Rabu, 24 September 2008

Hiduplah Bersahaja

Oleh Sumbo Tinarbuko


Mencermati grafis komunikasi iklan perbankan, salah satu klausulnya menyebutkan perihal layanan prima kepemilikan kartu kredit. Di dalam iklan tersebut disebutkan berbagai fasilitas kemudahan berikut beragam keuntungan yang akan didapatkan manakala masyarakat luas berkenan memiliki dan menggunakan kartu kredit. Dalam konteks ini, kartu kredit diposisikan sebagai sinterklas yang mampu menolong para pemiliknya untuk membayar segala macam produk barang dan jasa yang dibelinya.

Berkat kepiawaian sales marketing bank swasta ataupun BUMN menarik minat masyarakat luas untuk menjadi nasabahnya, maka di dalam dompet manusia modern selalu dijumpai kartu kredit alias uang plastik. Produsen kartu kredit mendedahkan dogma bahwa dengan menggunakan kartu kredit, semuanya beres. Praktis dan aman penggunaannya. Dalam konteks ini, pengguna kartu kredit mengemas dirinya dalam lingkaran kehidupan yang dikendalikan oleh aktivitas hutang. Semakin banyak kartu kredit yang dimilikinya, semakin bebas membelanjakan uangnya. Semakin banyak hutang yang dimiliki, maka mereka dinobatkan sebagai warga masyarakat modern. Mereka juga mendapatkan sertifikat sebagai anggota masyarakat yang paling terhormat di jagat raya ini.

Atas nama kemasan gaya hidup modern, jaringan kapitalisme global selalu merayu pembeli dan calon pembeli agar senantiasa setia dibabtis menjadi konsumen loyal. Lewat rayuannya yang dahsyat, para pemilik kartu kredit dikondisikan sedemikian rupa untuk selalu berbelanja, agar para konsumen loyal ini mendapatkan diskon dan reward point atas objek barang dan jasa yang dibelinya. Di dalam benak konsumen loyal ditiupkan untaian kata mutiara: ‘’Demi sebuah rasa aman, berbelanjalah dengan menggunakan kartu kredit. Demi sebuah kenyamanan hidup di abad modern, berbelanjalah dengan cara berhutang. Sebab hidup dalam naungan hutang adalah representasi manusia modern’’

Berdasarkan inspirasi kata mutiara tersebut di atas, manusia modern akhirnya memegang prinsip hidup sebagai berikut: ‘’Hidupku untuk hutang dan hutangku untuk hidup’’. Dengan demikian, manusia modern harus bekerja keras mengumpulkan uang sebanyak-banyak, agar dapat melunasi hutang-hutangnya, untuk kemudian hutang kembali agar bisa membeli berbagai produk barang dan jasa yang dikemas secara modern. Prinsip gali lubang tutup lubang menjadi panglima sikap manusia modern. Demikian seterusnya sehingga lingkaran setan konsumtivisme saling sambung menyambung tanpa terlihat pangkal ujungnya.

Prinsip gali lubang tutup lubang untuk memuaskan hasrat hidup boros yang dikondisikan pejabat publik, wakil rakyat, dan gaya hidup rumah tangga modern, dalam perkembangannya memendam bom waktu. Setiap saat mudah meledak. Ledakan itu sudah menggantung di pelupuk mata. Hal itu terlihat ketika generasi muda cenderung menunjukkan tabiat malas mengolah segala potensi rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mampu mewarnai dunia. Dampaknya, Indonesia menjadi bangsa yang lembek daya juangnya. Bangsa yang mudah dikibuli negara asing. Kita menjadi bangsa yang mudah bingung dan tersinggung karena tidak punya potensi dan jatidiri.

Generasi muda yang terjebak tabiat boros ini cenderung tidak pernah mau berpikir pentingnya sebuah proses alamiah dalam kehidupan demi menjaga upaya pendewasaan diri. Mereka menjadi sekelompok generasi instan yang tahunya serba beres, enak, bebas tanpa kendali, menyenangkan, dan tampak modern. Mereka menjadi generasi cuek, santai, abai akan masa depan, dan lingkungan hidupnya.

Tabiat boros harus segera dihentikan, minimalnya dikurangi. Ketika dalam hidup dan kehidupan kita lebih mengedepankan tabiat boros dan mengumbar energi negatif untuk kesenangan sesaat, maka wacana ketidakseimbangan itu sejujurnya sedang membakar tubuh mungil kita. Artinya, tubuh kita seolah-olah merasa lapar, haus dan dahaga yang setiap saat harus dipenuhi dengan mengonsumsi berbagai produk yang hampir semua pengadaannya dengan jalan mengeksploitasi alam raya secara semena-mena dan subversif.

Kita harus ingat, hidup ini hanya mampir ngombe alias sesaat. Untuk itu agar terjalin keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, seyogianya mulai mengedepankan pola hidup bersahaja, hemat, prasaja, eling, lan waspada. Sebab dengan menjalani hidup secara bersahaja, sejatinya akan menghindarkan orang-orang yang kita sayangi melakukan tindak pidana korupsi.

Selain mengedepankan pola hidup bersahaja, seyogianya perlu juga selalu memupuk rasa solidaritas kepada sesama umat manusia dalam untaian kasih sayang tanpa pamrih. Dan lebih penting lagi, dalam bulan yang menuh rahmat ini, tidak ada salahnya senantiasa berserah diri kepada sejatinya hidup yakni Allah yang Maha Esa.

*)Sumbo Tinarbuko, Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen FSR ISI Yogyakarta.

Sikap Saling Menghormati dan Selalu Berbuat Baik

Oleh Sumbo Tinarbuko


Sebuah perbuatan yang mencerminkan rasa menghargai terhadap seseorang atau sekelompok orang bisa dikategorikan sebagai dalil menghormati. Pelajaran untuk saling menghormati secara horizontal selalu didengungkan para pemuka agama, pemangku adat, orang tua, guru, dan siapapun yang memiliki nurani menghargai keberadaan harkat dan martabat kemanusiaan seorang manusia.

Sayang, naluri saling menghormati secara tulus, ditengarai mulai dilupakan hamba Tuhan. Hal itu nampak jelas ketika sebuah kebaikan yang berlandaskan azas saling menghormati akan muncul dengan sendirinya apabila kita mampu menghadirkan sebuah pamrih yang dikendalikan remote control politik ekonomi dengan kalkulasi untung rugi. Contoh konkrit dapat disaksikan pada berbagai reality show tayangan televisi yang menghadirkan sebuah kebaikan dalam kemasan politik dagang.

Pertanyaannya, kenapa kita enggan saling menghormati? Kenapa kita sulit berbuat baik tanpa pamrih demi memuliakan sebuah kebaikan yang hakiki? Kenapa kita tidak mau menerima keberagaman orang lain tanpa mencurigainya? Kenapa kita sukar menghormati perbedaan pendapat dengan orang lain? Dan kenapa pula kita seakan menjadi ‘mati’ justru ketika kita masih mampu menghirup napas kehidupan dengan bebas?

Permasalahan besar seperti itu agaknya menjadi kecenderungan negatif yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia. Anehnya lagi, belakangan ini, kita condong menjadi masyarakat yang seragam dalam hal selera dan pemikiran. Kita cenderung emosional, mudah tersinggung, senang menyimpan dendam, dan gampang naik darah ketika menghadapi sebuah permasalahan yang terkadang tidak prinsipial.

Realitas Semu

Terhadap permasalahan tersebut di atas, kita seolah disihir dan dituntun untuk mengadopsi gaya hidup, gesture tubuh, cara berpikir, gaya berbicara, dan pernak pernik moralitas sosial budaya ala industri televisi. Kita didaulat menghargai kehidupan instan dengan memutus rantai proses kehidupan. Padahal dengan mengikuti proses kehidupan, pada titik ini dimulailah sebuah proses pendewasaan diri manusia.

Akibatnya, kita lebih memercayai kehidupan realitas semu yang seragam. Sebuah realitas maya yang fiktif belaka. Sebentuk tatanan perikehidupan semu yang tidak menanamkan budi pekerti dalam payung kearifan lokal. Sebuah habitus semu yang tidak menempatkan sikap hormat menghormati sebagai pilar utama hidup bermasyarakat.

Pendeknya, sikap hidup saling menghargai seperti dipolakan dalam kehidupan realitas semu di industri televisi, sejatinya senantiasa bermuara pada kehendak daulat uang. Dalam konteks ini, untuk dihormati, cara yang gampang ditempuh lewat perburuan harta benda. Kekayaan duniawi diberhalakan demi sebuah kehormatan yang merepresentasikan dirinya manusia modern. Pada bagian ini, kehormatan seseorang senantiasa ditakar dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Artinya, uang menjadi penanda kasta sosial seseorang di tengah gejolak jaman yang semakin anomali ini. Dampak turunannya, manusia menjadi semakin egois di dalam mempertahankan hidupnya. Segala jalan ditempuh demi mendapatkan segenggam kehormatan. Hasrat manusia untuk mendapatkan sanjungan, puja puji, dan dihormati secara artifisial kemudian diyakini menjadi sebuah way of life.

Celakanya, sikap hidup semacam itu mendapatkan peneguhannya dan secara kasatmata tercermin pada masyarakat Indonesia yang lebih menyukai kemasan kehidupan glamour. Setiap saat menggelar pesta dengan berbagai tajuk untuk merayakan momentum kesuksesan dan kebahagian individu atau kelompok. Dihadiri kalangan selebritis, pejabat publik, dan kalangan jetset. Disuguhi hidangan minuman dan makanan mewah olahan koki terkenal. Perhelatan bersifat hura-hura konsumtif itu dihibur pertunjukan musik dari grup band papan atas, penyanyi kondang, dan penari yang menggoyangkan tarian modern.

Perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia seperti tersebut di atas semakin menegaskan keterpurukan kita sebagai masyarakat yang miskin imajinasi. Masyarakat yang cenderung menisbikan keselarasan nalar rasa dan nalar pikir.

Hati nurani kita nyaris tertutup awan hitam yang bersifat artifisial. Sehingga semangat untuk saling menghormati dan senantiasa menyebarkan aura kebaikan menjadi tenggelam akibat disibukkan oleh pemikiran-pemikiran pragmatis, egoistis, dan individualistis.

Pertanyaan berikutnya, kenapa kita sulit untuk saling menghormati dan selalu berbuat baik tanpa diembel-embeli berbagai kepentingan yang bersifat duniawi? Kenapa pula kita belum mampu melakonkan sebuah kebaikan dalam jagat kehidupan yang manusiawi tanpa harus disorot kamera?

Mewartakan Kasih Sayang

Lewat ajakan saling menghormati, selalu berbuat baik dan menerima apa adanya kebhinekaan ambisi dan gejolak hasrat manusia, akan menunjukkan kualitas kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Artinya, ketika kualitas kemanusiaan manusia dari waktu ke waktu semakin terasah kepekaannya, hal itu diyakini mampu mendengarkan pesan suci yang menyembul lembut dari hati nurani. Sebuah pesan suci yang menuntun nalar rasa dan nalar pikir kita untuk senantiasa mewartakan kasih dan mengamalkan rasa sayang kepada seluruh manusia. Di bulan suci yang penuh rahmat seperti sekarang ini saatnya kita merelakan hati untuk selalu berbuat baik, saling menghormati dengan memilih hidup bersahaja dalam dimensi horizontal maupun vertikal.

*) Sumbo Tinarbuko, Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta.

Senin, 01 September 2008

DeKaVe Penanda Jiwa Zaman



Sumbo Tinarbuko



Ketika disodori tema: ‘’Ring of Fire’’ oleh Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, muncul pertanyaan besar dalam benak saya. Apakah selama ini keberadaan DeKaVe (Desain Komunikasi Visual) tidak mampu mewarnai jiwa zamannya? Atau bahkan belum ada produk DeKaVe yang sanggup mencerahkan peradaban manusia? Pertanyaan selanjutnya, produk DeKaVe yang bagaimanakah yang mampu mencerahkan peradaban? Peradaban yang bagaimanakah yang dapat dicerahkan oleh sebuah produk DeKaVe?

Terlepas dari beberapa bertanyaan yang bergelayut dalam pikiran saya di atas, sejatinya produk DeKaVe adalah produk kebudayaan massa. Keberadaan produk DeKaVe sangat lekat dengan hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Ia tak bisa lepas dari sejarah kehidupan umat manusia. Karena ia merupakan salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup.

Desain Komunikasi Visual alias DeKaVe dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan, bersifat rasional, dan pragmatis. Jagat DeKaVe senantiasa dinamis, penuh gerak, dan perubahan. Hal itu karena jiwa zaman, peradaban manusia, dan ilmu pengetahuan modern memungkin semuanya itu terjadi. Artinya, sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, produk DeKaVe juga berhadapan pada konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi massa.

Ketika produk DeKaVe merupakan bagian dari produk kebudayaan massa, maka tugas kita sekarang adalah bagaimana caranya agar produk DeKaVe bisa berfungsi sebagai penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern.

Ciri sebuah produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dari sebuah kebudayaan peradaban modern: pertama, produk DeKaVe mampu tampil secara atraktif, komunikatif, dan persuasif. Kedua, produk DeKaVe harus dapat mencerdaskan masyarakat terkait dengan pesan verbal dan pesan visual yang ingin disampaikan. Ketiga, keberadaannya bisa diterima secara iklas oleh masyarakat luas. Keempat, mengikuti perkembangan hukum adat yang berlaku, menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal.

Keempat ciri produk DeKaVe yang saya rumuskan di atas sebenarnya bagi kawan-kawan yang bergerak di industri per-DeKaVe-an bukanlah sesuatu yang baru dan sulit untuk diejawantahkan dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat yang plural dan heterogen.

Tetapi dalam konteks ini, saya ingin menegaskan, dalam rangka mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban manusia modern, seperti yang diamanatkan Panitia Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, perlu kiranya kita memberi perhatian khusus pada butir keempat: ‘’menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal’’.

Mengapa demikian? Sebab dengan menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, untuk kemudian diangkat menjadi sumber inspirasi, sebagai sumber ide dan gagasan, serta sebagai perangkat lunak untuk mengkomunikasikan beragam pesan verbal dan pesan visual yang bersifat komerisal, sosial, atau pun moral kepada sasaran khalayak yang dibidik, maka berbagai produk DeKaVe yang dihasilkan oleh tangan-tangan kreatif yang senantiasa mengedepankan kearifan budaya lokal Yogyakarta akan menjadi penanda jiwa zaman yang cukup kuat atas keberadaan sebuah produk DeKaVe yang mampu memberikan aksentuasi perikehidupan masyarakat. Ujung-ujungnya diharapkan mampu mencerahkan pemikiran dan perasaan umat manusia yang hidup dan mengisi kehidupannya sesuai dengan talenta masing-masing.

Terkait dengan upaya mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia, alangkah baiknya jika berbagai media massa cetak dan elektronik yang tersebar di seluruh pelosok DIY dan Indonesia pada umumnya, mau berbaik hati dan sedikit mengedepankan jiwa sosial demi apresiasi dan pengembangan wacana DeKaVe yang mampu mencerahkan peradaban modern di tengah karut marut persepsi masyarakat yang demikian heterogen.

Dukungan dari para pengelola media massa dan elektronik dalam konteks ini, bersedia dengan sukarela menayangkan secara periodik liputan pameran produk DeKaVe, talkshow Grafis Komunikasi, Desain Komunikasi Visual, wawancara tokoh praktisi DeKaVe, interview dengan tokoh akademisi DeKaVe dan lembaga pendidikan DeKaVe, bedah konsep produk DeKaVe dari kreator DeKaVe. Ataupun memuat dan menayangkan tulisan opini yang terkait dengan produk DeKaVe dari sejumlah penulis (pengamat, praktisi, akademisi dan mahasiswa) yang memiliki minat mengembangkan disiplin ilmu tersebut.

Sebab perkembangan praksis, wacana, dan ilmu Desain Komunikasi Visual tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari parapihak sulit dilaksanakan. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka keberadaan DeKaVe sebagai salah satu kajian studi kebudayaan juga akan jalan di tempat, alias mandeg! Jika fenomena semacam itu tidak pernah saling bertegur sapa, selanjutnya dapat ditebak akibatnya: sulit mencari produk DeKaVe yang mampu menjadi penanda jiwa zaman dan sanggup mencerahkan peradaban umat manusia.

Terima Kasih. Mugi rahayua ingkang sami pinanggih. Sampai berjumpa pada perhelatan kreatif Diskomfest #3 Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, 29 Oktober 2008 – 1 November 2008.


*) Sumbo Tinarbuko (
http://sumbo.wordpress.com/), Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta








Saling Menghormati



Sumbo Tinarbuko


Sebuah perbuatan yang mencerminkan rasa menghargai terhadap seseorang atau sekelompok orang bisa dikategorikan sebagai dalil menghormati. Pelajaran untuk saling menghormati secara horizontal selalu didengungkan para pemuka agama, pemangku adat, orang tua, lembaga pendidikan, dan siapapun yang memiliki nurani menghargai keberadaan harkat dan martabat seorang manusia.

Sayang, naluri saling menghormati secara tulus, ditengarai mulai dilupakan hamba Tuhan. Hal ini tampak di pelupuk mata ketika anak manusia dikondisikan lebih menghargai realitas semu yang didedahkan tayangan televisi. Mereka disihir mengadopsi gaya hidup, gesture tubuh, cara berpikir, gaya berbicara, dan pernak pernik moralitas sosial budaya ala industri televisi. Mereka didaulat menghargai kehidupan instan dengan memutus rantai proses kehidupan. Padahal dengan mengikuti proses kehidupan, pada titik itulah dimulai sebuah proses pendewasaan diri manusia.

Masalahnya, apa kata dunia saat anak manusia lebih memercayai kehidupan realitas semu yang seragam. Sebuah realitas maya yang fiktif belaka. Sebentuk tatanan perikehidupan semu yang tidak menanamkan budi pekerti dalam payung kearifan lokal. Sebuah habitus semu yang tidak menempatkan sikap hormat menghormati sebagai pilar utama hidup bermasyarakat. Ketika hal itu tidak segera diantisipasi efek dominonya, dikhawatirkan akan tumbuh subur budaya kekerasan, hedonisme, konsumtivisme, mistik, balas dendam, saling permusuhan, dan tidak takut perintah Tuhan. Kelak fenomena seperti itu akan membentuk jatidiri anak manusia generasi penerus bangsa.

Pendeknya, sikap hidup saling menghargai seperti dipolakan dalam kehidupan realitas semu di industri televisi, sejatinya senantiasa bermuara pada kehendak daulat uang. Hasrat manusia untuk mendapatkan sanjungan, puja puji , dan dihormati secara artifisial kemudian diyakini menjadi sebuah way of life.

Agar kontekstual untuk dihormati, cara yang gampang lewat perburuan harta benda. Kekayaan duniawi diberhalakan demi sebuah kehormatan yang merepresentasikan dirinya manusia modern. Pada bagian ini, kehormatan seseorang senantiasa ditakar dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Artinya, uang menjadi penanda kasta sosial seseorang di tengah gejolak jaman yang semakin anomali ini.

Akibatnya, manusia menjadi semakin egois di dalam mempertahankan hidupnya. Segala jalan ditempuh demi mendapatkan segenggam kehormatan. Salah satu upaya yang sedang diminati para pemburu gelar kehormatan, dengan memajukan dirinya dalam perhelatan akbar Pemilu 2009.

Sebagai langkah awal mereka mengadu nasib dengan menjadi calon anggota legislatif. Kalkulasi logikanya, jika mereka terpilih menjadi anggota dewan, secara otomatis mendapatkan tiket menjadi pejabat publik, kepala daerah, menteri, bahkan presiden. Mereka dipastikan menjadi orang terhormat karena sebuah jabatan yang diamanatkan kepada dirinya. Pertanyaannya, setelah menjadi orang terhormat, akankah mereka menghormati dan menghargai warga masyarakat yang dipimpinnya?

Pertanyaan semacam itu selalu tergiang di telinga warga masyarakat yang dituntut untuk menghargai dan menghormati pejabat pemerintah. Secara protokoler, rakyat diminta dengan hormat untuk menghormati segala kebijakan publik yang diputuskan sepihak oleh pemerintah. Sebaliknya, atas semuanya itu, rakyat hanya diposisikan objek penderita. Rakyat tidak dihormati hak-haknya. Bahkan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti kenaikan BBM dan gas elpiji, dengan entengnya rakyat ditinggalkan oleh para pemimpinnya.

Kebijaksanaan publik yang tidak bijaksana saat bulan Ramadhan menjelang misalnya, dinilai tidak menghormati hak konsumsi masyarakat. Dampaknya segera memantik membumbungnya harga kebutuhan pokok. Atas semuanya ini, menyebabkan rakyat gelisah. Rakyat semakin terpojok untuk meraih kehidupan sejahtera dalam konteks paling minimal sekali pun.

Berdasarkan fakta kelam yang mencuat dalam ranah akar rumput, sudah saatnya para pemimpin bangsa, pejabat publik, anggota dewan, dan kaum cerdik pandai melakukan gerakan konkret yang terencana dan terpuji. Sudah waktunya rakyat diberdayakan lahirnya dan dirangkul batinnya secara tulus. Sudah masanya rakyat harus dihormati dan dihargai harkat martabat kemanusiaannya lewat kebijakan publik yang berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

Dengan saling menghormati secara horizontal antar sesama manusia , dan antara pemerintah dengan rakyatnya, maka keberagaman itu menjadi mozaik yang sangat dinamis, indah dan syahdu di kalbu. Dengan saling menghormati secara horizontal antara pemerintah dengan rakyatnya, maka hak dan kewajiban masing-masing akan membuahkan hasil propsional yang menyejahterakan kedua belah pihak. Selanjutnya impian rakyat jelata untuk hidup damai, sejahtera, aman dan nyaman bukan sekadar sebuah fatamorgana.

Lewat ajakan saling menghormati dan menerima apa adanya kebhinekaan ambisi dan gejolak hasrat manusia, akan menunjukkan kualitas kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Artinya, ketika kualitas kemanusiaan manusia dari waktu ke waktu semakin terasah kepekaannya, hal itu diyakini mampu mendengarkan pesan suci yang menyembul lembut dari hati nurani. Sebuah pesan suci yang menuntun nalar rasa dan nalar pikir kita untuk senantiasa mewartakan kasih dan mengamalkan rasa sayang kepada seluruh manusia. Namun, semuanya itu baru mendapatkan permaklumannya, ketika kita rela hati memilih hidup bersahaja, baik dalam dimensi horizontal maupun vertikal.

*) Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Pegiat Studi Kebudayaan dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta.







Tabiat Boros dan Hidup Bersahaja

Sumbo Tinarbuko



Di dalam dompet manusia modern selalu dijumpai kartu kredit alias uang plastik. Produsen kartu kredit mendedahkan dogma bahwa dengan menggunakan kartu kredit, semuanya beres. Praktis dan aman penggunaannya. Dalam konteks ini, pengguna kartu kredit mengemas dirinya dalam lingkaran kehidupan yang dikendalikan oleh aktivitas hutang. Semakin banyak kartu kredit yang dimilikinya, semakin bebas membelanjakan uangnya. Semakin banyak hutang yang dimiliki, maka mereka dinobatkan sebagai warga masyarakat modern. Mereka juga mendapatkan sertifikat sebagai anggota masyarakat yang paling terhormat di jagat raya ini.


Atas nama kemasan gaya hidup modern, jaringan kapitalisme global selalu merayu pembeli dan calon pembeli agar senantiasa setia dibabtis menjadi konsumen loyal. Lewat rayuannya yang dahsyat, para pemilik kartu kredit dikondisikan sedemikian rupa untuk selalu berbelanja, agar para konsumen loyal ini mendapatkan diskon dan reward point atas objek barang dan jasa yang dibelinya. Di dalam benak konsumen loyal ditiupkan untaian kata mutiara: ‘’Demi sebuah rasa aman, berbelanjalah dengan menggunakan kartu kredit. Demi sebuah kenyamanan hidup di abad modern, berbelanjalah dengan cara berhutang. Sebab hidup dalam naungan hutang adalah representasi manusia modern’’

Berdasarkan inspirasi kata mutiara tersebut di atas, manusia modern akhirnya memegang prinsip hidup sebagai berikut: ‘’Hidupku untuk hutang dan hutangku untuk hidup’’. Dengan demikian, manusia modern harus bekerja keras mengumpulkan uang sebanyak-banyak, agar dapat melunasi hutang-hutangnya, untuk kemudian hutang kembali agar bisa membeli berbagai produk barang dan jasa yang dikemas secara modern. Prinsip gali lubang tutup lubang menjadi panglima sikap manusia modern. Demikian seterusnya sehingga lingkaran setan konsumtivisme saling sambung menyambung tanpa terlihat pangkal ujungnya.

Di dalam potret rumah tangga modern, tabiat boros menampakkan wajah buruknya sebagai sebuah sublimasi bagi orangtua yang tidak mampu mendampingi anak-anaknya secara maksimal. Pasangan orangtua yang bekerja di luar rumah lebih dari 6 jam sehari cenderung mewujudkan naluri kasih sayang pada buah hatinya dengan sikap permisif memenuhi seluruh permintaan anak-anaknya. Memberikan uang jajan dalam jumlah berlebih. Membelikan barang-barang konsumtif yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh sang anak.

Akibatnya, anak-anak dengan mudah membelanjakan uang hasil ‘’sogokkan’’ orang tuanya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Mereka sangat paham dan hafal akan berbagai merek yang dikategorikan berkelas dunia lengkap dengan fitur-fitur keunggulannya. Mereka sangat memuja harta duniawi. Mereka pemuja konsumerisme dan hedonisme.

Lewat kartu kredit yang difasilitasi orangtuanya, akhirnya mereka menjadi sangat boros dalam membelanjakan uangnya untuk urusan konsumtif. Mereka penjadi konsumen potensial untuk produk industri hiburan, fashion, elektronika, otomotif, kuliner junkfood, rokok. Bahkan narkotika dan psikotropika.

Sifat boros yang dikondisikan pejabat publik, wakil rakyat, dan orangtua yang super sibuk dalam perkembangannya memendam bom waktu. Setiap saat mudah meledak. Ledakan itu sudah menggantung di pelupuk mata. Hal itu terlihat ketika generasi muda cenderung menunjukkan tabiat malas mengolah segala potensi rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mampu mewarnai dunia. Dampaknya, Indonesia menjadi bangsa yang lembek daya juangnya. Bangsa yang mudah dikibuli negara asing. Kita menjadi bangsa yang mudah bingung dan tersinggung karena tidak punya potensi dan jatidiri.

Generasi muda yang terjebak tabiat boros ini cenderung tidak pernah mau berpikir pentingnya sebuah proses alamiah dalam kehidupan demi menjaga upaya pendewasaan diri. Mereka menjadi sekelompok generasi instan yang tahunya serba beres, enak, bebas tanpa kendali, menyenangkan, dan tampak modern. Mereka menjadi generasi cuek, santai, abai akan masa depan, dan lingkungan hidupnya.

Pada titik ini, generasi boros sejatinya, setengah hati, jiwa dan pikirannya sudah dipasrahkan secara damai kepada produsen kapitalisme global. Mengapa demikian? Para penjajah ekonomi yang mengenakan jubah modernisme menyihir generasi boros dengan pola penyeragaman selera, citarasa, cita-cita, dan gaya hidup. Dikendalikan remote control kapitalisme global. Dihipnotis menjadi keledai dungu. Dikendalikan negara asing yang menjajah secara ekonomi, kebudayaan, dan ideologi.

Ironisnya, atas kenyataan miris semacam itu, mereka justru merasa tidak terjajah. Mereka sangat puas dengan instalasi merek impor yang melekat erat dalam badan sanubarinya. Mereka sangat bangga ketika dilantik menjadi konsumen loyal. Mereka tersanjung saat mendapat julukan konsumen setia.

Tabiat boros harus segera dihentikan, minimalnya dikurangi. Ketika dalam hidup dan kehidupan kita lebih mengedepankan tabiat boros dan mengumbar energi negatif untuk kesenangan sesaat, maka wacana ketidakseimbangan itu sejujurnya sedang membakar tubuh mungil kita. Artinya, tubuh kita seolah-olah merasa lapar, haus dan dahaga yang setiap saat harus dipenuhi dengan mengonsumsi berbagai produk yang hampir semua pengadaannya dengan jalan mengeksploitasi alam raya secara semena-mena dan subversif.

Kita harus ingat, hidup ini hanya mampir ngombe alias sesaat. Untuk itu agar terjalin keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, seyogianya mulai mengedepankan pola hidup bersahaja, hemat, prasaja, eling, lan waspada. Sebab dengan menjalani hidup secara bersahaja, sejatinya akan menghindarkan orang-orang yang kita sayangi melakukan tindak pidana korupsi.

Selain mengedepankan pola hidup bersahaja, seyogianya perlu juga selalu memupuk rasa solidaritas kepada sesama umat manusia dalam untaian kasih sayang tanpa pamrih. Dan lebih penting lagi, senantiasa berserah diri kepada sejatinya hidup yakni Allah yang Maha Esa.

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan ISI Yogyakarta.


Kawula Muda dan Batik Tradisional

Sumbo Tinarbuko



Sebagai anggitan bangsa Indonesia yang dikenal sejak dulu, batik merupakan produk perkawinan antara seni dan teknologi dari nenek moyang kita yang sangat tinggi nilainya.

Saat itu, pakaian batik dapat dijadikan penentu kedudukan seseorang dalam konteks sosial kemasyarakatan. Hal itu terjadi, karena dengan melihat corak batik yang dikenakan, orang dapat mengetahui kedudukan si pemakainya.

Bentuk dan motif batik yang dibuat oleh para leluhur merupakan penanda yang menyimbolkan perikehidupan manusia. Fakta sejarah mencatat, batik terjalin erat dengan aktivitas budaya bangsa Indonesia. Patung Ganesha dari Blitar (1239 M) misalnya, sudah mengenakan kain kawung. Patung Prajnaparamita dari Singasari yang terkenal keindahannya itu pun divisualkan menggunakan kain jlamprang.

Beberapa abad kemudian dalam kehidupan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta atau Kasepuhan Cirebon, kain batik senantiasa dikenakan dalam berbagai kesempatan. Menurut Mujiyono (l992), pihak keraton mengeluarkan peraturan perihal pemakaian delapan motif batik yang menjadi larangan. Di antaranya kawung, parang, parang rusak, cemukiran, sawat, udan liris, semen, dan alas-alasan. Motif kain batik tersebut tidak boleh sembarangan dipakai.

Di luar tembok keraton, masyarakat pun menjunjung tinggi tata cara pemakaian kain batik dengan motif-motif tertentu. Untuk pengantin misalnya, sebaiknya menggunakan motif sidomukti (mengandung makna bahwa pemakainya akan berkesudahan dengan hidup bahagia dan serba kecukupan) atau sidoluhur (berarti akan mendapatkan kewibawaan tinggi). Bagi orang tua yang pertama kalinya menyelenggarakan pernikahan putrinya disarankan untuk mengenakan kain truntum.

Tahun 1950-1960 menurut sejarah perbatikan, terdapat puluhan perusahaan batik. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan. Untuk mengantisipasinya diciptakanlah teknik batik printing. Setelah teknik ini ditemukan justru menjadi kanibal bagi perkembangan batik tulis maupun batik cap. Sehingga banyak perusahaan batik tradisional mengalami kebangkrutan.

Fenomena itu diperparah lagi dengan kebanggaan terhadap batik tampaknya mulai luntur. Dalam keseharian misalnya, seseorang cenderung menggunakan bahan-bahan nonbatik sebagai pilihan busananya. Kalaupun menggunakan busana batik lebih memilih daster, rok, dan kemeja yang dibuat dari batik printing. Dampaknya, motif batik tradisional beralih fungsi menjadi bedcover, gorden, interior ruangan, topeng, dan barang-barang cenderamata lainnya.

Kecenderungan tersebut menyebabkan berkurangnya minat kawula muda untuk mengonsumsi produksi batik tradisional. Kilahnya, barang-barang tersebut sudah ketinggalan zaman, tidak trendy, dan gaul. Akibatnya, batik hanya digunakan dalam kesempatan khusus, seperti ke resepsi pernikahan atau jamuan resmi lainnya.
Untuk merangsang kebanggaan terhadap batik, sebagai identitas budaya bangsa perlu diupayakan secara terpadu. Tetapi hal ini tidak berarti cukup diselesaikan dengan memanfaatkan produk tekstil bermotif batik atau lebih populer dengan sebutan batik printing. Pilihan orang terhadap batik printing, tanpa disadari akan mematikan keberadaan batik tradisional. Padahal justru jenis batik tradisional inilah yang patut dilestarikan dan mendapatkan tempat terhormat dalam kehidupan social kemasyarakatan. Pelestarian batik tradisional diupayakan untuk mewariskan nilai-nilai simbolis kepada kawula muda. Khususnya kawula muda pembatik.

Ketidaktahuan kawula muda terhadap makna simbolik motif batik menyebabkan mereka tidak menyukai dan menghargai batik tradisional. Artinya, mereka tidak peduli perkembangan batik tradisional. Pada gilirannya menimbulkan sikap masa bodoh terhadap warisan budaya yang adiluhung tersebut.

Dengan mengetahui makna simbolis dari sebuah batik tradisional dan mengetahui peristiwa yang melatari terciptanya suatu motif batik, diharapkan apresiasi kawula muda terhadap batik tradisional akan lebih tinggi.

Langkah awal dalam upaya sosialisasi masalah batik tradisional tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pelajaran tentang motif batik sebagai muatan lokal di berbagai jenjang pendidikan formal. Adalah sangat ironis manakala kawula muda Indonesia ingin mempelajari motif batik tradisional harus belajar kepada pakar batik berkebangsaan Amerika, Jepang, Belanda, Inggris, Malaysia, atau bangsa asing lainnya.

Agar dapat mewariskan hal tersebut secara utuh diharapkan campur tangan para pakar, peneliti dan kolektor batik dalam mengumpulkan dan menyosialisasikan motif-motif batik tradisional kepada para kawula muda. Demikian pula para perupa, fotografer, cerpenis, novelis, jurnalis, media massa cetak dan elektronik diharapkan kepekaan kreatifnya untuk senantiasa menjadikan batik sebagai elemen penting dalam proses kreatifnya.


*) Sumbo Tinarbuko (
http://sumbo.wordpress.com/), Dosen Komunikasi Visual dan Pegiat Studi Kebudayaan FSR ISI Yogyakarta.