Selasa, 22 Juli 2008

Piala Eropa 2008 Usai, Lalu Apa?

Sumbo Tinarbuko





Sejak Sabtu 7 Juni 2008 hingga akhir bulan ini digelar sebuah pesta besar, Piala Eropa 2008. Selama empat pekan itu digelar puluhan pertandingan antarkesebelasan terbaik di wilayah Euro.

Gema dari Piala Eropa 2008 itu tidak hanya di Austria dan Swiss, melainkan merambah ke pelbagai pelosok dunia. Tak ayal, banyaknya pemberitaan lewat tayangan televisi dan media massa cetak menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi ikut terpengaruh. Baik di warung-warung, kafe-kafe, angkringan, pasar tradisional, supermarket, mal, hotel, terminal, stasiun kereta api, kantor pemerintah dan swasta, sekolah maupun di kampus, topik pembicaraan saat ini lebih tertuju pada masalah sepakbola, mengalahkan berita-berita kenaikan BBM, kenaikan harga sembako, kenaikan moda transportasi bermesin, korupsi yang dilakukan pejabat publik, kasus suap Ditjen Bea Cukai, dan berita kriminal serta politik menjelang Pemilu 2009 yang sedang hangat mengharubiru di Indonesia.


Perhelatan Piala Eropa 2008 tentu tidak bisa dipisahkan dengan stasiun televisi maupun surat kabar. Kedua media massa cetak dan elektronik ini selalu berlomba-lomba untuk menyajikan dan menyiarkan setiap penyelenggaraan Piala Eropa 2008. Mereka mendesain sedemikian rupa halaman koran dengan berbagai artikel, analisis pertandingan, foto dan ilustrasi yang menawan. Sedangkan stasiun televisi berupaya menayangkan pertandingan sepakbola Piala Eropa 2008 secara langsung dan menghadirkan komentator pertandingan dengan reputasi klas wahid. Selain itu mereka berupaya dan berlomba-lomba mendapatkan hak siar meskipun harus membayar mahal. Sebab dengan memperoleh hak siar, stasiun televisi tersebut sudah dipastikan dapat mengeruk keuntungan berlipat-lipat dari perolehan iklan yang terpasang selama hampir satu bulan dalam tayangan acara tersebut.


Maka tidak dapat dipungkiri kalau penyelenggaraan Piala Eropa 2008 ini sebenarnya bukan pertandingan sepakbola antarnegara di dunia, melainkan pertandingan antarproduk, antarprodusen dan antariklan di seluruh dunia. Hal itu bisa kita lihat berbagai macam iklan yang dipasang di sekeliling stadion saat pertandingan sepakbola itu berlangsung.


Yang paling diuntungkan dalam perhelatan Piala Eropa 2008 ini sebenarnya para produsen yang memasang iklannya di seputar stadion tempat pertandingan tersebut dilangsungkan atau iklan-iklan lainnya yang dipasang di media massa cetak maupun di televisi. Bisa kita bayangkan betapa mudah dan familiarnya berbagai macam produk yang diiklankan saat acara pertandingan sepakbola tersebut disiarkan merasuk di dalam benak penonton yang notabene adalah konsumen loyal atau calon konsumen potensial.


Penyelenggaraan Piala Eropa 2008 kali ini semakin mempertegas asumsi bahwa olahraga semakin terkooptasi oleh tuntutan material komersial dalam kendali gurita kapitalisme. Bobrok dan berkibarnya sebuah klub sepak bola – termasuk di dalamnya karir pemain bola, pelatih, wasit - tidak lepas dari cengkeraman pemilik modal dalam dinamika dunia olah raga. Dukungan material berupa dana atau sponsor pertandingan memang senantiasa bisa menggunting dalam lipatan di balik gemerlapnya prestasi atlet olah raga. Bukankah atlet membutuhkan modal besar untuk menjadi bintang? Profesionalisme dalam olahraga juga mengandaikan persyaratan yang melingkar di seputar keharusan untuk memenuhi tuntutan pelatih, manajer, penyandang dana pertandingan, pihak sponsor atau bahkan represi ambisi politik. Akibatnya, olahraga tidak lagi bebas dari muatan nilai. Bentuk-bentuk populer dari olahraga telah menjadi instrumen bagi suatu tindakan strategis bertujuan komersial, yang telah mendorong ke arah masifikasi budaya yang merongrong lingkungan-lingkungan interpretatif dan daya-daya komunikatif dari budaya lokal.


Dalam wacana kapitalisme mutakhir sudah menjadi semacam dogma bahwa untuk memproduksi suatu komoditi harus disertai dengan memproduksi tontonan. Semua tontonan menjadi komoditi, sebaliknya semua komoditi menjadi tontonan. Hal ini terbukti dengan jutaan mata penonton sepakbola menatap pertandingan Piala Eropa 2008 lewat televisi yang di sana sini diselingi dengan iklan. Itu artinya, tontonan sepakbola Piala Eropa 2008 menjadi komoditi pemasaran produk lewat tayangan iklan.


Rangkaian tontonan yang disuguhkan oleh media massa kapitalis mutakhir menurut Baudrillard, telah menyulap individu-individu menjadi sekumpulan mayoritas yang diam. Bagaikan sebuah kekuatan sihir yang sangat dahsyat, media menjadikan massa yang diam tersebut menjadi layaknya sebuah layar raksasa yang membuat segala sesuatu mengalir melalui mereka; segala sesuatu menarik mereka bagaikan magnet, namun tidak ada bekas apa-apa yang ditinggalkan.

Televisi misalnya bisa menarik massa ratusan juta orang untuk sebuah tontonan sepakbola siang, petang, malam bahkan dini hari belakangan ini. Televisi berikut iklan yang ada di dalamnya diyakini mempunyai efek yang luar biasa. Pesan-pesannya lebih hidup, apalagi gambarnya. Kalau orang mengatakan bahwa iklan adalah memberi Anda mitos dan impian, maka televisi membuat mitos dan impian itu seolah-olah nyata. Tatkala iklan berkelebat lewat layar kaca, ia digambarkan begitu perkasa. Berdaya hipnotis tinggi. Ia mampu membangkitkan desakan emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh setiap individu. Mereka dengan enteng mengadopsi nilai, sikap, perasaan dan daya hidup yang ditawarkan iklan lewat tayangan televisi. Pertanyaannya kemudian, ketika televisi mampu menyihir ratusan juta massa di seluruh dunia untuk menonton pertandingan sepakbola Piala Eropa 2008 pada siang dan malam hari, apakah ada bekas makna yang ditinggalkan dari tontonan tersebut? Jawabannya, tidak ada bekas apa-apa yang ditinggalkan, selain perasaan kecewa, nggondok, atau senang karena menang taruhan.


Dalam perspektif realitas semu, rangkaian tontonan sepakbola yang disuguhkan oleh media elektronik kapitalisme telah menggiring masyarakat konsumer ke dalam satu eksodus menuju satu nihilisme dan fatalitas kehidupan. Sirkulasi suguhan-suguhan ekstasi, keterpesonaan hanya menghasilkan massa yang mabuk atau kecanduan akan sirkulasi penampakan tontonan bola gelinding tersebut. Ironisnya, ia hanya mengembangkan hawa nafsu yang tanpa ada batasnya.



*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbotinarbuko.tk/), Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta.

Tidak ada komentar: