dan nguri-uri aset objek wisata yang ada sesuai jaman yang melingkupinya.

Hal lain agar sapaan romantis KKJ dapat segera diejawantahkan. Salah satunya dengan memberikan jaminan kepada wisatawan untuk mendapatkan banyak kemudahan. Antara lain, kemudahan dalam hal sirkulasi keluar-masuk objek wisata. Rasa aman, nyaman, serta dijamin dapat menemukan suasana rekreatif khas Yogyakarta.

Untuk itu, secara profesional tidak ada salahnya melakukan pemetaan ulang atas objek wisata tersebut. Rute pertama, misalnya, membujurkan objek wisata pendidikan dan konferensi, wisata kuliner sajian beragam jenis makanan khas Yogyakarta dan sekitarnya. Selanjutnya, wisata belanja di sepanjang jalan Solo, Malioboro, pasar Beringharjo, pasar Ngasem, dan pasar klithikan Kuncen.

Berikutnya boleh juga dirangkai dengan wisata heritage. Terdiri dari bangunan peninggalan arsitek Portugis dan Belanda. Di antaranya: Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman, lengkap dengan Tamansari dan Alun-alunnya. Ndalem pangeran di sekitar Jeron Beteng. Museum Sonobuyo, museum kereta kuda, dan arsitektur Masjid Agung yang unik dan indah. Selain itu juga bangunan heritage peninggalan Belanda seperti: Gedung Agung, Societet, Beteng Vredenburg, Kantor Pos, Bank Indonesia, Bank BNI, Ngejaman.

Serta wisata senirupa, seni pertunjukan tradisional dan kontempoter dilengkapi museum, galeri, ruang pamer, gedung pertunjukkan dengan dukungan kreativitas seniman yang berjibun jumlahnya.

Rute dua, wisata sejarah, dan wisata religius. Semuanya itu bisa didapatkan di daerah Kotagede dan sekitarnya. Di sana terdapat berbagai bangunan kuno dan makam leluhur peninggalan kerajaan Mataram pertama. Cenderamata perak dan kuningan. Pasar, makanan, kesenian, dan kendaraan tradisional tanpa mesin. Dapat pula ditambahkan kebun binatang Gembiraloka dengan koleksi lengkap berbagai binatang dan tumbuhan langka.

Konsepsi pemetaan visual objek wisata seperti ini menjadi sangat berharga bagi para wisatawan. Hal itu tentunya akan memudahkan para pelancong untuk mengunjungi berbagai objek wisata, sesampainya mereka turun dari kereta api, pesawat terbang, bus pariwisata, atau kendaraan pribadi.

Selain melakukan penataan rute perjalanan wisata yang nyaman. Perlu dirancang moda transportasi bermotor ataupun kendaraan tidak bermesin untuk mengangkut wisatawan mengelilingi objek wisata Yogyakarta. Menyediakan lahan parkir yang tertata rapi. Membunuh premanisme dan kriminalitas. Membasmi juru parkir nakal yang melipatgandakan bea parkir kendaraan roda dua ataupun mobil. Menata PKL sesuai dengan peruntukan trotoar dan tidak terlambat membersihkan sampah yang ditinggalkan para pelancong.

Menumbuhkan hutan dan taman kota yang asri. Menempatkan beragam bentuk street furniture di ruang publik sebagai wahana melepas lelah. Memasang patung-patung artistik sebagai representasi kota pariwisata berbasis budaya. Semuanya dapat menimbulkan kesan kota yang berbudaya, indah, bersih, nyaman, dan ngangeni.

Romantisme semacam itu sangat didambakan wisatawan. Mereka mendapatkan pengalaman dan kenangan khusus ketika melancong ke Yogyakarta. Para alumni Yogyakarta pun tanpa sungkan-sungkan menjawab sapaan romantis KKJ, ‘’Pada liburan yang akan datang, kami pasti kembali lagi ke Yogyakarta’’.

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

DiskomFest #3 DKV FSR ISI Yogyakarta: “Ring of Fire”





DISKOMFEST merupakan acara rutin dua tahunan yang diselenggarakan oleh mahasiswa Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Pada dasarnya acara ini merupakan pesta untuk merayakan kreativitas bagi para insan DKV. Pesta yang berupa Pameran karya, Seminar, Creative Sharing, dan entertainment lainnya. Pertama kali diselenggarakan pada September 2004 bertempat di Benteng Vredeburg Yogyakarta, mengusung tema Study Hard Play Hard. Kemudian disusul DISKOMFEST #2: Challenging Heroes di tempat yang sama dua tahun kemudian.

Dan tahun ini perhelatan tersebut kembali digelar. Mengusung tema Ring of Fire, yang merupakan simbol semangat tanpa batas bagi kawula DKV di tanah air dalam berkarya. Diselenggarakan di Jogja National Museum yang merupakan bekas gedung ASRI, STSRI “ASRI”, dan FSRD ISI Yogyakarta sebelum pindah ke kampus terpadu di Sewon.

DISKOMFEST #3 kali ini selain mengadakan Pameran, Seminar Tipografi dengan pembicara Bpk Danton Sihombing dan Gigih Budi Abadi, juga menghelat Award Majalah SMA untuk wilayah Jogja. Yang kemudian semua peserta award tersebut mendapatkan workshop digital magazine oleh Jogja Force, dan workshop komik oleh Beng Rahadian dan Ismail “Sukribo”.

DISKOMFEST merupakan pesta dari, oleh, dan untuk insan DKV di Indonesia. Untuk itu kami menunggu partisipasinya dari seluruh kawula DKV di Nusantara untuk turut serta menyemarakkan acara ini.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

RING OF FIRE

Setelah bumi yang kita rasakan semakin panas ini mengelilingi matahari kira-kira dua kali putaran, DISKOMFEST hadir kembali untuk merayakan pesta kegelisahan yang kami rasakan dua tahun terakhir. Kegelisahan yang kami rasakan dalam melewati bulan demi bulan, hari demi hari, jam demi jam kami sebagai insan komunikasi visual di Indonesia. Kegelisahan yang kami tumpahkan sebagian (sebagian tetap kami simpan dalam hati) dalam perhelatan DISKOMFEST yang kali ini sudah ketiga kalinya diselenggarakan.

Dalam perhelatan DISKOMFEST #3 kali ini mengusung tajuk RING OF FIRE (lingkaran api). Lingkaran di sini berarti sesuatu yang tanpa titik awal dan titik akhir, sesuatu yang tak pernah berhenti, selalu bergerak, dinamis dan tak berbatas. Sedangkan api melambangkan semangat yang selalu berkobar. Jadi RING OF FIRE kurang lebih berarti “Semangat yang berkobar tanpa henti”, tentu dalam hal ini adalah semangat insan kreatif DKV dalam berkarya, dan dalam membangun dunia per-DKV-an di tanah air.

Lingkaran api sendiri merupakan elemen yang sangat khas dari pertunjukan Sirkus. Biasa digunakan dalam atraksi dengan singa yang melompati lingkaran api. Dalam pandangan kami, Sirkus mempunyai persamaan dengan DKV. Seperti yang kita tahu, Sirkus, dalam satu tenda besar mempertunjukkan beragam jenis orang dengan beragam keahlian pula yang membuat kita terkagum-kagum. Pertunjukan Sirkus merupakan rangkaian penampilan orang-orang aneh yang memiliki ketrampilan aneh pula yang jarang dimiliki orang awam. Begitu juga dalam satu tenda DKV terdapat berbagai macam orang aneh dengan beragam keahlian pula.

Perkembangan jaman menuntut dunia DKV untuk terus berkembang mengikutinya yang selanjutnya juga menuntut kita untuk selalu waspada terhadap perkembangannya, karena jika kita hanya diam di tempat maka dunia DKV akan jauh meninggalkan kita. Waspada agar kita tidak menelan mentah semua perkembangan jaman, tapi paling tidak kita tetap mempunyai sikap tehadap perkembangan jaman, ibarat pepatah Jawa: ngeli tapi ora keli (mengikuti perkembangan arus tetapi tidak terbawa arus). Memiliki sikap berarti juga kita mampu menempatkan diri dengan benar sebagai insan DKV di tengah-tengah masyarakat dan industri. Dengan memiliki sikap pula kita mampu menghapus stigma bahwa DKV hanya merupakan sapi perah industri dan agen dehumanisasi bagi masyarakat karena sebagian kontribusinya dalam konsumerisme.

Lingkaran perkembangan jaman yang terus berputar dengan cepat juga menuntut kita untuk terus mempertahankan sikap kita tanpa harus meninggalkan perputaran tersebut. Ring of Fire di sini juga berarti “semangat tanpa henti dalam menyikapi pekembangan jaman”. DISKOMFEST kali ini mempunyai misi untuk memberikan setitik kontribusi dalam menumbuhkan sikap bagi masyarakat DKV di tanah air dan di Jogja pada khususnya dalam menghadapi terpaan perkembangan jaman. Dan juga sebagai tanggung jawab kami sebagai bagian dari masyarakat DKV di Indonesia untuk turut serta membangun dunia DKV di tanah air. Membekali lingkaran terkecil dari diri kita untuk kemudian menuju ke lingkaran yang lebih besar. Sembari menjaga lingkaran tersebut untuk tetap utuh dan tetap menyala.

Aditya Permana
Project Leader

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

DeKaVe Penanda Jiwa Zaman
Sumbo Tinarbuko

Ketika disodori tema: ‘’Ring of Fire’’ oleh Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, muncul pertanyaan besar dalam benak saya. Apakah selama ini keberadaan DeKaVe (Desain Komunikasi Visual) tidak mampu mewarnai jiwa zamannya? Atau bahkan belum ada produk DeKaVe yang sanggup mencerahkan peradaban manusia? Pertanyaan selanjutnya, produk DeKaVe yang bagaimanakah yang mampu mencerahkan peradaban? Peradaban yang bagaimanakah yang dapat dicerahkan oleh sebuah produk DeKaVe?

Terlepas dari beberapa bertanyaan yang bergelayut dalam pikiran saya di atas, sejatinya produk DeKaVe adalah produk kebudayaan massa. Keberadaan produk DeKaVe sangat lekat dengan hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Ia tak bisa lepas dari sejarah kehidupan umat manusia. Karena ia merupakan salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup.

Desain Komunikasi Visual alias DeKaVe dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan, bersifat rasional, dan pragmatis. Jagat DeKaVe senantiasa dinamis, penuh gerak, dan perubahan. Hal itu karena jiwa zaman, peradaban manusia, dan ilmu pengetahuan modern memungkin semuanya itu terjadi. Artinya, sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, produk DeKaVe juga berhadapan pada konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi massa.

Ketika produk DeKaVe merupakan bagian dari produk kebudayaan massa, maka tugas kita sekarang adalah bagaimana caranya agar produk DeKaVe bisa berfungsi sebagai penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern.

Ciri sebuah produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern: pertama, produk DeKaVe mampu tampil secara atraktif, komunikatif, dan persuasif. Kedua, produk DeKaVe harus dapat mencerdaskan masyarakat terkait dengan pesan verbal dan pesan visual yang ingin disampaikan. Ketiga, keberadaannya bisa diterima secara iklas oleh masyarakat luas. Keempat, mengikuti perkembangan hukum adat yang berlaku, menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal.

Keempat ciri produk DeKaVe yang saya rumuskan di atas sebenarnya bagi kawan-kawan yang bergerak di industri per-DeKaVe-an bukanlah sesuatu yang baru dan sulit untuk diejawantahkan dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat yang plural dan heterogen.

Tetapi dalam konteks ini, saya ingin menegaskan, dalam rangka mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban manusia modern, seperti yang diamanatkan Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, perlu kiranya kita memberi perhatian khusus pada butir keempat: ‘’menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal’’.

Mengapa demikian? Sebab dengan menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, untuk kemudian diangkat menjadi sumber inspirasi, sebagai sumber ide dan gagasan, serta sebagai perangkat lunak untuk mengkomunikasikan beragam pesan verbal dan pesan visual yang bersifat komerisal, sosial, atau pun moral kepada sasaran khalayak yang dibidik, maka berbagai produk DeKaVe yang dihasilkan oleh tangan-tangan kreatif yang senantiasa mengedepankan kearifan budaya lokal Yogyakarta akan menjadi penanda jiwa zaman yang cukup kuat atas keberadaan sebuah produk DeKaVe yang mampu memberikan aksentuasi perikehidupan masyarakat. Ujung-ujungnya diharapkan mampu mencerahkan pemikiran dan perasaan umat manusia yang hidup dan mengisi kehidupannya sesuai dengan talenta masing-masing.

Terkait dengan upaya mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia, alangkah baiknya jika berbagai media massa cetak dan elektronik yang tersebar di seluruh pelosok DIY dan Indonesia pada umumnya, mau berbaik hati dan sedikit mengedepankan jiwa sosial demi apresiasi dan pengembangan wacana DeKaVe yang mampu mencerahkan peradaban modern di tengah karut marut persepsi masyarakat yang demikian heterogen.

Dukungan dari para pengelola media massa dan elektronik dalam konteks ini, bersedia dengan sukarela menayangkan secara periodik liputan pameran produk DeKaVe, talkshow Grafis Komunikasi, Desain Komunikasi Visual, wawancara tokoh praktisi DeKaVe, interview dengan tokoh akademisi DeKaVe dan lembaga pendidikan DeKaVe, bedah konsep produk DeKaVe dari kreator DeKaVe. Ataupun memuat dan menayangkan tulisan opini yang terkait dengan produk DeKaVe dari sejumlah penulis (pengamat, praktisi, akademisi dan mahasiswa) yang memiliki minat mengembangkan disiplin ilmu tersebut.

Sebab perkembangan praksis, wacana, dan ilmu Desain Komunikasi Visual tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari parapihak sulit dilaksanakan. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka keberadaan DeKaVe sebagai salah satu kajian studi kebudayaan juga akan jalan di tempat, alias mandeg! Jika fenomena semacam itu tidak pernah saling bertegur sapa, selanjutnya dapat ditebak akibatnya: sulit mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia.

Terima Kasih. Mugi rahayua ingkang sami pinanggih. Sampai berjumpa pada perhelatan kreatif Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, 29 Oktober 2008 – 1 November 2008.

Sumbo Tinarbuko
Kurator
(http://sumbo.wordpress.com/)
Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Ring of Fire: Creative Fest.

DISKOMFEST #3 kini hadir di Jogja National Museum. Berbagai agenda disertakan didalamnya untuk mengaktualisasi perkembangan desain, periklanan, seni dan komunikasi visual lain dalam bentuk media baru. Pameran, seminar, workshop, creative sharing, dll, merupakan respon lanjut dari kegiatan yang sama sebelumnya.

Jogja National Museum dipilih sebagai tempat penyelenggaraan diskomfest dengan pertimbangan ketersedian ruang. Selain itu, dari aspek perasaan; ada semacam creative home. Lokasi ini memiliki citra kultural dari dulu hingga kini. Sementara itu, waktu penyelenggaraan dilangsungkan dalam tempo secukupnya.

Meski masih ‘embrio’, diskomfest berada di lingkup pergerakan kreativitas desain. Kegiatan ini melibatkan ‘diskomer’ dari berbagai Pihak, baik akademik dan stakeholder kreatif dari berbagai kota. Mereka yang terlibat dalam kegiatan ini ialah individu, perusahaan dan komunitas, yang menciptakan lapangan kerja baru, menyerap tenaga kerja, dan menciptakan pasarnya sendiri. Diantaranya menciptakan usaha periklanan, ilustrasi, animasi, video klip, merchandise, desain grafis, produk, seni, clothing, dan wacana desain. Oleh sebab itu, diskomfest lebih terasa menuju festival kreativitas.

Diskomfest sadar bahwa zaman terus bergerak. DISKOMFEST kali ini diselenggarakan di konteks ekonomi kreatif. Kreativitas digencarkan menjadi sumber perekonomian. Dalam hal ini, apapun, baik barang dan jasa yang bisa dipatenkan akan menjadi ekonomi kreatif. Konteks ini mendatangi desain, menjadi penampang bagi orientasi desain ke depan untuk membentuk sumber ekonomi berbasis desain.

Fenomena ekonomi kreatif ini terkait dengan sumber unggulan kota. Bisa didapatkan dari pergerakan pelaku dan komunitas desain – yang menciptakan ceruk pasarnya sendiri. Kemampuan simbolik, dan pangsa yang dihasilkan oleh pelaku dalam diskomfest bisa dijadikan ‘perabaan’ ekonomi kreatif berbasis desain. Tentu diperlukan peta produksi, konsumsi, gaya hidup, kebutuhan identitas desain ke depannya. Kreatifitas menjadi modal untuk dikontribusikan, dipasarkan dan dikomunikasikan.

Gagasan ekonomi kreatif ini berada di lanskap persaingan global, lebih memanfaatkan persaingan antar kota. Setiap kota memiliki susunan material sendiri, formasi kreatif, dan sumber-sumber modal berbeda. Sebuah festival, misalnya diskomfest menggambarkan fenomena tersebut. Itu mengapa festival cenderung membutuhkan konsep lokalitas untuk sandaran identitas. Untuk memandang sejauh mana bentuk-bentuk pergerakan-pergerakan tersebut bisa ditandakan, juga dikembangkan variasinya menurut value-value ekonomi kreatif.

Praktik kreatif ini bisa membentuk pekerja kreatif yang menciptakan nilai pada ekonomi tanda. Metode aktualisasi bisa melalui konsep lokalitas, youth culture, identitas, dsb. Irisan-irisan semacam ini dalam praktik desain akan memperlihatkan bidang kreativitas memiliki penampakan arkeologi ketrampilan yang bervariasi.
Diskomfest merupakan pergerakan desain yang melibatkan berbagai faktor. Pada peristiwa yang berlangsung secukupnya ini, diskomfest berusaha menghubungkan faktor: generasi, komunitas, profesional, perupa, mahasiswa untuk memperluas partisipasi dan membentuk “Ring of Fire” – lingkaran kreatif. Diskomfest sebagai sirkuit bagi kreatifitas.

Sutrisno
Ko kurator pameran DiskomFest
Alumnus DKV ISI YK

•••