Selasa, 22 Juli 2008

Pasar Ilang Kumandhange

Oleh Sumbo Tinarbuko

Karakteristik masyarakat konsumen adalah setiap hari melakukan aktivitas berbelanja. Semuanya dibeli. Entah secara tunai, kredit, atau harus utang sekali pun. Mereka tidak peduli apakah objek belanja yang dibelinya memang dibutuhkan. Atau hanya lapar belanja karena terdorong mempertahankan gengsi semata. Pendeknya tiada hari tanpa shopping. Mereka pun nggugemi mitos yang didengungkan kawanan penggila belanja: ’’Aku ada karena aku (gila) belanja’’.

Karena kebutuhan aktualisasi diri yang mensyaratkan setiap individu tampil sempurna, maka kalangan masyarakat yang mengaku modern, senantiasa belanja dan membelanjakan uangnya untuk berbagai produk dan jasa dalam kategori sekunder maupun tersier layaknya kebutuhan kebutuhan pokok sehari-hari.

Manakala kebutuhan belanja sudah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan modern, ditengarai peluang emas semacam itu dimanfaatkan secara bijaksana oleh para produsen barang dan jasa, untuk mendulang keuntungan sebanyak mungkin. Bahkan , sekarang sudah menjadi rahasia umum, jika para produsen bukan hanya memproduksi barang dan jasa, tetapi sudah memproduksi kebutuhan manusia. Dalam tataran ini, gurita kapitalisme memegang peranan kunci yang sangat menentukan kebutuhan hidup masyarakat konsumen.

Setelah mengendalikan dan memproduksi kebutuhan manusia, para saudagar yang tergabung dalam jaringan kapitalisme global mulai mendikte dan menyetir pasar. Dalam konteks ini, pasar tidak hanya dipahami sebagai medium pergerakan barang dan jasa demi menumpuk pundi-pundi fulus. Tetapi pasar dimaknai juga sebagai bangunan fisik tempat bertemunya antara pedagang dan pembeli.

Ketika pasar diartikan sebagai medium interaksi antara penjual dan pembeli, dalam perspektif jaringan kapitalisme global, maka keberadaannya harus memenuhi persyaratan mengikat di antara para pihak terkait. Di antaranya: bangunan pasar bernuansa modern, tersedia tangga berjalan dan AC. Dingin, wangi, dan bersih agar calon konsumen merasa nyaman. Barang yang dijual terjamin kualitasnya, harga ditentukan secara sepihak oleh pihak pengelola dan tidak ada proses tawar menawar. Kemudian nama pasar pun salin bentuk dan wujud menjadi modern dengan sebutan: hipermarket, supermarket, square, mal, plaza.

Bentuk penjajahan ekonomi semacam ini berakibat meminggirkan pasar tradisional. Dampaknya, pasar tradisional mendekati kepunahan. Pasar tradisional yang hanya beraktivitas setiap sepasar sekali dan dikenal dengan sebutan pasar legi, pahing, pon, wage dan kliwon, perlahan namun pasti berganti wajah menjadi pasar reguler yang setiap hari membuka transaksi jual beli. Belakangan pasar tradisional reguler pun dianggap mengganggu perkembangan modernisasi pasar modern jaringan kapitalisme global. Solusinya, guna melayani masyarakat modern, maka pasar tradisional dan pasar tradisional reguler pun harus dimusnahkan dan diganti dengan pasar modern yang lebih representatif.

Pada titik ini, dalam konteks perpasaran dan perdagangan jaringan kapitalisme global, sedang terjadi upaya pemaksaan kehendak untuk menggantikan budaya lama dengan budaya baru yang lebih modern. Budaya lama (pasar tradisional) dianggap kotor, kumuh, dan tidak teratur. Ringkasnya, stigma jelek selalu distempelkan kuat-kuat di lingkungan pasar tradisional.

Pasar tradisional berikut para pedagangnya seakan dimarjinalkan. Hak hidup dan menghidupi dirinya lewat pola perdagangan tradisional seolah-olah dimusnahkan. Demikian pula dengan produk-produk hasil produksi masyarakat tradisional sepertinya dihilangkan secara sepihak. Ironisnya, para pedagang dari pasar tradisional yang digusur untuk dibangun menjadi pasar modern, sudah dipastikan tidak akan mampu membeli dan menempati kiosnya. Kondisi semacam ini menjadi sangat sulit dan rumit. Para pedagangnya kemudian menjadi pengangguran. Mereka lambat laut memasuki kasta masyarakat miskin.

Ketika perubahan besar-besaran dari pasar tradisional menjadi pasar modern, ramalan Jangka Jayabaya seakan mengejawantah di hadapan kita. Jangka Jayabaya menitahkan: bahwa suatu saat nanti, pasar ilang kumandhange. Artinya, setiap kali kita belanja di pasar modern, dengan ditemani kereta belanja, dari awal sampai akhir kita berbelanja, tidak ada satu kata pun yang terucap di sana. Dari memilih, mengambil dan membayar ke kasir, tidak ada satu percakapan pun yang muncul di sana. Bentuk-bentuk semacam inilah yang mengindikasikan pasar ilang kumandhange.

Padahal sejatinya, kalau pasar tradisional tetap mendapatkan perlindungan dari pemerintah dan dijamin hak kehidupannya, di sana dapat ditemukan berbagai representasi ruang publik yang memungkinkan setiap individu yang terlibat untuk reriungan sembari tukar warta (saling kabar-kabari) kondisi sosial, ekonomi, dan budaya.

Di dalam pasar tradisional memungkin kedua belah pihak saling tawar menawar untuk mendapatkan kesepakatan harga yang saling menguntungkan dalam balutan suasana guyup rukun. Dengan demikian, di dalam pasar tradisional, pasar ana kumandhange.

Selain itu, di pasar tradisional mereka, para penjual dan pembeli bagaikan saudara kandung yang mendapatkan tempat nyaman untuk ngudar rasa (curhat) perihal uang rupiah yang semakin tidak berarti ketika dibelanjakan. Kita pun dapat memotret rerasanan kaum perempuan yang merasa sedih akibat harga kebutuhan pokok tidak kunjung turun. Kita pun bisa juga mendengar guyonan mereka tentang kenaikan harga bensin, dan minyak tanah, sementara listrik sering byar pet. Biaya pendidikan yang mahal, rumitnya urusan ujian nasional. Mereka juga ngrumpi perilaku artis dan pejabat publik yang suka selingkuh dan kawin cerai. Mereka pun juga merasa kecewa ketika para pemimpin bangsa yang tidak pernah menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya.

Untuk itu perlu kita pikirkan dan ditindaklanjuti bersama dengan karya nyata demi melestarikan pasar tradisional dari gempuran peradaban modern. Hal itu menjadi penting, karena di dalam kehidupan pasar tradisional dapat kita jumpai berbagai moralitas dan kearifan lokal masyarakat tradisional yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan kebudayaan warisan leluhur pepundennya.

Ketika pasar tradisional dimusnahkan, hal itu merupakan tanda-tanda zaman bahwa kebudayaan kita yang berisi kearifan lokal yang lebih modern dan sebuah kebudayaan baru yang dianggap lebih modern lambat laun akan musnah dan punah pula. Relakah kita akan hal tersebut?

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbotinarbuko.tk/) Dosen dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta. Sekarang Kandidat Doktor FIB UGM.

Tidak ada komentar: