Senin, 01 September 2008

Saling Menghormati



Sumbo Tinarbuko


Sebuah perbuatan yang mencerminkan rasa menghargai terhadap seseorang atau sekelompok orang bisa dikategorikan sebagai dalil menghormati. Pelajaran untuk saling menghormati secara horizontal selalu didengungkan para pemuka agama, pemangku adat, orang tua, lembaga pendidikan, dan siapapun yang memiliki nurani menghargai keberadaan harkat dan martabat seorang manusia.

Sayang, naluri saling menghormati secara tulus, ditengarai mulai dilupakan hamba Tuhan. Hal ini tampak di pelupuk mata ketika anak manusia dikondisikan lebih menghargai realitas semu yang didedahkan tayangan televisi. Mereka disihir mengadopsi gaya hidup, gesture tubuh, cara berpikir, gaya berbicara, dan pernak pernik moralitas sosial budaya ala industri televisi. Mereka didaulat menghargai kehidupan instan dengan memutus rantai proses kehidupan. Padahal dengan mengikuti proses kehidupan, pada titik itulah dimulai sebuah proses pendewasaan diri manusia.

Masalahnya, apa kata dunia saat anak manusia lebih memercayai kehidupan realitas semu yang seragam. Sebuah realitas maya yang fiktif belaka. Sebentuk tatanan perikehidupan semu yang tidak menanamkan budi pekerti dalam payung kearifan lokal. Sebuah habitus semu yang tidak menempatkan sikap hormat menghormati sebagai pilar utama hidup bermasyarakat. Ketika hal itu tidak segera diantisipasi efek dominonya, dikhawatirkan akan tumbuh subur budaya kekerasan, hedonisme, konsumtivisme, mistik, balas dendam, saling permusuhan, dan tidak takut perintah Tuhan. Kelak fenomena seperti itu akan membentuk jatidiri anak manusia generasi penerus bangsa.

Pendeknya, sikap hidup saling menghargai seperti dipolakan dalam kehidupan realitas semu di industri televisi, sejatinya senantiasa bermuara pada kehendak daulat uang. Hasrat manusia untuk mendapatkan sanjungan, puja puji , dan dihormati secara artifisial kemudian diyakini menjadi sebuah way of life.

Agar kontekstual untuk dihormati, cara yang gampang lewat perburuan harta benda. Kekayaan duniawi diberhalakan demi sebuah kehormatan yang merepresentasikan dirinya manusia modern. Pada bagian ini, kehormatan seseorang senantiasa ditakar dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Artinya, uang menjadi penanda kasta sosial seseorang di tengah gejolak jaman yang semakin anomali ini.

Akibatnya, manusia menjadi semakin egois di dalam mempertahankan hidupnya. Segala jalan ditempuh demi mendapatkan segenggam kehormatan. Salah satu upaya yang sedang diminati para pemburu gelar kehormatan, dengan memajukan dirinya dalam perhelatan akbar Pemilu 2009.

Sebagai langkah awal mereka mengadu nasib dengan menjadi calon anggota legislatif. Kalkulasi logikanya, jika mereka terpilih menjadi anggota dewan, secara otomatis mendapatkan tiket menjadi pejabat publik, kepala daerah, menteri, bahkan presiden. Mereka dipastikan menjadi orang terhormat karena sebuah jabatan yang diamanatkan kepada dirinya. Pertanyaannya, setelah menjadi orang terhormat, akankah mereka menghormati dan menghargai warga masyarakat yang dipimpinnya?

Pertanyaan semacam itu selalu tergiang di telinga warga masyarakat yang dituntut untuk menghargai dan menghormati pejabat pemerintah. Secara protokoler, rakyat diminta dengan hormat untuk menghormati segala kebijakan publik yang diputuskan sepihak oleh pemerintah. Sebaliknya, atas semuanya itu, rakyat hanya diposisikan objek penderita. Rakyat tidak dihormati hak-haknya. Bahkan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti kenaikan BBM dan gas elpiji, dengan entengnya rakyat ditinggalkan oleh para pemimpinnya.

Kebijaksanaan publik yang tidak bijaksana saat bulan Ramadhan menjelang misalnya, dinilai tidak menghormati hak konsumsi masyarakat. Dampaknya segera memantik membumbungnya harga kebutuhan pokok. Atas semuanya ini, menyebabkan rakyat gelisah. Rakyat semakin terpojok untuk meraih kehidupan sejahtera dalam konteks paling minimal sekali pun.

Berdasarkan fakta kelam yang mencuat dalam ranah akar rumput, sudah saatnya para pemimpin bangsa, pejabat publik, anggota dewan, dan kaum cerdik pandai melakukan gerakan konkret yang terencana dan terpuji. Sudah waktunya rakyat diberdayakan lahirnya dan dirangkul batinnya secara tulus. Sudah masanya rakyat harus dihormati dan dihargai harkat martabat kemanusiaannya lewat kebijakan publik yang berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

Dengan saling menghormati secara horizontal antar sesama manusia , dan antara pemerintah dengan rakyatnya, maka keberagaman itu menjadi mozaik yang sangat dinamis, indah dan syahdu di kalbu. Dengan saling menghormati secara horizontal antara pemerintah dengan rakyatnya, maka hak dan kewajiban masing-masing akan membuahkan hasil propsional yang menyejahterakan kedua belah pihak. Selanjutnya impian rakyat jelata untuk hidup damai, sejahtera, aman dan nyaman bukan sekadar sebuah fatamorgana.

Lewat ajakan saling menghormati dan menerima apa adanya kebhinekaan ambisi dan gejolak hasrat manusia, akan menunjukkan kualitas kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Artinya, ketika kualitas kemanusiaan manusia dari waktu ke waktu semakin terasah kepekaannya, hal itu diyakini mampu mendengarkan pesan suci yang menyembul lembut dari hati nurani. Sebuah pesan suci yang menuntun nalar rasa dan nalar pikir kita untuk senantiasa mewartakan kasih dan mengamalkan rasa sayang kepada seluruh manusia. Namun, semuanya itu baru mendapatkan permaklumannya, ketika kita rela hati memilih hidup bersahaja, baik dalam dimensi horizontal maupun vertikal.

*) Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta.







Tidak ada komentar: