Rabu, 24 September 2008

Sikap Saling Menghormati dan Selalu Berbuat Baik

Oleh Sumbo Tinarbuko


Sebuah perbuatan yang mencerminkan rasa menghargai terhadap seseorang atau sekelompok orang bisa dikategorikan sebagai dalil menghormati. Pelajaran untuk saling menghormati secara horizontal selalu didengungkan para pemuka agama, pemangku adat, orang tua, guru, dan siapapun yang memiliki nurani menghargai keberadaan harkat dan martabat kemanusiaan seorang manusia.

Sayang, naluri saling menghormati secara tulus, ditengarai mulai dilupakan hamba Tuhan. Hal itu nampak jelas ketika sebuah kebaikan yang berlandaskan azas saling menghormati akan muncul dengan sendirinya apabila kita mampu menghadirkan sebuah pamrih yang dikendalikan remote control politik ekonomi dengan kalkulasi untung rugi. Contoh konkrit dapat disaksikan pada berbagai reality show tayangan televisi yang menghadirkan sebuah kebaikan dalam kemasan politik dagang.

Pertanyaannya, kenapa kita enggan saling menghormati? Kenapa kita sulit berbuat baik tanpa pamrih demi memuliakan sebuah kebaikan yang hakiki? Kenapa kita tidak mau menerima keberagaman orang lain tanpa mencurigainya? Kenapa kita sukar menghormati perbedaan pendapat dengan orang lain? Dan kenapa pula kita seakan menjadi ‘mati’ justru ketika kita masih mampu menghirup napas kehidupan dengan bebas?

Permasalahan besar seperti itu agaknya menjadi kecenderungan negatif yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia. Anehnya lagi, belakangan ini, kita condong menjadi masyarakat yang seragam dalam hal selera dan pemikiran. Kita cenderung emosional, mudah tersinggung, senang menyimpan dendam, dan gampang naik darah ketika menghadapi sebuah permasalahan yang terkadang tidak prinsipial.

Realitas Semu

Terhadap permasalahan tersebut di atas, kita seolah disihir dan dituntun untuk mengadopsi gaya hidup, gesture tubuh, cara berpikir, gaya berbicara, dan pernak pernik moralitas sosial budaya ala industri televisi. Kita didaulat menghargai kehidupan instan dengan memutus rantai proses kehidupan. Padahal dengan mengikuti proses kehidupan, pada titik ini dimulailah sebuah proses pendewasaan diri manusia.

Akibatnya, kita lebih memercayai kehidupan realitas semu yang seragam. Sebuah realitas maya yang fiktif belaka. Sebentuk tatanan perikehidupan semu yang tidak menanamkan budi pekerti dalam payung kearifan lokal. Sebuah habitus semu yang tidak menempatkan sikap hormat menghormati sebagai pilar utama hidup bermasyarakat.

Pendeknya, sikap hidup saling menghargai seperti dipolakan dalam kehidupan realitas semu di industri televisi, sejatinya senantiasa bermuara pada kehendak daulat uang. Dalam konteks ini, untuk dihormati, cara yang gampang ditempuh lewat perburuan harta benda. Kekayaan duniawi diberhalakan demi sebuah kehormatan yang merepresentasikan dirinya manusia modern. Pada bagian ini, kehormatan seseorang senantiasa ditakar dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Artinya, uang menjadi penanda kasta sosial seseorang di tengah gejolak jaman yang semakin anomali ini. Dampak turunannya, manusia menjadi semakin egois di dalam mempertahankan hidupnya. Segala jalan ditempuh demi mendapatkan segenggam kehormatan. Hasrat manusia untuk mendapatkan sanjungan, puja puji, dan dihormati secara artifisial kemudian diyakini menjadi sebuah way of life.

Celakanya, sikap hidup semacam itu mendapatkan peneguhannya dan secara kasatmata tercermin pada masyarakat Indonesia yang lebih menyukai kemasan kehidupan glamour. Setiap saat menggelar pesta dengan berbagai tajuk untuk merayakan momentum kesuksesan dan kebahagian individu atau kelompok. Dihadiri kalangan selebritis, pejabat publik, dan kalangan jetset. Disuguhi hidangan minuman dan makanan mewah olahan koki terkenal. Perhelatan bersifat hura-hura konsumtif itu dihibur pertunjukan musik dari grup band papan atas, penyanyi kondang, dan penari yang menggoyangkan tarian modern.

Perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia seperti tersebut di atas semakin menegaskan keterpurukan kita sebagai masyarakat yang miskin imajinasi. Masyarakat yang cenderung menisbikan keselarasan nalar rasa dan nalar pikir.

Hati nurani kita nyaris tertutup awan hitam yang bersifat artifisial. Sehingga semangat untuk saling menghormati dan senantiasa menyebarkan aura kebaikan menjadi tenggelam akibat disibukkan oleh pemikiran-pemikiran pragmatis, egoistis, dan individualistis.

Pertanyaan berikutnya, kenapa kita sulit untuk saling menghormati dan selalu berbuat baik tanpa diembel-embeli berbagai kepentingan yang bersifat duniawi? Kenapa pula kita belum mampu melakonkan sebuah kebaikan dalam jagat kehidupan yang manusiawi tanpa harus disorot kamera?

Mewartakan Kasih Sayang

Lewat ajakan saling menghormati, selalu berbuat baik dan menerima apa adanya kebhinekaan ambisi dan gejolak hasrat manusia, akan menunjukkan kualitas kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Artinya, ketika kualitas kemanusiaan manusia dari waktu ke waktu semakin terasah kepekaannya, hal itu diyakini mampu mendengarkan pesan suci yang menyembul lembut dari hati nurani. Sebuah pesan suci yang menuntun nalar rasa dan nalar pikir kita untuk senantiasa mewartakan kasih dan mengamalkan rasa sayang kepada seluruh manusia. Di bulan suci yang penuh rahmat seperti sekarang ini saatnya kita merelakan hati untuk selalu berbuat baik, saling menghormati dengan memilih hidup bersahaja dalam dimensi horizontal maupun vertikal.

*) Sumbo Tinarbuko, Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta.

Tidak ada komentar: