Minggu, 30 November 2008

Kekerasan Virtual

Sumbo Tinarbuko





Anda ingin menyaksikan dan mempelajari fenomena kekerasan virtual yang belakangan ini membahana? Atau Anda akan meniti karir sebagai orang bermasalah secara sosial budaya? Jawaban praktisnya dapat ditemukan dalam seluruh tayangan mata acara televisi.

Di ‘’layar idiot’’ ini, semua orang yang labil jiwanya, dengan serta merta akan mengadopsi kuliah kekerasan virtual itu, menjadi makanan sehari-hari dalam kehidupan. Hasil menimba ilmu kekerasan virtual di layar televisi dan media massa cetak lainnya, sangat dibutuhkan oleh manusia yang cekak kedewasaannya dalam rangka menunjukkan eksistensi negatifnya di tengah kehidupan masyarakat.

Seseorang yang sukses menempuh short course kekerasan virtual lewat ‘’layar idiot’’ adalah Sri Rumiyati (48). Yati, demikian panggilan sayangnya, tega membunuh suaminya karena sakit hati. Ia sering menerima perlakuan kasar dari sang korban. Supaya jejaknya sebagai pembunuh tidak terkuak, Yati memutilasi tubuh suaminya menjadi beberapa bagian.

Ketika tertangkap, Yati mengaku mendapatkan inspirasi memotong-motong jasad suaminya dari tayangan televisi dan berita koran. Dari media massa cetak dan elektronik tersebut, Yati mempelajari secara detail olah TKP dan rekonstruksi pembunuhan puluhan manusia tak berdosa yang dilakukan sang jagal maut: Ryan.

Dari fakta tersebut di atas dapat diasumsikan bahwa berita kriminal, kejahatan dan kerusuhan, yang ditayangkan berbagai stasiun televisi, ditulis dalam lembaran koran, tabloid, dan majalah, adalah realitas sosial yang telah dibabtis menjadi realitas media. Dalam konteks ini, realitas media yang digawangi media massa cetak dan elektronik, sejujurnya sangat patuh pada hukum simplified model. Sebuah model tayangan yang terpenggal secara sporadis dalam penyederhanaan yang hiperbolistik.

Kemudian, ketika sebuah realitas sosial telah diteguhkan dalam format realitas media, maka tayangan realitas sosial di ‘’layar idiot’’ ini mempunyai efek visual dan moral yang luar biasa dahsyat. Ia divisualkan begitu perkasa. Jantan dan heroik. Berdaya hipnotis tinggi. Ia mampu membangkitkan desakan emosi atau pun proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh setiap individu. Sifat simulasi media televisi telah mampu menyuntikkan makna yang seolah ada pada kehidupan nyata. Pesan-pesannya pun lebih hidup, dibandingkan dalam kehidupan sebenarnya. Meski realitanya hanyalah sebuah fantasi atau realitas semu semata.

Pada perbincangan ini, ternyata dosa kekerasan virtual tidak hanya didedahkan kalangan kuli flashdisc yang senantiasa mengedepankan pola jurnalistik komoditas. Sebuah perilaku buruk jurnalis komoditas yang menisbikan etika jurnalistik.

Selain itu, tayangan iklan, sinetron, dan film termasuk di dalamnya film kartun, ikut andil menjadi pendonor dosa kekerasan virtual.

Di dalam iklan misalnya, ditemukan kasus tayangan sebuah iklan yang diputar secara beruntun per 15 detik. Dalam tayangan tersebut, terdengar monotonisasi jingle iklan yang mengikuti slide show foto sebuah produk yang sedang digunakan sang model. Pada titik ini, masyarakat tidak menyadari (atau sengaja tidak mau tahu), bahwa ilustrasi visual, huruf dan tipografi, serta intonasi nada suara tertentu sedang mengekspresikan kekerasan virtual. Tayangan iklan televisi seperti itu telah membuka peluang terjadinya kekerasan virtual. Lebih jauh lagi, ditengarai mampu mengerdilkan kejiwaan masyarakat. Karena keberadaannya berpotensi mengacaubalaukan pikiran dan mental konsumen.

Hal serupa dapat kita tilik pada karya sinematografi, filmografi, animasitografi, dan kartunografi yang dibuat oknum pekerja kreatif yang berorientasi kejar tayang.

Untuk itu, dalam rangka komodifikasi mata acara televisi, mereka merancang program televisi lebih mengedepankan tontonan sesaat, tanpa mempertimbangkan aspek tuntunan. Akibatnya, karya semacam itu tidak mampu menyumbangkan nilai, norma, kreativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’. Padahal sebuah tontonan yang sekaligus mengawinkan tuntunan diyakini sangat bermanfaat bagi caracter building sebuah bangsa yang merdeka lahir dan batin.

Sementara itu, karena lebih mementingkan unsur tontonan sesaat, maka prinsip dikotomi dan oposisi binner menjadi andalan dalam menyusun program acara televisi. Seluruhnya dirancang secara parsial tanpa penghargaan atas proses panjang yang melatari fragmen-fragmen tersebut.

Akhirnya, dari sanalah sebagian besar masyarakat Indonesia mendapatkan pelajaran buruk terkait dengan budaya kekerasan. Mereka juga ‘’diajari’’ bagaimana caranya membalas dendam. Memelihara rasa dengki dan iri. Mengekspresikan kegalauan hatinya dengan sumpah serapah. Menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan dan simbol-simbol modernitas lainnya. Pendeknya, sambil dihibur, penonton Indonesia yang suka meniru, diintegrasikan dalam budaya instan nir proses. Dan cenderung konsumtif. Dampaknya, pelan namun pasti, masyarakat dengan canggih mampu mengaplikasikan contoh kekerasan virtual di televisi. Sebuah kekerasan virtual yang cenderung memaparkan cara menyelesaikan sebuah masalah secara cepat dan serampangan.

Pertanyaannya: ketika televisi mampu menyihir jutaan masyarakat Indonesia untuk menonton tayangan kekerasan virtual yang direprentasikan dalam sebentuk karya sinematografi berbentuk film, sinetron, film kartun pada siang dan malam hari, apakah ada bekas makna yang ditinggalkan dari tontonan tersebut?

*)Sumbo Tinarbuko (sumbo.wordpress.com), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

Adigang, Adigung, Adiguna

Sumbo Tinarbuko



Liputan Radar Jogja (30/11/2008) di halaman Metropolis berjudul ‘’Sibuk Pergi, Kapan Pikirkan Rakyat’’ cukup menggelitik. Di sana dituliskan, tingginya frekuensi para pejabat teras Pemprov DIY mengadakan perjalanan dinas ke luar daerah, menimbulkan beragam pertanyaan. Salah satunya terkait perhatian para pejabat itu memikirkan rakyat.

Hal senada juga terjadi pada perilaku anggota dewan yang dititahkan berkedudukan sebagai pejabat publik. Mereka ditengarai enggan memikirkan nasib rakyat yang seharusnya disejahterakan dan diayomi harkat dan martabatnya.

Faktanya, mereka justru dengan pongahnya sedang mempertontonkan pertunjukan teater dengan juluk ‘’Adigang, Adigung, Adiguna’’ di depan panggung kerumunan rakyat yang sedang mengalami kesulitan materi dan finansial. Perasaan dan hatinya terluka akibat kebijakan para pemimpin yang kurang berpihak pada pada wong cilik.

Kelompok orang terhormat itu sengaja membangun fragmentasi narasi dengan fokus utama egoisme golongan. Mereka didapuk untuk memerankan tokoh yang sengaja hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan tidak peduli dengan nasib orang yang diwakilinya.

Ceritanya dibangun dengan kehadiran para politisi yang berhasil menancapkan kukunya di kursi empuk DPR dan DPRD sambil melakukan berbagai manuver demi political survival yang bersifat individual ataupun gerakkan untuk melampiaskan ketidakpuasannya terhadap rezim kekuasaan yang sedang berkuasa.

Mereka menghayati perannya dengan serius. Di dalam batin dan pola pemikirannya telah didedahkan konstruksi profesional seorang politisi yang ‘’bertanggung jawab’’. Mereka yang ‘’beruntung’’ memerankan peran anggota dewan yang terhormat harus memiliki integritas dan sikap untuk kukuh pada pendirian. Di dalam skenario yang harus dimainkan, mereka diberi tugas untuk senantiasa bersikap keras tanpa kompromi pada pihak lain, apalagi itu diyakini sebagai seterunya. Misinya adalah mempertajam polarisasi dan membuat kemasan yang berbeda, agar terlihat unik, memiliki karakter unique selling preposition di mata para penontonnya. Semakin banyak masalah yang muncul akan semakin menarik diperdebatkan dan memiliki kandungan nilai tantangan yang cukup tinggi.

Menyimak cerita buruk yang diberi kop ‘’Adigang, Adigung, Adiguna’’ dalam kemasan tontonan teater yang diperankan oleh para anggota dewan yang terhormat dapat diasumsikan: ternyata, para anggota dewan yang terhormat itu adalah sekumpulan pakar (‘’pandai membuat sukar’’) politisi yang kinerjanya lebih mengutamakan bagaimana caranya membuat sukar untuk sebuah permasalahan (simak perdebatan RUU yang kontroversial) cukup sederhana dan tidak prinsipial bagi khalayak luas.

Manakala keadaan seperti itu senantiasa dibangun, dihidupkan, dilestarikan dan dibuatkan berita acaranya agar memiliki kandungan hukum dengan azas legalitas formal, maka nasib bangsa dan negara ini akan senantiasa diduakan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana bangsa dan negara ini akan dibangun agar segera keluar dari keterpurukan dengan baik sesuai zamannya jika pengelola dan pimpinan negara tidak menunjukkan integritasnya secara positif dan proaktif.

Realita yang muncul, ternyata mereka masih bergerak pada wilayah perut. Para anggota dewan senantiasa mengedepankan libido lapar dan haus kekuasaan. Dalam pikirannya senantiasa dipositioningkan berbagai upaya agar mereka mampu memuaskan rasa lapar dan dahaga kekuasaan. Modus operandinya, dengan memperebutkan jabatan yang diyakini akan menenangkan gejolak hasrat perut yang kelaparan.

Para anggota dewan akhirnya lebih banyak bekerja dengan mengatur siasat dan beradu strategi demi merebut kekuasaan. Hal itu semakin terlihat tabiatnya menjelang Pemilu 2009. Apalagi dengan label penguasa maka mereka dipastikan memiliki hak mengelola bangsa dan negara ini. Dengan predikat penguasa maka mereka mempunyai hak dan merasa paling mampu serta paling benar untuk mengatur bangsa dan negara ini.

Atas dasar itulah, para anggota dewan yang terhormat mengaplikasikan konsep kekuasaan adigang, adigung, adiguna dengan tata struktur yang rapi. Pengejawantahannya, mereka mengedepankan sikap arogan karena merasa paling baik, maka muncullah sikap egoisme, egosentris, egoelitisme, dan egogolongan. Ketika sikap hidup sebagai makhluk individual yang lebih ditonjolkan, maka tidak akan pernah ada jalan tengah untuk bisa mengakhiri konflik egoisme prinsip yang tidak berprinsip di dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal kita semua sebagai rakyat kecil mengharapkan keberadaan, pemikiran, dan pola tindak para wakil rakyat yang menjadi anggota dewan bisa menjadi panutan, teladan, semangat, inspirasi dan payung yang mampu memayu hayuning bawana alias memayungi khalayak luas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

*)Sumbo Tinarbuko (sumbo.wordpress.com), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta

Senin, 24 November 2008

Iklan Politik dan Pencitraan Politik

Beriklan besar-besaran dengan biaya mahal mampu mendongkrak popularitas. Namun, popularitas tidak terlalu memengaruhi elektabilitas. Bagi pemilih, hal yang lebih penting adalah kerja nyata, bukan tampang, citra, apalagi sekadar nama tenar. Iklan politik, apa pun bentuknya, hanyalah upaya memperkenalkan diri kepada publik.

Demikian rangkuman dari acara Bincang Kompas bertema Pencitraan Politik melalui Iklan Politik di Media Massa, Rabu (29/10/2008) di Kafe Delima, Hotel Santika Premiere, Semarang, Jawa Tengah.

Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta Sumbo Tinarbuko menilai, mereka yang beriklan politik lebih mengedepankan wajah. Wajah mereka menjadi komoditas yang dijual layaknya seorang artis. Lebih parah lagi, mereka tidak menyebutkan apa saja yang sudah mereka kerjakan, melainkan mengumbar janji surga.

"Iklan politik dengan memajang wajah mengindikasikan si pengiklan tidak merakyat. Mereka tidak mengutamakan ideologi. Mereka malah bak seorang peserta kontes idol. Bukan ideologi, hanya idologi," katanya.

Sumbo menegaskan, jika seseorang terjun ke politik dan ingin dikenal publiknya, dia harus mau kerja keras. Hasil kerja kerasnya itulah yang akan mengangkat namanya kelak. Tentu saja kerja keras itu bukan dalam hitungan bulan atau setahun sebelum pemilihan umum. Mereka sudah harus mulai bekerja sejak sekarang untuk pemilu 10 tahun mendatang.

"Cara promosi paling efektif adalah dari mulut ke mulut. Beriklan itu penting karena beriklan sama dengan berinvestasi. Beriklan itu tidak sama dengan cara kerja petani yang menanam padi lantas 3-4 bulan kemudian panen. Beriklan terutama iklan politik seperti menanam pohon jati. Lama dan perlu dirawat," ujar Sumbo.

Kamis, 13 November 2008

Popularitas vs Elektabilitas

Sumbo Tinarbuko



Pengumuman calon tetap anggota dewan yang terhormat sudah dibiwarakan ke seluruh pelosok Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertanggung jawab atas perhelatan klasik lima tahunan ini, sudah memasang nama dan pas foto mereka di berbagai media massa.

Setelah KPU mengumandangkan nama dan foto diri calon legislatif, dapat dipastikan sejumlah halaman surat kabar dan layar televisi dipenuhi iklan politik. Para caleg pun diyakini akan memasang banner dan pernak-pernik media reklame luar ruang lainnya, di sepanjang jalan yang dianggap strategis. Tujuannya jelas: memperkenalkan dirinya kehadapan calon pemilih. Kalau rating popularitasnya sudah tinggi, harapannya jumlah perolehan suaranya menjulang.

Kenapa harus memperkenalkan diri? Apakah selama ini tidak dikenal? Tentu saja! Sampai dengan mereka nyaleg, para caleg yang terhormat tidak pernah dekat dengan rakyatnya. Jalan pintasnya, iklan politik kemudian dimitoskan sebagai cara instan untuk memperkenalkan diri pada rakyat.

Yang terjadi kemudian, praktik politik narsisme mewarnai kemasan iklan politik. Celakanya, konsep komunikasi visual yang ditawarkan kepada calon pemilih sangat paritas dan hardsell sekali. Kebanyakan iklan politik menonjolkan visualisasi kesuksesan para caleg dari sudut pandang status sosial ekonomi, pendidikan formal, dan moralitas yang tinggi sebagai penanda kualitas kesalehan. Tidak hanya berhenti sampai di situ, dalam iklan politik yang dibuatnya, para caleg seolah-olah memiliki perhatian dan empati besar pada masyarakat kecil.

Siasat semacam itu sengaja dipilih, karena dianggapnya mujarab. Dinilai sanggup mendongkrak popularitas dirinya dan seluruh elemen parpol yang mendukungnya. Terhadap keyakinan seperti itu, coba simaklah testimoni mereka, ‘’Kalo nggak mbuat iklan yang narsis jadinya nggak trendi. Kalo nggak narsis, kita juga sulit dikenal!’’.

Tampilan iklan politik sejenis itu, sudah menjadi rahasia umum. Diyakini mampu memperkenalkan dirinya di hadapan rakyat. Apalagi dalam Pemilu 2009 ini, para caleg dan politikus terbuai euphoria pemilihan langsung. Mereka merasakan dirinya bagaikan kaum selebritas yang ganteng, gagah, cantik, cerdas, santun, agamis, dan berbagai keunggulan lain. Dalam pikirannya, dengan memasang wajah mereka sebanyak mungkin, para pemilih akan tertarik menyoblos nomor urut dan nama mereka dalam Pemilu 2009 mendatang.

Kemudian oleh beberapa kalangan, semuanya itu dianggap wajar dan sangat manusiawi. Kok bisa? Ya, karena karakteristik iklan politik memang didedikasikan untuk memunculkan citra diri para caleg sesempurna mungkin. Secara teoretis, iklan politik diposisikan sebagai media penyampai pesan verbal visual dari para caleg kepada calon pemilih. Selanjutnya, khalayak calon pemilih secara subjektif akan menyaring dan menyeleksi informasi yang ada. Pola penyaringan dan penyeleksian informasi disesuaikan dengan sistem kognisi dan ideologinya masing-masing.

Meski dianggap wajar, sayangnya, iklan politik yang bermunculan belakangan ini, lebih mementingkan aspek hura-hura dalam merayakan pencalegkan para caleg. Mereka bermain-main dengan janji kosong. Sebuah janji surga yang terkesan merakyat. Namun sejujurnya sulit diejawantahkan.

Pada titik ini, para pengiklan dan pembuat iklan politik menisbikan unsur informasi sebagai layanan komunikasi politik yang paling krusial. Mereka dalam kiprahnya melupakan muatan pengetahuan komprehensif, terkait visi dan misi para caleg, atau partai politik yang memajukan dirinya menjadi wakil rakyat.

Kesalahkaprahan perencanaan dan perancangan iklan politik semacam ini terjadi, karena mereka lebih menonjolkan aspek popularitas sang kandidat, caleg, atau ketua partai politik. Mereka melupakan aspek elektablitas (dipilih) yang sebenarnya menjadi hal penting dalam perhelatan Pemilu 2009.

Sejarah mencatat, banyak politikus, caleg, atau ketua parpol mengejar popularitas lewat iklan politik, namun realitas lapangan menunjukkan kebalikannya. Mereka secara kasatmata populer di hadapan publik calon pemilih, tapi kenyataannya, aspek elektabilitasnya justru rendah. Dengan demikian, popularitas caleg yang didongkrak lewat guyuran iklan politik, faktanya tidak dengan serta merta dipilih rakyat. Sebab caleg atau calon pemimpin bangsa tidak cukup bermodalkan popularitas. Mereka harus memiliki pengalaman lapangan yang sudah teruji ruang dan waktu. Rakyat pun perlu diyakinkan dengan pengabdian tulus lewat sebuah berkarya nyata yang konkret.

Pendeknya kualitas ‘’merek’’ sang caleg jauh lebih penting dari pada sekadar gembar gembor promosi tong kosong nyaring bunyinya. Sebab kualitas ‘’merek’’ sang caleg yang ‘’kuat sinyalnya’’, dapat dibuktikan lewat segepok karya nyata yang bermanfaat bagi siapa pun. Keberadaannya sudah teruji oleh ruang dan waktu. Hasilnya lebih migunani tumramping liyan.

Hal ini menjadi penting, karena sejatinya, merek pribadi sang caleg dan kualitas diri calon pemimpin bangsa lebih ditentukan oleh keselarasan mengelola nalar rasa dan nalar pikir, yang didedikasikan secara tulus kepada bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta.

Semoga masyarakat dapat memilih pemimpin sejati, seorang pemimpin bangsa yang elektabilitas dan popularitas dalam satu rentang garis lurus. Pemimpin bangsa yang mengedepankan moralitas, kejujuran, dan setiap kebijakannya senantiasa berpihak pada rakyat yang diayomi. Bukan pemimpin bangsa yang menggadaikan harga dirinya dengan berburu momentum lima tahunan untuk sebuah kekuasaan.

*)Sumbo Tinarbuko (sumbo.wordpress.com), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.