Selasa, 29 Juli 2008

Kemasan Iklan Politik


Sumbo Tinarbuko


Kemasan, packaging, wadah, alias, bungkus sejatinya difungsikan untuk melindungi barang. Kemasan sengaja dirancang mengutamakan aspek kepraktisan ergonomis agar mudah ditenteng sesuka hati. Nyaman dan aman bagi si pembawa barang. Terlindungi dari perubahan cuaca atau proses-proses lainnya yang mengakibatkan barang tersebut rusak.


Sisi lain dari pengertian kemasan ternyata dapat pula dikontekstualisasikan dalam gegap gempitanya parade ketigapuluh empat partai politik peserta Pemilu 2009.


Dengan memanfaatkan ideologi kemasan, ketigapuluh empat parpol tersebut cancut taliwanda mempromosikan parpolnya agar mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat calon pemilih. Kemasan yang paling cespleng berbentuk periklanan politik.


Periklanan politik tabiatnya hampir sama dengan periklanan komersial. Sepak terjangnya bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (baca: parpol) yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (baca: Pemilu) tanpa mengandalkan iklan (politik).


Demikian pentingnya peran iklan politik dalam ‘’bisnis parpol’’ sehingga salah satu parameter bonafiditas parpol terletak pada seberapa banyak dana yang digelontorkan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan politik merupakan jendela kamar dari sebuah parpol. Ia sanggup menghubungkan parpol dengan masyarakat. Khususnya calon pemilih.


Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa iklan politik tersebut sebaiknya disampaikan.


Berdasarkan terminologi iklan politik, maka pucuk pimpinan parpol, elit politik, pejabat maupun mantan pejabat publik, LSM, agamawan, saudagar, eksekutif, intelektual, dan kaum cerdik pandai berlomba-lomba mengemas dirinya sebagai representasi parpol lewat iklan politik.


Dengan modal milyaran rupiah dari kocek pribadi atau sponsor, mereka minta bantuan biro iklan dan konsultan komunikasi untuk tampil ‘’mempesona’’ dalam kemasan iklan politik. Mereka pun menyewa kapling iklan media massa cetak dan elektronik guna menayangkan program pencitraan politik yang elegan. Mereka membungkus dirinya lewat bahasa yang santun, menawarkan gagasan mengatasi persoalan bangsa yang carut marut. Mereka secara egaliter mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu agar Indonesia menjadi lebih baik. Mereka mengajak masyarakat untuk tidak melupakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka mengajak masyarakat agar mencintai, membeli, dan mengonsumsi produk-produk anak negeri.


Sayangnya, iklan parpol yang gentayangan di media massa cetak dan elektronik lebih mengedepankan konsep hard sell. Mereka sangat menyukai konsep semacam ini. Karena dianggapnya mujarab mendongkrak popularitas seluruh elemen parpol. Kemudian muncullah kemasan iklan politik yang menawarkan janji surga. Iklan tersebut lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas. Alias sama sebangun. Setiap kali melihat kemasan iklan politik di berbagai media massa cetak dan elektronik, sang tokoh selalu dicitrakan berpendidikan tinggi, religius, santun, murah senyum, dan ramah. Sang tokoh laksana malaikat pembawa warta gembira penuh kedamaian dan kebijaksanaan. Sang tokoh bagaikan sinterklas yang membagi-bagikan hadiah. Sang tokoh seperti Superman yang senantiasa menolong si lemah dan si miskin. Sang tokoh menjelma pahlawan pembela kebenaran.


Dalam kemasan tayangan iklan politik, sang tokoh selalu terlihat merakyat. Blusukan ke pasar tradisional dan pemukiman kumuh di pinggiran kota. Menyapa wong cilik penuh kehangatan. Berbaur dengan masyarakat pedesaan dan warga miskin. Di sana digambarkan, sang tokoh bersama pengiringnya ikut merasakan denyut kehidupan yang sangat minimalis. Pada sekuen lain, sang tokoh berdiri di depan klas sebuah SD. Ia terlihat menjelaskan perihal arti pentingnya sebuah pendidikan. Katanya, ‘’hanya lewat pendidikan, bangsa ini akan maju dan berwibawa dipergaulan tingkat dunia’’. Tetapi, benarkah demikian adanya?


Pemunculan tokoh politik nasional lewat iklan parpol di media massa cetak dan elektronik, dinilai oleh parapihak banyak menyampaikan janji kosong. Sebuah janji surga yang sejujurnya sulit untuk diejawantahkan.


Dalam konteks ini, upaya tebar pesona parpol berikut elit politik lebih mengonsentrasikan kemasan luar dari pada isinya. Artinya, kemasan tebar pesona dalam bentuk iklan politik, justru semakin memperlebar tingkat kesenjangan antara kemasan dengan isinya. Antara tokoh politik, parpol, dengan masyarakat calon pemilih.


Atas dasar pengalaman komprehensif semacam itu, rakyat cenderung hati-hati. Rakyat semakin permana dalam menentukan siapa yang layak memimpin negeri dengan sebutan jamrud katulistiwa ini. Kehati-hatian semacam itu lebih didasari pada fakta sejarah. Selama ini, para pemimpin bangsa yang diberi kepercayaan rakyat untuk mengelola Republik tercinta ini, lebih dikenal lewat tampilan kemasannya saja. Karena senantiasa mendewakan kemasan visualnya saja, akibatnya, para pemimpin bangsa dan pejabat publik lebih banyak bekerja dengan mengatur siasat dan beradu strategi demi merebut kekuasaan. Dengan label penguasa, mereka dipastikan memiliki hak mengelola bangsa dan negara ini. Lewat predikat penguasa, mereka mempunyai hak dan merasa paling mampu serta paling benar untuk mengatur bangsa dan negara ini. Dengan sebutan penguasa, mereka dapat memproyeksikan dirinya beserta pengikutnya untuk senantiasa menikmati kesejahteraan lahir batin.


Dalam alam reformasi seperti sekarang ini, masyarakat secara terbuka tidak akan terpengaruh oleh janji tokoh politik yang manis di mulut, namun pahit dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mau bagian dari kehidupannya diganggu oleh janji gombal yang disuarakan partai politik yang senang berburu kekuasaan.


Untuk itulah, dengan mengedepankan moralitas. Menjunjung tinggi kejujuran. Dan berpolatindak pada kearifan lokal. Kita percaya, masih banyak partai politik, dan tokoh politik yang layak mendapatkan amanat rakyat menjadi pemimpin bangsa. Dengan menempuh jalan yang baik dan benar serta bermartabat, masih banyak negarawan pengayom masyarakat, yang rela mengabdikan diri, guna mewujudkan nurani keadilan dan rasa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.


Lewat kerjasama dan komunikasi dialogis secara egaliter antar parapihak, diyakini mampu memunculkan dan memelihara kehidupan ini dengan nyaman, aman, tenteram, adil, dan sejahtera. Dengan demikian keadaan Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bukan hanya sekadar impian di siang bolong. Tetapi kasunyatan yang hakiki!


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbotinarbuko.tk/), adalah Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.

Diluncurkan Buku #2 Sumbo Tinarbuko ‘‘Mata Hati Iklan Indonesia, Esai Sosial Budaya Periklanan Indonesia‘‘



Diluncurkan Buku Anggitan Sumbo Tinarbuko
‘‘Mata Hati Iklan Indonesia, Esai Sosial Budaya Periklanan Indonesia‘‘
Penerbit Dini Publisher Yogyakarta

Dalam ilmu komunikasi dikenal dogma populer, words doesn’t mean, people mean. Artinya, sesungguhnya kata-kata tidak memiliki makna, manusialah yang merekatkan makna ke dalam kata-kata tersebut. Maka bisa dibayangkan betapa rumitnya melakukan prosesi komunikasi yang efektif. Jabaran efektivitas di sini dapat diterjemahkan dalam sebuah kalimat yang menyebutkan bagaimana caranya menciptakan persepsi yang sama antara pengirim dan penerima pesan.

Agar pesan verbal maupun visual mampu menarik perhatian calon konsumen dan pembeli, maka iklan harus menawarkan eksklusivisme, keistimewaan, dan kekhususan, yang kemudian dapat memberikan akibat berupa totemisme, perujukan pada suatu benda atau merek untuk menemukan jati diri produk barang atau jasa yang akan diperdagangkan.

Strategi semacam ini sengaja dilakukan karena iklan hanyalah sekadar ‘alat pembius’ bagi produsen untuk berburu konsumen. Apakah perburuan itu tepat pada sasaran bidik, dan apakah sasarannya dapat terbius, barangkali kedua aspek itulah yang selalu menjadi bahan pertimbangan para produsen dalam mengolah sebuah iklan. Serasional apa pun pertimbangannya, yang pasti dalam benak mereka hanya ada satu kata, yakni bagaimana meramu pemilihan pesan verbal dan visual sebagai ‘obat bius’ dan melakukan pemilihan media yang tepat guna memburu sasarannya.

Dengan demikian, iklan merupakan salah satu elemen mekanisme ekonomi yang paling kasat indera, maka keberadaannya paling menarik berbagai penilaian ambivalen. Di satu sisi – oleh kelompok pengusaha – iklan dianggap salah satu metode pemasaran yang ampuh guna mendukung keberhasilan bisnis. Iklan sebagai produk jasa mau pun produk media, bahkan juga sudah menjadi komoditi profesi, komoditas bisnis dan industri potensial. Di sisi lain – oleh kelompok konsumen – iklan tidak selalu dianggap positif. Iklan – diakui atau tidak – sering digemari sebagai salah satu bentuk hiburan maupun sumber informasi yang ditawarkan di pasar, namun iklan juga sering dicurigai bahkan sampai dibenci.

Periklanan adalah fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan. Demikian pentingnya peran iklan dalam bisnis modern sehingga salah satu parameter bonafiditas perusahaan terletak pada berapa dana yang dialokasikan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan merupakan jendela kamar dari sebuah perusahaan, keberadaannya menghubungkan produsen dengan masyarakat, khususnya konsumen.

Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa iklan tersebut sebaiknya disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif, kita harus memahami betul khalayak sasaran, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Pemahaman secara kuantitatif akan menjamin bahwa jumlah pembeli dan frekuensi pembelian yang diperoleh, akan sejalan dengan target penjualan yang telah ditetapkan. Sedangkan pemahaman secara kualitatif akan menjamin bahwa pesan iklan yang kita sampaikan akan sejalan dengan tujuan pemasaran yang telah ditetapkan bersama.

Iklan sebagai salah satu perwujudan kebudayaan massa tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli barang atau jasa, tetapi juga turut mendedahkan nilai tertentu yang secara terpendam terdapat di dalamnya. Oleh karena itulah, iklan yang sehari-hari kita temukan di berbagai media massa cetak dan elektronik dapat dikatakan bersifat simbolik. Artinya, iklan dapat menjadi simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki.

Periklanan merupakan suatu usaha untuk mempengaruhi kelompok atau masyarakat terhadap suatu produk dengan menonjolkan kelebihannya untuk proyeksi jangka panjang. Artinya, bila produsen mengiklankan produk tertentu, misalnya obat flu, maka diperlukan waktu yang cukup lama untuk meyakinkan konsumen bahwa produk tersebut memang baik. Bila produk sudah dikenal maka diperlukan suatu masa atau periode tertentu untuk menjaga kepercayaan itu agar tetap unggul dibandingkan dengan produk lain yang sejenis. Oleh karena itu, hasil yang dipetik oleh produsen tidak langsung dapat dinikmati dengan seketika, tetapi memerlukan tempo waktu tertentu.

Karena itulah, produsen tidak bisa menuntut banyak dari iklan. Masyarakat pun tidak boleh menuduh secara membabi buta. Iklan hanya sekadar alat untuk memberikan informasi, melakukan persuasi atau menstimuli orang agar bertindak. Terjadinya pembelian oleh konsumen masih ditentukan oleh faktor-faktor lain. Di antaranya: mutu produk, harga, kemampuan daya beli sasaran, persaingan, bahkan situasi politik, akan menentukan terjadinya kontak penjualan produk.

Terlepas dari itu, atas nama target waktu, maka rancangan iklan selalu menggunakan teknik tertentu untuk mencapai tujuannya. Di antaranya, pertama, penjualan suatu ide yang merupakan garansi andalan terkait dengan masa berlakunya suatu barang atau jasa untuk jangka waktu panjang. Kedua, penyebaran ide perihal keuntungan pihak komunikan bila menerima ide sebagaimana dianjurkan oleh komunikator, berupa penggunaan barang atau jasa yang disarankan, serta kenikmatan yang diperoleh dari penggunaan barang atau jasa itu sendiri.

Karena itulah, bertitik tolak dari penjualan suatu ide, maka karakter dari produk yang akan dijual harus benar-benar ditemukenali oleh perancang iklan. Selain itu, kelompok sasaran yang hendak dibidik seyogianya jelas latar belakangnya, baik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, budaya pendukung maupun tingkat sosial ekonomi yang melingkupinya.

Harus diakui, memang sulit mencapai keselarasan dalam mempertimbangkan dampak komersial dengan aspek sosial budaya. Bahkan ada semacam dogma, iklan yang bagus dari sisi pemasaran, justru bermasalah karena menimbulkan dampak sosial budaya yang bersifat negatif. Sebaliknya, iklan yang dinilai berdampak sosial budaya positif, justru mandul dari segi pemasaran. Maka iklan yang berhasil memadukan dampak komersial dan sosial budaya, akan melestarikan kehidupan produk itu sendiri, dalam jangka waktu panjang.

Komunikasi, terutama iklan, tidak akan terjadi jika pesan iklan yang disampaikan komunikator tidak menarik perhatian komunikan. Dengan tuntutan pengiklan yang seperti itulah, seringkali kreator iklan terbawa arus kepada situasi yang sengaja atau tidak sengaja membuat iklan yang akhir-akhir ini menjadi polemik di masyarakat. Padahal tujuan iklan tidak sekadar mencari perhatian, tetapi lebih dari itu untuk memperoleh goodwill dari komunikan.

Oleh sebab itu, selayaknya diperhatikan para kreator iklan dalam membuat kreatif iklan khususnya iklan televisi adalah aspek akibat. Terkadang akibat yang muncul dari sebuah iklan tidak seperti yang dimaksudkan atau diniatkan.

Kreator iklan harus berpikir multiaspek dan multidimensi. Karena persepsi yang muncul dari sebuah iklan terkadang tidak sama sebangun dengan cara pandang penulis naskah atau pengarah kreatif. Karena persepsi iklan sangat subjektif. Apalagi yang menyangkut masalah pornografi, etika, dan moral, maka menjadi sangat relevan bila kreator iklan selain memiliki niat yang baik juga harus berhati-hati dan berpikir dengan mengedepankan pluralitas.

Berdasarkan hal tersebut di atas, saya memberanikan diri menyusun buku ini dengan judul: ‘‘Mata Hati Iklan Indonesia, Esai Sosial Budaya Periklanan Indonesia‘‘ yang diterbitkan Dini Publisher Yogyakarta, Juli 2008. Buku tersebut akan didedikasikan kepada masyarakat luas tanggal 1 Agustus 2008, di Hotel Melia Purosani Yogyakarta, berbarengan dengan Festival Iklan Pinasthika 2008.

Buku tersebut terdiri dari 5 bab yang meliputi: Pendahuluan, Bagian Pertama: Iklan dan Peradaban Manusia, Bagian Kedua: Iklan dan Kritik Sosial, Bagian Ketiga: Iklan, Perempuan, dan Ruang Publik, Bagian Keempat: Iklan dan Semiotika, Bagian Kelima: Iklan dan Lain-lain, Penutup.

Buku ‘‘Mata Hati Iklan Indonesia, Esai Sosial Budaya Periklanan Indonesia‘‘ adalah buku kedua anggitan Sumbo Tinarbuko (Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Buku pertama anggitannya berjudul: ‘‘Semiotika Komunikasi Visual‘‘ terbitan Jalasutra Yogyakarta Februari 2008.

Sumbo Tinarbuko
http://sumbotinarbuko.tk/
www.sumbotinarbuko.blogspot.com/

Selasa, 22 Juli 2008

Komunikasi Cinta

Sumbo Tinarbuko



Dalam kondisi yang serba sulit seperti sekarang ini, semua pihak mengaku dirinya pada posisi yang paling benar. Setiap individu, baik secara pribadi, kelompok, atau pun golongan senantiasa mengatasnamakan pikiran dan tindakannya berkonotasi baik dan benar.

Sementara kebaikan dan kebenarannya itu katanya semata-mata diabdikan demi kemaslahatan seluruh umat.


Karena merasa dirinya telah mengambil keputusan yang benar demi kesejahteraan seluruh masyarakat, maka pemerintah dengan retorika politiknya berpandangan perlu menaikkan harga BBM. Kenapa perlu dinaikkan? Alasan politik pembenarannya, jika tidak dinaikkan maka APBN akan jeblok. Alasan berikutnya yang seolah-olah membuat miris rakyat: seandainya harga BBM tidak disesuaikan, Indonesia bakalan bangkrut karena subsidi minyak untuk rakyat akan membengkak. Alasan pembenaran lainnya, agar rakyat tidak menderita akibat kenaikan BBM, digelontorkan sejumlah uang tujangan kemiskinan yang popular dengan singkatan BLT.

Sudah menjadi sebuah hukum sebab akibat yang sulit dipatahkan asal muasalnya manakala pemerintah menaikkan harga BBM, maka semua aktivitas kehidupan yang digerakkan oleh mesin berbahan bakar minyak, tega tidak tega harus menaikkan biaya operasionalnya. Yang sudah terlihat di pelupuk mata adalah seluruh komponen moda transportasi bermesin yang beroperasi di darat, laut dan sungai, maupun maskapai udara mengubah harga tiketnya menuju besaran angka rupiah yang lebih tinggi dari sebelumnya. Alasan pembenarannya, karena harga BBM dinaikkan pemerintah maka ongkos operasional armada juga menjadi besar. Lalu siapa yang menanggungnya? Ya pasti pengguna jasa transportasi. Siapakah mereka? Ya pasti rakyatlah!


Kalau ongkos transportasi menyesuaikan dengan kenaikkan harga BBM maka berbagai komoditi (: hasil pertanian, perkebunan, peternakan, berbagai industri rumah tangga, dll) juga akan berbenah diri. Alasan pembenarannya yang paling rasional adalah berganti harga supaya tidak rugi. Lalu siapa yang menanggungnya? Ya pasti rakyatlah! Siapa lagi kalau bukan rakyat!

Pada dasarnya, rakyat selalu menaruh kepercayaan penuh kepada kinerja para pemimpin bangsa. Pada galibnya, rakyat selalu rela berkorban demi menyukseskan program pemerintah yang konon kabarnya didedikasikan untuk kesejahteraan rakyat.


Cuma sayangnya pemerintah tidak pernah mau memahami kondisi sosial, budaya, dan ekonomi rakyat yang dipimpinnya. Pemerintah dalam setiap kali melakukan sosialisasi program kerjanya lebih banyak terkesan bergumam, alias berbicara dengan dirinya sendiri. Pemerintah terkesan bergumam ketika memutuskan peserta didik dari tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK untuk mengakhiri pendidikannya harus menempuh UAN. Pemerintah terkesan bergumam ketika memutuskan program sertifikasi untuk guru dan dosen. Pemerintah terkesan bergumam ketika harga kebutuhan pokok rumah tangga meroket. Pemerintah terkesan bergumam ketika harga pupuk meningkat sementara hasil produksi pertanian dan perkebunan anjlok di pasar bebas. Pemerintah terkesan bergumam ketika jumlah pengangguran, angka kemiskinan, dan penderita gizi buruk meningkat tajam. Pemerintah terkesan bergumam ketika korupsi semakin merajalela yang melibatkan pejabat pemerintah.


Mengapa pemerintah setiap kali mengambil langkah kebijaksanaan terkesan bergumam? Karena para pemimpin bangsa lebih senang mendengarkan suara pembisik yang ada di sekelilingnya, maka bahasa komunikasi yang dilontarkannya pun jauh dari bahasa komunikasi cinta yang diharapkan oleh masyarakat. Pemerintah selalu mengedepankan bahasa komunikasi instruksi. Pemerintah senantiasa mengkomunikasikan segala macam kebijakan dengan menggunakan ukuran dirinya atau kelompok massa pendukungnya yang jumlahnya relatif lebih kecil dari pada seluruh rakyat yang dipimpinnya.


Komunikasi cinta sebenarnya sebuah proses komunikasi yang dilakukan seorang komunikator untuk menyampaikan pesan lewat media komunikasi kepada komunikan dengan mengedepankan aspek cinta kasih. Yang membedakan proses komunikasi cinta dengan komunikasi nircinta adalah aksentuasi untuk menyampaikan pesan verbal ataupun visual dengan mengedepankan bahasa kalbu yang kamusnya bermukim di dalam hati sanubari insan manusia yang memposisikan dirinya sebagai seorang komunikator. Bahasa kalbu yang menjadi ujung tombak komunikasi cinta ini mampu menggerakkan getar-getar syaraf kalbu dari para komunikan yang menerima pesan lewat frekuensi komunikasi cinta.


Ketika proses komunikasi cinta dijalankan, semuanya terasa penuh kesepahaman yang menyejukkan, indah, dan damai. Meski secara geografis berjauhan dipisahkan ruang dan waktu berbeda, maka saat melakukan proses komunikasi cinta, hati dan pikiran parapihak serasa berdekatan, bahkan dengan berbisik pun maksud pesan yang ingin disampaikan langsung cespleng menggerakkan hati dan pikiran si penerima pesan komunikasi cinta tersebut untuk selanjutnya mengatakan, ‘’Ya, saya sependapat dengan pemikiran dan langkah kebijaksanaanmu’’.


Lewat komunikasi cinta, maka apa yang digagas pemerintah dan akan diputuskan menjadi sebuah kebijaksanaan yang menyangkut harkat dan martabat masyarakat luas akan diterima secara legowo dan bersedia menanggung renteng ekses positif dan negatif secara damai pula. Dalam konteks ini, rakyat harus diposisikan bagaikan seorang kekasih hati yang bersedia mendampingi dalam situasi suka atau pun duka. Pemerintah jangan hanya melibatkan rakyat ketika pemerintah dalam suasana hati sedang berduka dan bingung karena berbagai tekanan pihak asing.


Komunikasi cinta menyaratkan pemerintah sebagai komunikator harus mampu menggunakan bahasa cinta kepada rakyat yang diayominya. Selain itu lewat komunikasi cinta pemerintah harus mampu melakukan berbagai upaya kreatif guna mencari solusi yang membahagiakan semua pihak dalam mengatasi kehidupan yang sangat sulit ini.


Jika hal itu berhasil dilakukan pemerintah maka rakyat akan tersenyum bahagia. Rakyat merasa diayomi. Rakyat merasa dilindungi. Rakyat merasa harkat dan martabatnya untuk hidup dan berkehidupan secara aman dan nyaman mendapatkan surganya sesuai dengan talenta masing-masing.


*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbotinarbuko.tk/), adalah Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Sekarang Kandidat Doktor FIB UGM.

Perkawinan Tipografi dan Nirmana dalam Ranah Readibilitas Legibilitas


Sumbo Tinarbuko


Ketika seseorang berbicara kepada orang lain, sesungguhnya orang tersebut sedang melafalkan beberapa lambang bunyi yang arti dan maknanya telah disepakati bersama.

Lambang bunyi, dalam konteks ini, divisualkan dalam bentuk simbol-simbol yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan dimengerti maksudnya. Dalam peradaban modern, lambang bunyi yang berbentuk huruf memiliki peranan penting dalam sebuah proses komunikasi antarmanusia.


Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran.


Huruf dan tipografi merupakan soko guru tunggal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Banyak orang sudah melek huruf, sudah pasti mengenal lambang bunyi tersebut. Mereka sudah pasti dapat mengeja, membaca, dan menuliskan lambang bunyi itu untuk berbagai kepentingan dan keperluannya masing-masing. Tetapi tidak sedikit yang buta tipografi. Mengapa demikian? Karena tipografi senantiasa terkait dengan tatasusun, tatakelola, dan tatapilih huruf untuk kepentingan komunikasi visual.


Sementara itu, perkawinan antara tipografi dengan nirmana merupakan sebuah perkawinan agung. Keduanya diyakini sebagai pasangan kinasih yang tidak bisa dipisahkan oleh ruang dan waktu. Dalam hubungannya dengan desain komunikasi visual, tipografi dan nirmana adalah elemen penting yang sangat diperlukan guna mendukung proses penyampaian pesan verbal maupun visual.


Meski nirmana dipahami sebagai sebuah bentuk yang tidak berbentuk. Dalam konteks desain komunikasi visual, nirmana memegang peranan penting perihal bagaimana menata dan menyusun elemen dasar desain komunikasi visual . Peranan penting lainnya, di dalam nirmana mensyaratkan tatasusun dan tatakelola unsur desain komunikasi visual dalam sebuah perencanaan komposisi yang serasi dan seimbang di dalam setiap bagiannya.


Huruf yang telah disusun secara tipografis dengan mengedepankan konsep harmonisasi nirmana merupakan elemen dasar dalam membentuk sebuah tampilan desain komunikasi visual. Keberadaannya diyakini mampu memberikan inspirasi untuk membuat suatu komposisi yang menarik, persuasif dan komunikatif.


Dengan demikian, keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting. Sebab melalui perencanaan dan pemilihan tipografi dalam perspektif nirmana yang tepat baik untuk ukuran, warna, dan bentuk, diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal dan pesan visual karya desain komunikasi visual tersebut.


Berdasarkan hal tersebut di atas, maka ketika desainer komunikasi visual mahir menguasai tipografi dan nirmana untuk dipergunakan menyampaikan informasi yang bersifat sosial ataupun komersial, maka sejatinya sang desainer tersebut mampu memposisikan dirinya menjadi kurir komunikasi (visual) yang bertanggung jawab kepada masyarakat luas yang dijadikan target sasaran. Dengan menjadi kurir komunikasi yang baik - berkat pemilihan tipografi yang tepat dengan mengedepankan aspek readibilitas (dipengaruhi oleh ukuran huruf, jarak antarhuruf, dan jarak antarbaris yang terlalu dekat atau jauh) dan legibilitas (dipengaruhi oleh kerumitan desain huruf, penggunaan warna, tinta, dan kertas) yang akurat - maka masyarakat luas tidak akan terjebak pada perkara-perkara atau kasus-kasus mengarah pada belantara perbedaan persepsi yang akan menimbulkan bencana miscommunication!



*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbotinarbuko.tk/), Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Piala Eropa 2008 Usai, Lalu Apa?

Sumbo Tinarbuko





Sejak Sabtu 7 Juni 2008 hingga akhir bulan ini digelar sebuah pesta besar, Piala Eropa 2008. Selama empat pekan itu digelar puluhan pertandingan antarkesebelasan terbaik di wilayah Euro.

Gema dari Piala Eropa 2008 itu tidak hanya di Austria dan Swiss, melainkan merambah ke pelbagai pelosok dunia. Tak ayal, banyaknya pemberitaan lewat tayangan televisi dan media massa cetak menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi ikut terpengaruh. Baik di warung-warung, kafe-kafe, angkringan, pasar tradisional, supermarket, mal, hotel, terminal, stasiun kereta api, kantor pemerintah dan swasta, sekolah maupun di kampus, topik pembicaraan saat ini lebih tertuju pada masalah sepakbola, mengalahkan berita-berita kenaikan BBM, kenaikan harga sembako, kenaikan moda transportasi bermesin, korupsi yang dilakukan pejabat publik, kasus suap Ditjen Bea Cukai, dan berita kriminal serta politik menjelang Pemilu 2009 yang sedang hangat mengharubiru di Indonesia.


Perhelatan Piala Eropa 2008 tentu tidak bisa dipisahkan dengan stasiun televisi maupun surat kabar. Kedua media massa cetak dan elektronik ini selalu berlomba-lomba untuk menyajikan dan menyiarkan setiap penyelenggaraan Piala Eropa 2008. Mereka mendesain sedemikian rupa halaman koran dengan berbagai artikel, analisis pertandingan, foto dan ilustrasi yang menawan. Sedangkan stasiun televisi berupaya menayangkan pertandingan sepakbola Piala Eropa 2008 secara langsung dan menghadirkan komentator pertandingan dengan reputasi klas wahid. Selain itu mereka berupaya dan berlomba-lomba mendapatkan hak siar meskipun harus membayar mahal. Sebab dengan memperoleh hak siar, stasiun televisi tersebut sudah dipastikan dapat mengeruk keuntungan berlipat-lipat dari perolehan iklan yang terpasang selama hampir satu bulan dalam tayangan acara tersebut.


Maka tidak dapat dipungkiri kalau penyelenggaraan Piala Eropa 2008 ini sebenarnya bukan pertandingan sepakbola antarnegara di dunia, melainkan pertandingan antarproduk, antarprodusen dan antariklan di seluruh dunia. Hal itu bisa kita lihat berbagai macam iklan yang dipasang di sekeliling stadion saat pertandingan sepakbola itu berlangsung.


Yang paling diuntungkan dalam perhelatan Piala Eropa 2008 ini sebenarnya para produsen yang memasang iklannya di seputar stadion tempat pertandingan tersebut dilangsungkan atau iklan-iklan lainnya yang dipasang di media massa cetak maupun di televisi. Bisa kita bayangkan betapa mudah dan familiarnya berbagai macam produk yang diiklankan saat acara pertandingan sepakbola tersebut disiarkan merasuk di dalam benak penonton yang notabene adalah konsumen loyal atau calon konsumen potensial.


Penyelenggaraan Piala Eropa 2008 kali ini semakin mempertegas asumsi bahwa olahraga semakin terkooptasi oleh tuntutan material komersial dalam kendali gurita kapitalisme. Bobrok dan berkibarnya sebuah klub sepak bola – termasuk di dalamnya karir pemain bola, pelatih, wasit - tidak lepas dari cengkeraman pemilik modal dalam dinamika dunia olah raga. Dukungan material berupa dana atau sponsor pertandingan memang senantiasa bisa menggunting dalam lipatan di balik gemerlapnya prestasi atlet olah raga. Bukankah atlet membutuhkan modal besar untuk menjadi bintang? Profesionalisme dalam olahraga juga mengandaikan persyaratan yang melingkar di seputar keharusan untuk memenuhi tuntutan pelatih, manajer, penyandang dana pertandingan, pihak sponsor atau bahkan represi ambisi politik. Akibatnya, olahraga tidak lagi bebas dari muatan nilai. Bentuk-bentuk populer dari olahraga telah menjadi instrumen bagi suatu tindakan strategis bertujuan komersial, yang telah mendorong ke arah masifikasi budaya yang merongrong lingkungan-lingkungan interpretatif dan daya-daya komunikatif dari budaya lokal.


Dalam wacana kapitalisme mutakhir sudah menjadi semacam dogma bahwa untuk memproduksi suatu komoditi harus disertai dengan memproduksi tontonan. Semua tontonan menjadi komoditi, sebaliknya semua komoditi menjadi tontonan. Hal ini terbukti dengan jutaan mata penonton sepakbola menatap pertandingan Piala Eropa 2008 lewat televisi yang di sana sini diselingi dengan iklan. Itu artinya, tontonan sepakbola Piala Eropa 2008 menjadi komoditi pemasaran produk lewat tayangan iklan.


Rangkaian tontonan yang disuguhkan oleh media massa kapitalis mutakhir menurut Baudrillard, telah menyulap individu-individu menjadi sekumpulan mayoritas yang diam. Bagaikan sebuah kekuatan sihir yang sangat dahsyat, media menjadikan massa yang diam tersebut menjadi layaknya sebuah layar raksasa yang membuat segala sesuatu mengalir melalui mereka; segala sesuatu menarik mereka bagaikan magnet, namun tidak ada bekas apa-apa yang ditinggalkan.

Televisi misalnya bisa menarik massa ratusan juta orang untuk sebuah tontonan sepakbola siang, petang, malam bahkan dini hari belakangan ini. Televisi berikut iklan yang ada di dalamnya diyakini mempunyai efek yang luar biasa. Pesan-pesannya lebih hidup, apalagi gambarnya. Kalau orang mengatakan bahwa iklan adalah memberi Anda mitos dan impian, maka televisi membuat mitos dan impian itu seolah-olah nyata. Tatkala iklan berkelebat lewat layar kaca, ia digambarkan begitu perkasa. Berdaya hipnotis tinggi. Ia mampu membangkitkan desakan emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh setiap individu. Mereka dengan enteng mengadopsi nilai, sikap, perasaan dan daya hidup yang ditawarkan iklan lewat tayangan televisi. Pertanyaannya kemudian, ketika televisi mampu menyihir ratusan juta massa di seluruh dunia untuk menonton pertandingan sepakbola Piala Eropa 2008 pada siang dan malam hari, apakah ada bekas makna yang ditinggalkan dari tontonan tersebut? Jawabannya, tidak ada bekas apa-apa yang ditinggalkan, selain perasaan kecewa, nggondok, atau senang karena menang taruhan.


Dalam perspektif realitas semu, rangkaian tontonan sepakbola yang disuguhkan oleh media elektronik kapitalisme telah menggiring masyarakat konsumer ke dalam satu eksodus menuju satu nihilisme dan fatalitas kehidupan. Sirkulasi suguhan-suguhan ekstasi, keterpesonaan hanya menghasilkan massa yang mabuk atau kecanduan akan sirkulasi penampakan tontonan bola gelinding tersebut. Ironisnya, ia hanya mengembangkan hawa nafsu yang tanpa ada batasnya.



*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbotinarbuko.tk/), Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta.

Pasar Ilang Kumandhange

Oleh Sumbo Tinarbuko

Karakteristik masyarakat konsumen adalah setiap hari melakukan aktivitas berbelanja. Semuanya dibeli. Entah secara tunai, kredit, atau harus utang sekali pun. Mereka tidak peduli apakah objek belanja yang dibelinya memang dibutuhkan. Atau hanya lapar belanja karena terdorong mempertahankan gengsi semata. Pendeknya tiada hari tanpa shopping. Mereka pun nggugemi mitos yang didengungkan kawanan penggila belanja: ’’Aku ada karena aku (gila) belanja’’.

Karena kebutuhan aktualisasi diri yang mensyaratkan setiap individu tampil sempurna, maka kalangan masyarakat yang mengaku modern, senantiasa belanja dan membelanjakan uangnya untuk berbagai produk dan jasa dalam kategori sekunder maupun tersier layaknya kebutuhan kebutuhan pokok sehari-hari.

Manakala kebutuhan belanja sudah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan modern, ditengarai peluang emas semacam itu dimanfaatkan secara bijaksana oleh para produsen barang dan jasa, untuk mendulang keuntungan sebanyak mungkin. Bahkan , sekarang sudah menjadi rahasia umum, jika para produsen bukan hanya memproduksi barang dan jasa, tetapi sudah memproduksi kebutuhan manusia. Dalam tataran ini, gurita kapitalisme memegang peranan kunci yang sangat menentukan kebutuhan hidup masyarakat konsumen.

Setelah mengendalikan dan memproduksi kebutuhan manusia, para saudagar yang tergabung dalam jaringan kapitalisme global mulai mendikte dan menyetir pasar. Dalam konteks ini, pasar tidak hanya dipahami sebagai medium pergerakan barang dan jasa demi menumpuk pundi-pundi fulus. Tetapi pasar dimaknai juga sebagai bangunan fisik tempat bertemunya antara pedagang dan pembeli.

Ketika pasar diartikan sebagai medium interaksi antara penjual dan pembeli, dalam perspektif jaringan kapitalisme global, maka keberadaannya harus memenuhi persyaratan mengikat di antara para pihak terkait. Di antaranya: bangunan pasar bernuansa modern, tersedia tangga berjalan dan AC. Dingin, wangi, dan bersih agar calon konsumen merasa nyaman. Barang yang dijual terjamin kualitasnya, harga ditentukan secara sepihak oleh pihak pengelola dan tidak ada proses tawar menawar. Kemudian nama pasar pun salin bentuk dan wujud menjadi modern dengan sebutan: hipermarket, supermarket, square, mal, plaza.

Bentuk penjajahan ekonomi semacam ini berakibat meminggirkan pasar tradisional. Dampaknya, pasar tradisional mendekati kepunahan. Pasar tradisional yang hanya beraktivitas setiap sepasar sekali dan dikenal dengan sebutan pasar legi, pahing, pon, wage dan kliwon, perlahan namun pasti berganti wajah menjadi pasar reguler yang setiap hari membuka transaksi jual beli. Belakangan pasar tradisional reguler pun dianggap mengganggu perkembangan modernisasi pasar modern jaringan kapitalisme global. Solusinya, guna melayani masyarakat modern, maka pasar tradisional dan pasar tradisional reguler pun harus dimusnahkan dan diganti dengan pasar modern yang lebih representatif.

Pada titik ini, dalam konteks perpasaran dan perdagangan jaringan kapitalisme global, sedang terjadi upaya pemaksaan kehendak untuk menggantikan budaya lama dengan budaya baru yang lebih modern. Budaya lama (pasar tradisional) dianggap kotor, kumuh, dan tidak teratur. Ringkasnya, stigma jelek selalu distempelkan kuat-kuat di lingkungan pasar tradisional.

Pasar tradisional berikut para pedagangnya seakan dimarjinalkan. Hak hidup dan menghidupi dirinya lewat pola perdagangan tradisional seolah-olah dimusnahkan. Demikian pula dengan produk-produk hasil produksi masyarakat tradisional sepertinya dihilangkan secara sepihak. Ironisnya, para pedagang dari pasar tradisional yang digusur untuk dibangun menjadi pasar modern, sudah dipastikan tidak akan mampu membeli dan menempati kiosnya. Kondisi semacam ini menjadi sangat sulit dan rumit. Para pedagangnya kemudian menjadi pengangguran. Mereka lambat laut memasuki kasta masyarakat miskin.

Ketika perubahan besar-besaran dari pasar tradisional menjadi pasar modern, ramalan Jangka Jayabaya seakan mengejawantah di hadapan kita. Jangka Jayabaya menitahkan: bahwa suatu saat nanti, pasar ilang kumandhange. Artinya, setiap kali kita belanja di pasar modern, dengan ditemani kereta belanja, dari awal sampai akhir kita berbelanja, tidak ada satu kata pun yang terucap di sana. Dari memilih, mengambil dan membayar ke kasir, tidak ada satu percakapan pun yang muncul di sana. Bentuk-bentuk semacam inilah yang mengindikasikan pasar ilang kumandhange.

Padahal sejatinya, kalau pasar tradisional tetap mendapatkan perlindungan dari pemerintah dan dijamin hak kehidupannya, di sana dapat ditemukan berbagai representasi ruang publik yang memungkinkan setiap individu yang terlibat untuk reriungan sembari tukar warta (saling kabar-kabari) kondisi sosial, ekonomi, dan budaya.

Di dalam pasar tradisional memungkin kedua belah pihak saling tawar menawar untuk mendapatkan kesepakatan harga yang saling menguntungkan dalam balutan suasana guyup rukun. Dengan demikian, di dalam pasar tradisional, pasar ana kumandhange.

Selain itu, di pasar tradisional mereka, para penjual dan pembeli bagaikan saudara kandung yang mendapatkan tempat nyaman untuk ngudar rasa (curhat) perihal uang rupiah yang semakin tidak berarti ketika dibelanjakan. Kita pun dapat memotret rerasanan kaum perempuan yang merasa sedih akibat harga kebutuhan pokok tidak kunjung turun. Kita pun bisa juga mendengar guyonan mereka tentang kenaikan harga bensin, dan minyak tanah, sementara listrik sering byar pet. Biaya pendidikan yang mahal, rumitnya urusan ujian nasional. Mereka juga ngrumpi perilaku artis dan pejabat publik yang suka selingkuh dan kawin cerai. Mereka pun juga merasa kecewa ketika para pemimpin bangsa yang tidak pernah menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya.

Untuk itu perlu kita pikirkan dan ditindaklanjuti bersama dengan karya nyata demi melestarikan pasar tradisional dari gempuran peradaban modern. Hal itu menjadi penting, karena di dalam kehidupan pasar tradisional dapat kita jumpai berbagai moralitas dan kearifan lokal masyarakat tradisional yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan kebudayaan warisan leluhur pepundennya.

Ketika pasar tradisional dimusnahkan, hal itu merupakan tanda-tanda zaman bahwa kebudayaan kita yang berisi kearifan lokal yang lebih modern dan sebuah kebudayaan baru yang dianggap lebih modern lambat laun akan musnah dan punah pula. Relakah kita akan hal tersebut?

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbotinarbuko.tk/) Dosen dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta. Sekarang Kandidat Doktor FIB UGM.