Rabu, 25 Februari 2009

Vandalisme Iklan Politik

Sumbo Tinarbuko




Belakangan ini teror vandalisme dan perusakkan iklan politik menjadi semacam bentuk perlawanan baru, atas penjajahan ruang publik yang dilakukan para peserta kampanye Pemilu 2009. Beberapa baliho dan rontek para caleg diberi aksentuasi sangar dengan semprotan cat semprot berbentuk taring dan tanduk. Tidak hanya berhenti sampai di situ, coretan garis zig-zag pun diterakan di wajah caleg. Yang paling dahsyat, wajah sang caleg dihilangkan secara visual dengan sayatan pisau cutter.

Kenapa alat peraga kampanye berbentuk baliho dan rontek milik para caleg peserta Pemilu 2009 dirusak secara membabi buta? Ada beberapa alasan yang terlihat dari maraknya teror vandalisme dan perusakan iklan politik di sepanjang kawasan yang dianggap strategis. Di antaranya, pertama, kejenuhan masyarakat akan banyaknya iklan politik yang menyesaki ruang publik. Semua iklan politik yang ditancapkan di seantero ruang publik berlomba menampilkan ukuran besar dan menempatkannnya setinggi mungkin.

Semua iklan politik yang dipasang tampil paritas dengan menyampaikan monotisme pesan verbal-visual. Pesan visual yang didedahkan berbentuk: dunia simbol dengan menampilkan wajah caleg sedang mengumbar senyuman narsis, lewat tampilan visual dirinya yang ganteng, cantik, cerdas dan, agamis. Sedang pesan verbal yang dituliskan berwujud: jagat instruksional berbentuk tebaran janji, yang katanya akan memikirkan kepentingan rakyat, agar berkehidupan lebih baik. Ujung pangkal dari pesan verbal tersebut: ‘’contrenglah saya dengan nomor urut sekian, dari partai politik nomor sekian’’. Pendeknya, semua pesan verbal visual berisi perintah untuk memilih dirinya, tanpa kecuali.

Pada titik inilah, sejatinya mereka gagal menggabungkan jagat simbol dengan masalah substansial dari masing-masing caleg dan parpol. Mengapa? Karena tampilan visual verbalnya lebih didominasi wajah para caleg, logo, serta nomor urut partai politik peserta Pemilu.

Akibat kegagalannya menjahit jagat simbolisasi dan dunia substansi itulah, maka visualisasi iklan politik bagaikan orang kelaparan yang secara rakus ingin memasukkan segala macam makanan, ke dalam mulutnya. Akhirnya muncullah berbagai mozaik gambar dan teks yang penuh sesak dan kumuh. Dengan demikian, secara umum iklan politik tidak terfokus pada permasalahan yang seharusnya dipecahkan dengan pendekatan win-win solution. Ironisnya lagi, masih banyak caleg dan pengurus partai politik kurang mampu mengomunikasikan visi misi partainya secara proporsional, persuasif, dan komunikatif.

Kedua, kampanye besar-besaran para caleg memicu ulah iseng beberapa orang. Keisengan itu muncul akibat dari hilangnya ruang publik, yang setiap harinya menjadi tempat reriungan antar warga masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat sangat membutuhkan ruang publik yang hijau, teduh, nyaman, dan aman. Khalayak luas mendambakan ruang publik yang dapat digunakan untuk reriungan tanpa terusik dengan kehadiran iklan politik yang senantiasa mendedahkan kesemrawutan visual. Sebab dengan bertaburnya hutan reklame iklan politik yang menancapkan taringnya di berbagai sudut ruang publik strategis, ditengarai memendam potensi bencana visual, manakala angin lesus disertai hujan deras menyetubuhi permukaan bumi tercinta ini.

Untuk itulah perlu gerakan bersama menghilangkan kesemrawutan visual. Cara pragmatis yang gampang laksanakan, yakni menekan seminimal mungkin limbah produksi sampah visual iklan politik. Langkah terhormat yang dapat dilakukan para caleg bersama tim suksesnya: dengan memasang iklan politik berpedoman pada moralitas, keseimbangan lingkungan hidup, ekologi visual, dan mengedepankan kearifan budaya lokal.

Salahkah ulah iseng yang dilakukan sebagian masyarakat yang membuahkan vandalisme iklan politik? Masalahnya bukan pada kata ‘salah’ atau ‘benar’. Melainkan, persoalannya terletak pada hukum sebab akibat. Para caleg melakukan aktivitas kampanye yang menyebabkan merimbunnya sampah visual. Akibatnya, secara kasat mata, mereka yang melakukan aktivitas negatif seperti itu, karena mulai habis kesabaraannya melihat sampah visual yang diproduksi para caleg narsis. Keisengan semacaam itu merupakaan manifestasi dari sebuah bentuk perlawanan diam sebagian masyarakat. Mereka bosan dengan perikehidupan sosial politik yang penuh janji-janji gombal tanpa membawa perubahan berarti dalam perikehidupan sehari-hari.

Sejatinya, pada kasus vandalisme iklan politik ini, para caleg dan parpol peserta Pemilu 2009 harus rela menjalani hukum karma. Hukum alam semacam itu harus rela diterima para caleg akibat ulahnya sendiri. Para caleg berikut tim suksesnya sejak awal perhelatan kampanye senantiasa mendzalimi masyarakat dengan menjajah ruang publik untuk kampanye kepentingannya sendiri. Mereka memasang alat peraga kampanye dengan memaku batang pohon untuk menyandarkan baliho dan ronteknya. Mereka menancapkan bendera parpol dan memasang iklan politik bergambar wajahnya di rumah dan pekarangan warga masyarakat tanda izin dari pemiliknya.

Aktivitas egois dari para caleg dan tim sukses semacam itu, dapat dikategorikan sebagai vandalisme ruang publik yang dilakukan para caleg dan partai politik.

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Pengarang Buku ‘’Iklan Politik dalam Realitas Media’’, Penerbit Jalasutra, 2009

1 komentar:

donkopings mengatakan...

koq tampilannya gelap bung, edit warna dong....

saya masih baru disini, bisa bantu saya atau tukar pikiran membuat blog yang bagus ???

trims.