Rabu, 25 Februari 2009

Malioboro Oh Malioboro

Sumbo Tinarbuko




Judul anggitan di atas meminjam judul kolom ‘’SMS Aja’’ Radar Jogja (22/2/2009) yang dikirim nomor HP 62817463xxx. Di sana dituliskan ‘’Malioboro oh Malioboro, sungguh memprihatinkan jalan-jalan di Malioboro, bekas bungkus nasi dll, kencing kuda, bikin kumuh, jijik bila dipandang, mohon pihak pemda yg berwenang untk menatanya, terima kasih.’’

Sementara itu, Radar Jogja (20/2/2009) membuat liputan berjuluk ‘’Malioboro (Mulai) Turun Klas. Jika Dibiarkan Tak Menarik Lagi’’. Dalam liputan itu dituliskan: ‘’Kawasan Malioboro yang menjadi ikon Kota Jogja saat ini dinilai turun klas. Kawasan legendaris ini akan semakin tidak menarik lagi jika sejak sekarang tidak mulai ditata kembali ...’’

Kesan seperti kiriman uneg-uneg ‘’SMS Aja’’ dari nomor HP 62817463xxx dan liputan Radar Jogja di atas segera menyeruak di dalam benak kita manakala memasuki poros Malioboro. Sebuah kawasan yang menjadi trademark dan ikon kota Yogyakarta. Bayangan tersebut di atas mencapai puncaknya ketika liburan panjang menjelang. Atau minimalnya, setiap Jum’at sore, Sabtu, hingga hari Minggu malam.

Nostalgia Romantisme Malioboro

Para konsumen dan produsen Malioboro itu ‘’menjajah’’ tubuh Malioboro dengan beberapa aktivitas klasik. Mereka di antaranya bernostalgia mengenang romantisme Malioboro di masa lalu. Atau mereka ingin melihat Malioboro seutuhnya sebagai sebuah kawasan wisata belanja khas Yogyakarta. Di sela-sela menikmati Malioboro dari berbagai sudut pandang, para konsumen itu biasanya jalan-jalan sambil jajan dan belanja.

Mereka menyusuri jalan panjang nan lurus mulai dari rel keretapi Stasiun Tugu sampai Alun-Alun Utara Kraton Ngajogjakarta Hadiningrat. Di sepanjang jalan kenangan Malioboro tersebut banyak dijumpai pedagang kakilima. Di sebelah Barat atau kanan jalan (dilihat dari sisi Utara) berjajaran pedagang cenderamata, mulai dari daster batik, berbagai kaos, oblong, bandana, celana gombrong, blangkon, surjan, sandal kulit, ikat pinggang, hiasan dinding, pernak pernik perhiasan imitasi, sampai kerajinan tangan dari perak.

Sedang di sisi Timur bertebaran pedagang lesehan, warung maupun angkringan. Antara lain tersaji makanan lesehan gudeg, sambel goreng, burung dara goreng, ayam goring, bakso, mie ayam, mie jawa, wedang ronde, wedang bajigur, es campur, es dawet, es buah, salak pondoh, geplak, bakpia, welut goreng, peyek welut.

Pada aktivitas jalan-jalan ini, para konsumen Malioboro biasanya orang sukses, dan orang kaya yang ingin membeli kenangan lama Jogjakarta dengan aktivitas memborong barang-barang yang dijajakan di sepanjang Malioboro. Menurut mereka, barang-barang khas kota Jogjakarta mempunyai nilai prestise tersendiri dalam konteks makna nostalgia.

Berdasarkan asumsi tersebut para konsumen lalu berbondong-bondong menyerbu Malioboro dengan berbagai kendaraan bermotor. Yang terjadi kemudian, lalulintas jalan Malioboro semrawut dan macet total. Antrean panjang menjadi ‘’binatang’’ aneh yang kita saksikan ketika menuju ke sana.

Dampaknya, polusi asap kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas itu menyesakkan dada, suasana menjadi panas, pejalan kaki sulit menyeberang, dan bikin pusing kepala.

Sementara itu, pedagang kakilima dan pedagang kakilima tiban ditengarai ikut menyebabkan Malioboro mendapatkan nilai merah sebab secara geografis tidak menarik lagi. Mereka, para pedagang kakilima dan pedagang kakilima tiban mendirikan tenda dan menempatkan gerobag dagangannya secara sembarangan di sepanjang trotoar. Pemasangan tenda dan penempatan gerobag dagangannya hanya menurut kata hati pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan publik pejalan kaki. Dengan sengaja pedagang kakilima tiban ini mengusur kenikmatan pejalan kaki berjalan menyusuri Malioboro.

Mereka juga ditengarai sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kumuh, bau, dan kotornya wajah Malioboro akibat sampah makanan sisa-sisa dagangan yang dibuang sembarangan dan limbah air kotor yang menggenang di sepanjang trotoar. Mereka dicap kurang mampu menjaga kebersihan, keindahan dan kenyamanan kota Jogjakarta.

Di balik semuanya itu, yang pasti kawasan Malioboro adalah aset dan sampai sekarang masih menjadi primadona para wisatawan yang berkunjung ke Jogjakarta. Bahkan sampai muncul mitos, serasa belum sampai Jogjakarta kalau belum menginjakkan kaki dan menghirup udara Malioboro. Dengan demikian, meski pun Malioboro dibenci dan dicaci maki, tetapi keberadaannya tetap dirindukan.

Tentang keluhan masyarakat terkait dengan kawasan Malioboro yang tidak nyaman, kumuh dan menjijikan, sebenarnya sudah sampai ke telinga Walikota Jogjakarta, Herry Zudianto. Ia juga merasa jengkel dengan keadaan Malioboro carut marut seperti itu. Kepada pers beberapa waktu lalu, orang nomor satu di Kodya Jogjakarta ini mengakui bahwa ia merasa terkecoh. Pasalnya, empati Herry Zudianto terhadap pedagang kakilima ternyata tidak diimbangi dengan sikap disiplin untuk saling menjaga kebersihan, keindahan, dan kenyamanan kawasan Malioboro secara bersama-sama.

Usulan Atasi Kesemrawutan Malioboro

Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengatasi kesemrawutan dan kemacetan lalulintas Malioboro akibat serbuan para wisatawan? Selain itu, bagaimana menghilangkan kesan kotor, bau, dan kumuh di sepanjang Malioboro?

Mungkinkah menutup ruas jalan Malioboro bagi seluruh kendaraan bermotor (kecuali pemadam kebakaran dan ambulance) selama hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, mulai pukul 12.00-24.00.

Jika jawabnya mungkin, maka seyogianya, Pemkot Jogjakarta bersama pihak swasta membuat lahan parkir yang representatif, aman dan nyaman guna melokalisir kendaraan bermotor yang akan masuk Malioboro. Sebagai gantinya disediakan kendaraan tidak bermotor: andong, becak, sepeda, sebagai alat transportasi sepanjang Malioboro dengan tarif tertentu. Bagi tukang parkir sepanjang ruas jalan Malioboro disarankan untuk alih profesi sebagai tukang becak, kusir andong atau tukang ojek sepeda yang melayani pengunjung dari taman parkir menuju Malioboro.

Keuntungan dari strategi ini, polusi asap knalpot bisa ditekan seminim mungkin. Kursi dan tetamanan sepanjang Malioboro niscaya pemanfaatannya lebih optimal. Dengan demikian akan tercipta sebuah taman rekreasi bagi masyarakat yang asri dan artistik. Hadirnya hembusan udara segar bebas polusi. Kawasan trotoar yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki serta surga wisata belanja yang representatif.

Jika hal itu terwujud, maka sebenarnya Pemkot Jogjakarta telah dengan bijak memberikan kesempatan kepada warga masyarakat, para konsumen dan produsen yang ada di Malioboro dan sekitarnya untuk berinteraksi secara aman, menyenangkan dan saling menguntungkan secara ekonomi bagi kedua belah pihak.


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Komunikasi Visual
dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

Tidak ada komentar: